Sadar dengan wilayah yang rawan bencana karena berada di pinggir laut dan sungai yang kerap meluap, SIBAT membangun sistem peringatan dini untuk antisipasi musibah.

Relawan SIBAT Kelurahan Baru, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT menunjukkan cara kerja sensor alat early warning system yang dipasang di pinggir Sungai Wae Pesi. (Foto/Chairul Akhmad)
Relawan SIBAT Kelurahan Baru, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT menunjukkan cara kerja sensor alat early warning system yang dipasang di pinggir Sungai Wae Pesi. (Foto/Chairul Akhmad)

Beberapa kapal kecil penangkap ikan bersandar di pinggir Sungai Wae Pesi, Kelurahan Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur di suatu siang nan terik. Debit air sungai yang tak seberapa besar, bahkan cenderung kecil, membuat tanah berlumpur di dasar sungai bagian pinggir tampak jelas dan meranggas.

Musim kemarau yang berkepanjangan membuat Wae Pesi seperti kehilangan ‘keangkeran.’ Sangat berbeda dengan di musim hujan, di mana salah satu sungai besar di Manggarai ini secara ganas dapat memuntahkan airnya ke daratan Reo. Apalagi jika limpasan airnya bertemu dengan pasang laut di muara, maka debit air yang membanjiri daratan kian menjadi-jadi.

Di sebuah titian bambu yang mengarah ke tengah sungai, tampak beberapa bocah lelaki asyik memancing ikan sambil bersenda gurau. Terik mentari yang menyengat tak menyurutkan kegembiraan mereka menikmati sensasi ikan yang memagut umpan. Dalam sebuah ember kecil berwarna hitam, beberapa ikan hasil tangkapan mereka tampak menggelepar karena kekurangan oksigen. Nasib ikan-ikan ini akan berakhir di penggorengan tak lama kemudian.

Di titian yang lain, juga terlihat seorang bocah sendirian menikmati panas dengan joran di tangan. Ia seperti terpisah dengan kawan-kawannya di titian yang lain. Bocah satu ini belum jua mendapat ikan setelah sekian lama berjibaku dengan panas yang mencapai 38 derajat Celcius. Namun, ia tak peduli dan tetap masyuk tenggelam dalam dunianya. Seolah menyatukan eksistensinya dengan Wae Pesi yang telah sekian lama memberinya kehidupan.

Sungai Wae Pesi memang tampak ramah, indah, aman, bahkan nyaman di musim kemarau. Namun, kenyamanan seperti itu tak berlangsung. Musim hujan selalu menjadi momok bagi warga yang hidup di bantaran Wae Pesi. Luapan airnya akan menerjang apa saja yang menghalang di depan.

Kerawanan inilah yang mendorong PMI Kabupaten Manggarai untuk bergerak mengedukasi warga tentang pentingnya penanganan risiko bencana (PRB) dan mitigasi bencana. Setelah terjun selama tiga tahun dan membentuk SIBAT di Kelurahan Reo, kini warga sudah mulai sadar akan risiko bencana dan bagaimana menghadapinya.

Ketua SIBAT Kelurahan Reo Taufiq Hidayat mengatakan, sejak 2019 SIBAT telah hadir di Reo. Namun, mereka baru bisa berkegiatan pada 2021 usai pandemi Covid-19.

“Saat pandemi kegiatan kami terbatas. Tapi setelah 2021 sampai sekarang, banyak kegiatan yang kami lakukan dengan masyarakat sesuai yang ada di program PMI,” tuturnya.

Di antara kegiatan yang dilakukan SIBAT Kelurahan Reo antara lain sosialisasi, kampanye penyadaran masyarakat, kampanye hijau bersih, juga kampanye kesehatan.

“Kemarin kita juga kegiatan mitigasi skala kecil di beberapa lokasi di kelurahan Reo ini. Kami mendapatkan masukan dari masyarakat terkait pengurangan risiko bencana dengan adanya genangan-genangan air di lingkungan,” kata Taufiq.

Salah satu respons masyarakat yang langsung ditindaklanjuti SIBAT adalah soal deker atau penghubung antara gorong-gorong drainase. Ada sejumlah deker yang mampet hingga menimbulkan genangan air di sejumlah tempat. SIBAT pun mengajak warga kerja bakti untuk membersihkan saluran dan deker yang ada. Hasilnya kini saluran air lancar kembali, dan genangan tak lagi muncul.

Menurut Taufiq, banjir merupakan bencana paling sering menyapa kawasan Reo. Pada 2004 dan 2007 pernah terjadi banjir bandang yang menimbulkan korban harta benda. Berkaca dari kejadian tersebut dan melihat riwayat bencana yang terjadi di Reo, maka salah satu fokus penanganan PRB-nya dengan menanam pohon di sepanjang DAS. Beberapa jenis pohon yang ditanam antara lain pohon gempol, beringin loak, mete, dan vetiver. Sementara untuk daerah pesisir, SIBAT dan warga menanam mangrove dan bakau merah.

Untuk mengingatkan warga saat banjir tiba, anggota SIBAT telah memasang alat sistem peringatan dini atau early warning system di sejumlah titik di pinggir Sungai Wae Pesi. Alat ini terdiri dari sensor dan sirene. Sensor dipasang di pinggir sungai, sementara alarm-nya diletakkan di tepi jalan strategis yang kiranya dapat menjangkau seluruh wilayah.

Terdapat tiga level dalam alat sensor yang ditandai dengan lampu hijau, kuning, dan merah. Jika air masuk ke dalam alat dan menghidupkan lampu hijau, maka sirene pertama berbunyi untuk memperingatkan warga agar waspada. Jika menyentuh lampu kuning, maka sirene akan mengeluarkan suara yang memperingatkan warga untuk bersiap-siap mengungsi. Dan jika sensor warna merah menyala, maka sirena akan berbunyi makin nyaring, dan warga diharuskan meninggalkan rumah karena air sudah masuk pemukiman.

Sungai Wae Pesi yang memisahkan antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Timur, NTT kerap meluap dan menyebabkan banjir di pemukiman warga sekitar. (Foto/Chairul Akhmad)
Sungai Wae Pesi yang memisahkan antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Timur, NTT kerap meluap dan menyebabkan banjir di pemukiman warga sekitar. (Foto/Chairul Akhmad)

Tak hanya soal darah

Selama ini, kata Taufiq, masyarakat hanya tahu PMI terkait dengan urusan donor darah saja. Mereka belum tahu jika PMI juga terlibat dalam urusan-urusan kebencanaan. Karenanya, PMI dan SIBAT berupaya keras melakukan sosialisasi tentang kegiatan-kegiatan PMI yang tak melulu berurusan dengan darah. Selain itu, warga juga diedukasi tentang peran-peran SIBAT yang memang hadir sebagai relawan tanggap bencana.

“Kami datangi warga dan pelan-pelan memberikan pemahaman pada mereka. Kami selalu sampaikan ke mereka dengan bahasa yang bisa mereka pahami. Kami mau semuanya terlibat sama-sama, apapun kegiatannya di masyarakat,” jelas Taufiq.

“Memang masyarakat pada umumnya termasuk kami, tahunya PMI hanya urus darah saja. Nah setelah kami gabung PMI, kami tahu banyak hal. Ternyata PMI ada juga kegiatan-kegiatan yang lain selain darah,” sambungnya.

Jika sebelumnya masyarakat tidak mengerti tentang PRB, maka kini mereka mulai paham dan tergerak untuk membantu kegiatan-kegiatan SIBAT. Warga pun rutin menggelar pertemuan dengan SIBAT untuk membahas persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan. Hasil pertemuan tersebut diunggah ke medsos, terutama Facebook. Warga senang dengan kampanye di medsos. Inilah yang membuat mereka kian antusias dan semangat. Selain itu, SIBAT juga membuat grup WhatsApp untuk saling bertukar pikiran dengan warga dan aparat pemerintah di kelurahan. Grup WA ini juga bisa jadi ajang koordinasi dan sosialisasi yang cukup efektif.

Sungai Wae Pesi yang memisahkan antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Timur, NTT kerap meluap dan menyebabkan banjir di pemukiman warga sekitar. (Foto/Chairul Akhmad)
Preferensi mitigasi responden Kabupaten Manggarai Sumber: Project Baseline Report (ARC and PMI)

Saat ini anggota SIBAT Kelurahan Reo berjumlah 30 orang. Mereka terdiri dari warga dengan aneka ragam profesi. Kepedulian pada lingkungan dan PRB yang menyatukan mereka dalam SIBAT. Yang cukup menggembirakan adalah SIBAT dan warga berhasil membuat Kesepakatan Bersama terkait PRB di Kelurahan Reo. Kesapakatan ini tak ubahnya Peraturan Desa (Perdes) jika dikaitkan dengan desa. Kekuatan hukumnya hampir sama, masing-masing berisi aturan dan sanksi.

Taufiq mengatakan, terdapat dua Kesepakatan Bersama yang telah dibuat terkait dengan kelurahan tangguh bencana. Keduanya adalah tentang penanaman mangrove dan pengawasan hewan ternak. “Memang beberapa kali ada revisi, disesuaikan dengan peraturan-peraturan daerah yang ada. Seperti soal penanganan hewan ternak. Belum semuanya sosialisasi di masyarakat karena memang kita kendala di waktu dengan teman-teman,” tuturnya.

Hewan ternak ini menjadi masalah yang cukup pelik di wilayah Reo, sebagaimana halnya di Kelurahan Baru. Warga di sini juga melepas ternak mereka untuk mencari makan sendiri. Tak jarang hewan-hewan ini memakan bibit-bibit pohon yang ditanam di sepanjang bantaran sungai. Tentu saja kondisi ini akan merusak program PRB yang telah disepakati bersama. Karenanya, SIBAT akan menggiatkan kembali sosialisasi Kesepakatan Bersama setelah masa-masa pesta tak lagi ramai.

“Saat ini lagi musim ramainya pesta nikah di wilayah Reok hingga kami harus menyesuaikan diri dengan kegiatan masyarakat. Tidak pas kalau melakukan sosialiasi jika di situ ada pesta. Kurang elok, jangan dulu. Jika waktunya sudah pas, nanti kami sosialisasi dengan melibatkan lurah,” kata Taufiq.

Taufiq juga mengungkapkan, bahwa dalam tiap kegiatannya SIBAT selalu berkoordinasi dengan PMI Kabupaten Manggarai. Hal ini dilakukan sebagai bentuk timbal balik atas program-program yang dijalankan. Bahkan, kata dia, untuk tiap rapat yang digelar selalu dibuatkan notulensi, dokumentasi dan daftar hadir.

“Jadi kegiatan apapun, selama kami pakai rompi Sibad, ada dokumentasinya. Dan kami aktif membagikan melalui grup SIBAT, juga grup dengan PMI kabupaten,” tuturnya. “Kami selalu respons apapun yang diberikan atau disampaikan oleh PMI Pusat maupun PMI Kabupaten.”

Pertemuan dua air

Ketua PMI Kabupaten Manggarai Ronny Kaunang mengatakan, kawasan Reo memang sering kebanjiran jika terjadi hujan lebat. Sebab, ada beberapa anak sungai yang menyatu di Wae Pesi yang menyebabkan melimpahnya debit air. “Dari laut juga airnya naik, jadi ketemu. Maka Kota Reo sebagian besar terdampak dengan situasi itu,” ujarnya.

Jadi, Ronny menambahkan, dengan pertimbangan itu semua maka PMI terjun di Kelurahan Reo. Berdasarkan rekomendasi dan penilaian dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), skor kawasan bencana tertinggi itu ada di Kecamatan Reok, termasuk Kelurahan Reo.

“Penilaiannya objektif. Kebetulan program ini masuk lebih utama, pendekatan kawasan. Makanya waktu itu fokus utama di daerah aliran sungai (DAS). Mulai dari Kelurahan Mata Air, Baru, Reo, juga Desa Bajak dan Salama,” jelas Ronny.

Ronny mengaku lega karena respons masyarakat sangat baik dalam menyambut program-program PMI. “Mudah-mudahan ini dianggap sebagai dewa penolong. Termasuk dengan teman-teman SIBAT itu, selama ini saya melihat semangatnya sangat tinggi. Apa yang diarahkan dilaksanakan dengan baik,” kata dia.

Ronny juga aktif melakukan monitoring program PRB di lima kelurahan dan desa di Kecamatan Reok. Selain turun ke lapangan, Ronny juga kerap berkomunikasi dengan relawan SIBAT melalui sambungan telepon maupun grup perpesanan.

Ketua PMI yang tak pernah absen ke kantor itu menyebut hampir tak ada kendala berarti dalam pelaksaan program PRB di Kecamatan Reok. Selain didukung oleh penerimaan masyarakat yang cukup responsif, semangat SIBAT dan warga untuk terlibat juga sangat tinggi. “Mereka menerima program ini dengan sepenuh hati,” tegasnya.

Ronny menegaskan bahwa program PMI Pusat dan Amcross di Kecamatan Reok tersebut tidak sia-sia. Masyarakat juga senang dengan adanya program ini. Ke depan, kata dia, pihaknya akan memikirkan jalan keluar bagaimana mendapatkan dana untuk membuat posko SIBAT di tingkat kecamatan. Tak masalah jika bangunannya kecil, yang penting repsentatif bagi relawan SIBAT untuk berkegiatan.

“Jadi teman-teman kita ini bisa kumpul di posko itu jika ada acara-acara tertentu. Itu yang sementara saya pikirkan. Mudah-mudahan suatu waktu mimpi kecil ini bisa kita laksanakan,” pungkasnya.

Terakhir, kata Ronny, warga diharapkan dapat menjaga tananaman mangrove yang ditanam di pinggir pantai dan bibit pohon yang ditanam sepanjang bantaran sungai, demi mengurangi risiko bencana. Demikian pula dengan sensor dan sirine yang telah dipasang SIBAT agar dijaga dengan baik. Dengan begitu, alat tersebut dapat berfungsi dalam waktu lama.

Dengan penanaman mangrove di sepanjang pinggir pantai dan bibit pohon di kawasan DAS, diharapkan dapat ‘meredam amarah’ laut dan sungai yang mengitari Kelurahan Reo. Sementara sistem peringatan dini yang terpasang di sejumlah titik merupakan pengingat bagi warga agar segera mengungsi jika banjir datang menguluk salam. [Chairul Akhmad]

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.