Peran masyarakat adat dan masyarakat desa (lokal) di Indonesia penting dalam menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem bumi.

orang adat papua masyarakat desa
Warga Papua dari suku Tenit berdiri di depan pohon Merbau besar di hutan. (Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace)

Masyarakat adat dan masyarakat desa (lokal) atau Indigenous Peoples and Local Communities di Indonesia memegang peranan sangat penting dalam keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Masyarakat adat dengan populasi hanya sekitar 6 (enam) persen dari populasi penduduk bumi mampu melindungi dan menjaga hampir 80 persen keanekaragaman hayati dan ekosistem bumi.

Masyarakat adat dan masyarakat desa (lokal) melalui kearifan lokal dapat membuktikan lebih dari 90 persen lahan yang dikelola berada dalam kondisi baik. Bagi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), masyarakat adat dan masyarakat desa merupakan garda terdepan dalam kerangka adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

“Berbagai praktik baik masyarakat adat dan masyarakat desa seperti pertanian organik, perlindungan hutan, pemanfaatan energi terbarukan, hingga pemuliaan pangan lokal dapat menjadi rujukan solusi-solusi iklim berbasis masyarakat,” tulis WALHI, dalam keterangan resmi, diakses Rabu, 31 Januari 2024.

Masyarakat adat dan masyarakat desa pada satu sisi menjadi garda depan penjaga bumi, namun pada sisi yang lain mereka menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai macam krisis seperti krisis iklim.

Desa-desa atau kampung-kampung mereka yang tersebar dalam berbagai bentang alam mulai dari pesisir, pulau kecil hingga kawasan hutan secara berangsur mengalami kerusakan akibat ekspansi industri ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan serta proyek infrastruktur skala besar atas nama pembangunan nasional.

Kelestarian alam dan keselamatan masyarakat adat dan masyarakat desa digadaikan demi keuntungan segelintir. Kerusakan lingkungan mempercepat dan memperburuk dampak perubahan iklim di tapak.

Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) pada tahun 2021 menyebutkan dari total 83.794 desa di Indonesia, 53.000 desa masuk dalam kategori rawan bencana dengan 5.744 desa rawan tsunami, 37.497 desa rawan longsor, dan 47.430 desa rawan banjir.

“Bukan tidak mungkin jika kerusakan lingkungan terus terjadi dan krisis iklim tidak ditanggapi dengan serius, dampak sosial ekologis pada desa-desa dan kampung-kampung akan berlipat ganda dari situasi sekarang,” lanjut WALHI.

Negara seharusnya sadar dan harus mulai belajar dari pengalaman empiris masyarakat adat dan komunitas lokal di kampung-kampung yang selama ini dibiarkan berjuang sendiri menghadapi perusakan lingkungan dan krisis iklim.

Dalam banyak kasus, negara justru memfasilitasi penindasan dan perusakan secara terstruktur, sistematis dan masif melalui proyek-proyek strategis nasional. Dalam banyak kasus pula, negara membiarkan bencana kelaparan di kampung masyarakat adat Yahukimo dan Puncak Tanah Papua berulang hingga puluhan nyawa melayang.

WALHI menuntut negara harus menyudahi komodifikasi masyarakat adat dan masyarakat desa. Kedaulatan pangan hingga keadilan iklim hanya bisa dicapai melalui penghentian perampasan tanah dan perusakan desa-kampung serta pengakuan wilayah kelola masyarakat adat dan komunitas lokal.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.