Energi di Indonesia sebagai hasil kolonialisme. Energi hanya dipandang sebagai komoditas industri untuk tujuan penyediaan listrik.
Sistem energi yang dikembangkan di Indonesia adalah buah dari kolonialisme dari sistem ekonomi pasar yang tengah berjalan. Energi sering kali hanya dipandang sebagai komoditas industri, sebuah upaya penyediaan daya dari pemanfaatan sumber-sumber fisik atau kimia (utamanya bahan bakar fosil) untuk menghasilkan listrik dan atau untuk menggerakkan mesin.
“Pandangan ini (energi sebagai komoditas industri) menjauhkan keseluruhan urusan energetika bagi regenerasi sosial-ekologis, dan berakhir hanya pada urusan kecukupan sumber tenaga untuk kesinambungan industrialisasi,” demikina dikutip dari pernyataan resmi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, diakses Minggu, 28 Januari 2024.
WALHI menyatakan, penyempitan makna energi sebagai komoditas industri hanya untuk kepentingan industrialisasi dapat ditelusur pada kemunculan wacana “produktivitas” dan “efisiensi”, ketika mesin industri benar-benar hadir dalam bentuk yang modern.
Sebelumnya, cara klasik untuk meningkatkan surplus pada industri adalah dengan memperpanjang hari kerja. Namun seiring dengan adanya bentuk-bentuk penolakan baru terhadap perpanjangan jam kerja, muncullah tekanan untuk mengintensifkan jam kerja karena tidaklah mungkin lagi untuk memaksakan peningkatan keuntungan dengan terus memaksa buruh memperpanjang hari kerja hingga melampaui batasnya.
Upaya untuk mendapatkan nilai lebih kini melibatkan entitas baru di sektor ini—energi—yang kehadirannya mengubah segalanya. Sungai, hutan, dan materi yang terpendam dalam tanah, seperti batubara, minyak dan gas kini menjadi energi—yang bukan hanya sekedar sebuah sumber daya yang tunggal, terpadu, abstrak, dan pada akhirnya diubah menjadi sebuah komoditas, namun yang lebih mendasar lagi hanyalah sebuah “alat” baru yang dihasilkan dari serangkaian metode dan rentang waktu yang berbeda.
Penghambaan energi sebagai komoditas industri kemudian justru berakhir menghancurkan sumber-sumber energetika utama dari masyarakat akebanyakan: lingkungan hidup yang baik dan sehat, aserta kedaulatan sumber-sumber pangan.
Ekstraktivisme yang mengawal pemenuhan kebutuhan energi bagi industri, membongkar wilayah-wilayah kelola rakyat, pertama-tama untuk kebutuhan hulu sumber energi dalam bentuk pertambangan batubara, minyak dan gas, lalu kemudian menghancurkan wilayah kelola rakyat lainnya, saat batubara, minyak dan gas diubah menjadi listrik dan bahan bakar melalui pembangkit-pembangkit yang ada di sekitar pemukiman dan wilayah-wilayah produktif rakyat.
Selama dua puluh tahun terakhir, emisi sektor energi di Indonesia, misalnya, telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Hampir 5 juta hektar lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batu bara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarnya berada di kawasan hutan, dan tren perusakan ini tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batubara di Indonesia dari tahun ke tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton).
Laporan JATAM pada 2017 lalu menyebut konsesi pertambangan batubara juga mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk budidaya padi baru. Hingga 15 persen kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya perkebunan juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batubara.
Lahan yang diperuntukkan bagi pertambangan batubara diperkirakan mencakup hampir 10 persen dari luas wilayah Indonesia, dan 80 persen diantaranya diperuntukkan bagi eksplorasi, sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang.
Pada 29 Mei 2006, upaya ekstraksi gas di Porong, Sidoarjo berubah menjadi sebuah katastropi industri, ketika lumpur panas Lapindo menghancurkan wilayah lebih dari 1.000 hektar, menenggelamkan 12 wilayah desa, dengan lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian dan tambak.
Energi sebagai hak, bukan komoditas industri
Hak atas akses energi universal adalah prinsip yang mendasari keberlanjutan dan martabat hidup manusia. Seluruh pembangkitan energi dihasilkan dari alam, dan sebagai sumber daya bersama, energi tidak boleh dijajah oleh kepentingan korporasi.
Sistem energi harus diletakkan di fondasi pemenuhan kebutuhan masyarakat, bukan pada akumulasi kapital. Energi bukan sekadar komoditas; ia adalah “common goods” yang melampaui nilai moneter. Energi memajukan hidup, martabat, dan aspirasi sebagian besar masyarakat.
Akses terhadap energi seharusnya bukanlah kemewahan yang hanya bisa dirasakan oleh sebagian orang, tetapi hak asasi, karena dia memungkinkan produksi pangan, tempat tinggal layak di berbagai iklim, layanan esensial seperti kesehatan dan pendidikan, serta konektivitas.
Namun, Badan Energi Internasional melaporkan sekitar 760 juta orang masih tidak memiliki akses terhadap listrik. Lebih banyak yang lain memiliki akses yang tidak konsisten atau berkualitas rendah. Kemiskinan energi dapat memicu masalah utama kemiskinan yang lain seperti perawatan kesehatan yang kurang memadai, peluang pendidikan yang terbatas, dan lapangan pekerjaan yang minim.
Dalam mencapai keselarasan antara hak atas energi dan keberlanjutan, akses terhadap energi harus dijalankan dengan menghormati martabat semua individu. Hal ini harus melibatkan juga upaya untuk mengakhiri pemborosan energi melalui efisiensi dan penghematan, serta membatasi konsumsi berlebihan oleh korporasi dan elit.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB mengenai energi menargetkan akses universal yang terjangkau, andal, dan modern pada 2030, namun, kita perlu melihat lebih dalam apa yang dimaksud dengan “akses universal” ini. Jika yang dimaksud hanyalah upaya penyediaan bola lampu untuk rumah tangga termiskin, sementara di sisi lain terus mengizinkan korporasi dan elit global untuk mengkonsumsi sampai pada titik berlebihan dan berbahaya, ini tentu saja bukanlah cara yang adil dalam penyediaan energi.
“Kita tidak bisa menerima ketidakadilan akses energi seperti ini,” kata WALHI.
Mengganti sumber energi kotor yang dikendalikan oleh pemodal dengan sumber energi ‘berkelanjutan’ yang melayani kepentingan pencarian keuntungan yang sama juga bukanlah hal yang ingin kita tuju.
Sebagaimana yang telah kita baca sebelumnya, solusi palsu semacam ini hanya akan melanjutkan eksploitasi alam dan finansialisasi layanan alam. Energi harus dilihat sebagai kebaikan bersama, bukan hanya untuk investasi oligarki dan elit pemerintahan. Biaya lingkungan dan sosial yang akan timbul dari semua bentuk pembangkitan energi menjadi hal yang perlu untuk dipahami seluruh orang dalam lingkungan dan wilayahnya.
Bahan bakar fosil jelas merusak iklim dan pengaruh lobi dari para pelakunya merusak demokrasi kita, tapi energi terbarukan juga tetap memiliki dampak sendiri, seperti pada perubahan bentang ekosistem dan ketergantungan terhadap penambangan mineral dan logam.
Energi sebagai komoditas industri menihilkan suara masyarakat
Menyeimbangkan tuntutan hak atas energi dan mengejar sistem energi yang berkelanjutan membutuhkan pertimbangan dan kerja sama yang cermat. Karena itu, masyarakat terdampak harus memiliki suara dalam menentukan dampak yang dapat diterima dan dikendalikan dalam sistem pembangkitan energi, dan dengan semangat yang sama memiliki kuasa untuk menolak sistem energi yang mengancam keselamatan lingkungan dan hidup mereka, apapun jenis sumber energinya.
Saat ini elit pemerintah, korporasi dan oligarki sedang membonceng transisi energi dan menawarkan energi nuklir, bendungan skala besar, dan bioenergi industri sebagai bagian dari ‘energi terbarukan,’ bahkan sejumlah proyek yang nampak ‘bersih” seperti tenaga surya atau angin, terkadang dibangun di atas tanah yang dirampas atau dicuri dari komunitas lokal dan masyarakat adat.
Beberapa model peralihan menuju energi terbarukan harus bisa mempertimbangkan dampak negatif seperti deforestasi, degradasi bentang alam, serta polusi udara, tanah, atau air yang dapat muncul dari proyek berskala besar.
Konsep 100% energi terbarukan secara universal menuntut akses energi memadai bagi semua, yang berdampak positif pada kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan. Namun, tuntutan ini tidak boleh berdiri sendiri; ia harus diiringi oleh transisi yang adil, pemenuhan kebutuhan energi yang cukup, kedaulatan energi, dan demokrasi energi.
Untuk memenuhi tuntutan ini upayanya harus mempertimbangkan pemerataan dan akses terhadap sumber daya dan teknologi pembangkitan energi.
Pilihan terbaik yang harus diupayakan dalam membangun energi terbarukan adalah dalam skala lokal, terdesentralisasi, dan bisa diadopsi dengan mudah. Komunitas warga harus menjadi garda depan dalam pengelolaan energi, untuk itu akses terhadap teknologi, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dalam pengelolaannya harus bisa didapatkan oleh mereka.
Pembangunan pembangkit energi terbarukan dalam skala kecil akan membawa dampak signifikan dalam memastikan akses universal terhadap energi. Sistem energi harus didesain untuk melindungi keanekaragaman hayati, mengokohkan hak atas tanah bagi masyarakat lokal dan adat, serta tidak menciptakan eksploitasi dalam rantai produksi.
Saat ini, mayoritas energi dihasilkan melalui pembangkit listrik skala besar yang terpusat, lalu didistribusikan melalui jaringan listrik nasional. Pendekatan ini memiliki berbagai masalah. Pertama, metode ini sangat boros dalam mendistribusikan energi, karena banyak energi yang terbuang karena sebagian energi listrik berubah jadi panas dalam perjalanan dari tempat energi ini dihasilkan menuju tempat penggunaan akhir.
Kedua, energi dari pembangkit semacam itu jarang memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat di sekitarnya, khususnya di daerah pedesaan, karena energi cenderung dialirkan ke industri besar dan kota-kota besar, di mana pemodal dan kelompok elit menjadi penerima manfaat utama.
Ketiga, bahkan pembangunan infrastruktur energi terbarukan berskala besar bisa menyebabkan deforestasi, mengganggu ekosistem serta keanekaragaman hayati lokal, dan pengambilalihan lahan milik masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang efisien dan dapat memenuhi kebutuhan, yang dikontrol secara demokratis oleh masyarakat, komunitas dan pemerintahan dalam unit lebih kecil.
Pembangkitan energi berskala kecil dan teknologi yang relevan secara lokal diupayakan terutama dengan mempertimbangkan sistem yang memiliki modularitas yang memungkinkan peningkatan kapasitas secara bertahap seiring dengan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menambah energi berdasarkan kecukupan energi yang mereka butuhkan
- Konsekuensi Mahkamah Konstitusi memerintahkan tidak menerbitkan peraturan pelaksana berkaitan UU KSDAHE
- Menavigasi pencemaran dan perjuangan hidup di tepi perairan Cilincing
- Belajar dari Kearifan Orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur
- BPKN: industri AMDK ‘kurang menghormati’ aturan label peringatan BPA
- Pengelolaan IPAL Sarimukti belum maksimal
- Perjalanan dari laut: mengapa wi-fi di kapal penangkap ikan jarak jauh penting?