Capres Pemilu 2024 menyinggung isu global, regional, dan nasional. Greenpeace Indonesia memiliki catatan penting terkait perjanjian internasional,

pemilu 2024 kampanye greenpeace perjanjian internasional Muhammad Adimaja / Greenpeace
Kampanye Greenpeace Indonesia (Muhammad Adimaja/Greenpeace)

Para calon presiden (capres) Pemilu 2024 dalam debat Pilpres 2024 baru-baru ini menyinggung sejumlah isu krusial di level global, regional, dan nasional. Di dalamnya dibahas juga pertahanan kedaulatan negara, perlindungan atas sumber daya laut, dan krisis iklim.

Greenpeace Indonesia menilai isu yang dibahas dalam debat capres Pemilu 2024 baik lantaran setidaknya menandakan bahwa isu pertahanan dan keamanan sudah dilihat dari berbagai aspek penting.

Sebagai organisasi kampanye lingkungan yang juga memiliki perhatian pada dua hal tersebut, Greenpeace Indonesia memiliki catatan penting dari tiga contoh kasus yang disinggung oleh ketiga capres selama debat berlangsung. Di antaranya terkait perjanjian internasional, peran Indonesia di ASEAN, dan penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Capres Pemilu 2024 mesti memperhatikan politik global

Cukup disayangkan bagaimana peran penting Indonesia dalam sejumlah perjanjian internasional kurang banyak dibahas dalam debat malam itu.

Ganjar Pranowo tak banyak menyinggung hal ini dalam retorikanya, Anies Baswedan berpandangan bahwa seharusnya Indonesia jadi pelaku utama dan penentu arah perdamaian global, dan Prabowo Subianto cenderung lebih senang memakai frasa “menjalin politik tetangga baik” di beberapa sesi bicaranya.

Ketiga capres Pemilu 2024 kurang mengelaborasi lebih lanjut untuk membahas pentingnya partisipasi proaktif dan pelaksanaan efektif berbagai perjanjian internasional. Padahal, dengan ikut dan turut melaksanakan berbagai perjanjian internasional yang sejalan dengan kepentingan nasional, Indonesia bisa ikut berkontribusi secara nyata dan terukur atas upaya menjaga perdamaian tatanan dunia dan kelestarian Bumi.

Misalnya, salah satu perjanjian internasional yang baru saja ditandatangani Indonesia dan Greenpeace Indonesia sangat mendorong langkah cepat ratifikasi dan pelaksanaannya, yakni perjanjian terbaru di bawah Hukum Laut Internasional (UNCLOS) yang memperkuat upaya konservasi keanekaragaman hayati laut lepas (Global Ocean Treaty).

Sejauh ini, Indonesia adalah salah satu dari 84 negara yang berkomitmen untuk meratifikasi perjanjian yang ditujukan bagi perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati di perairan laut internasional (Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ)) tersebut.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Oktober tahun lalu menyebut bahwa Indonesia merasa penting terlibat dalam perjanjian itu sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Kata dia, laut adalah ekosistem yang saling terhubung, sehingga semua hal yang terjadi di laut lepas dan sekitarnya akan berdampak bagi Indonesia—pun sebaliknya.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia, Arifsyah Nasution, mengatakan bahwa siapa pun kandidat yang akhirnya menjadi presiden perlu memastikan Indonesia terus terlibat dalam pembahasan, perumusan dan pelaksanaan perjanjian-perjanjian internasional, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan manusia dan lingkungan hidup.

“Dengan berpartisipasi dalam berbagai perjanjian lintas negara, Indonesia akan menunjukkan konsistensi dan eksistensinya sebagai salah satu negara yang berkomitmen menyelesaikan permasalahan-permasalahan global. Dalam hal Global Ocean Treaty, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan dua pertiga wilayahnya adalah laut, Indonesia perlu segera meratifikasinya, agar turut memimpin aktif upaya pelaksanaannya sedari awal serta menjadi contoh teladan bagi negara lain, terutama bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik,” kata Arifsyah.

Problematika ASEAN, arena konflik dan kepemimpinan Indonesia di kawasan

Dalam debat capres Pemilu 2024 dengan tema geopolitik, Anies mengkritisi jawaban Ganjar yang sama sekali tidak menyebut ASEAN. Anies menyinggung soal peran Indonesia selama ini yang sering kali hanya sekadar menjadi penonton dan penyelenggara kegiatan-kegiatan besar. Topik tentang ASEAN dibahas salah satunya dalam konteks upaya mengurai konflik di Laut Cina Selatan.

“Padahal kata kuncinya dalam menyelesaikan persoalan ini adalah ASEAN. Dan Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN, pendiri ASEAN. Indonesia harus kembali menjadi pemimpin ASEAN yang dominan. Bukan sekadar hadirin dalam summit-summit ASEAN,” kata Anies.

Dalam sesi yang sama, Ganjar juga mengakui rumitnya pengambilan sebuah keputusan di ASEAN. Ia menyinggung soal bagaimana Declaration of Conduct (DoC) atau Code of Conduct (CoC) yang tak kunjung rampung puluhan tahun. Ganjar menyinggung pentingnya untuk “merevitalisasi ASEAN”. “Agar kemudian pengambil keputusannya tidak bulat. Makanya, proses pengambilan keputusannya di ASEAN itu yang mesti kita review sehingga lebih cepat,” kata Ganjar.

Menurut Juru Kampanye Strategi Legal dan Politik Regional Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia, Rayhan Dudayev, siapa pun kandidat capres Pemilu 2024 yang akhirnya menjadi presiden harus berani berkomitmen untuk memperkuat pertahanan, khususnya menjaga kedaulatan sumber daya alam di laut Indonesia yang beririsan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

“Apalagi Anies sempat menyinggung soal bagaimana wilayah Indonesia masih kebobolan dengan adanya pencurian ikan dan pasir laut,” kata Rayhan.

Apa yang dikatakan Anies, kata Rayhan, memang cukup mengkhawatirkan. Dugaan praktik pencurian ikan oleh kapal berbendera asing beberapa waktu lalu cukup menyita perhatian publik.

“Menurut kami, ada banyak masalah di sektor kelautan kawasan Asia Tenggara yang mana presiden perlu punya strategi jangka pendek dan panjang untuk mengatasi persoalan tersebut. Secara jangka pendek, presiden harus berani mengambil langkah tegas dan konkret untuk mengatasi persoalan TPPO dan aktivitas perikanan ilegal. Secara jangka panjang, pemimpin tertinggi perlu punya visi kebijakan luar negeri yang dapat menyelesaikan persoalan Hak Asasi Manusia dan lingkungan laut lintas negara,” kata Rayhan.

“Peluang penyelesaian persoalan tersebut bisa melalui peran aktif dalam pengembangan rencana ASEAN Community Vision 2045 yang mengintegrasikan strategi ekonomi dengan perlindungan HAM dan mencegah kerusakan lingkungan. Indonesia dapat mengambil langkah kepemimpinan untuk menindaklanjuti komitmen Declaration on the Protection of Migrant Fishers di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023 untuk mengatasi  persoalan TPPO yang banyak dialami oleh awak kapal asal Indonesia yang penyelesaiannya perlu ditanggulangi di tingkat regional,” tambahnya.

Rumitnya berantas perdagangan orang

Kasus TPPO ini juga menjadi isu yang beberapa kali disinggung oleh Ganjar selama debat Capres Pemilu 2024. Ia menyebut pentingnya agenda reformasi Kepolisian RI untuk lebih memperhatikan sejumlah kasus, termasuk TPPO. Bahkan, ia ingin ada satuan baru di setiap Kepolisian Daerah (Polda) khusus untuk menangani kasus TPPO.

Walau, fokus Ganjar tersebut tak mengherankan mengingat calon wakil presidennya, Mahfud MD, adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) aktif dan salah satu orang di balik reorganisasi Satgas TPPO. Reorganisasi yang dilakukan agar satuan bekerja lebih efektif berdasarkan Perpres 49/2023 yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada Agustus lalu.

Rayhan dan Arifsyah mengakui bahwa kasus TPPO di Indonesia menjadi salah satu masalah yang kompleks mengingat para korban bisa datang dari ragam latar belakang pekerjaan, salah satunya awak kapal perikanan (AKP) migran. Dua riset yang dilakukan oleh Greenpeace Asia Tenggara dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pada 2019 dan 2021 lalu menunjukkan banyak AKP migran yang menjadi korban perbudakan di atas kapal ikan, di saat yang bersamaan juga merupakan korban sindikat perdagangan orang.

“Sejak 2014, Greenpeace Asia Tenggara telah bekerja sama dengan pegiat Hak Asasi Manusia dan serikat pekerja untuk menekankan pelindungan terhadap nelayan migran guna mengakhiri perbudakan modern di atas laut dan praktik perdagangan orang,” kata Arifsyah.

“TPPO adalah salah satu kasus kejahatan luar biasa lintas negara paling akut hari ini. Siapa pun di antara tiga orang itu yang menjadi presiden, harus bisa menyelesaikan masalah ini bekerja sama dengan negara-negara lain,” imbuh Rayhan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.