Menyadari pentingnya darurat iklim: Bumi menghadapi kepunahan massal akibat krisis iklim. Mari bersatu dan bertindak nyata untuk melindungi generasi mendatang.
Bumi sedang berada dalam proses menuju kepunahan massal yang disebabkan oleh krisis iklim. Kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, kekeringan, dan gagal panen hanyalah beberapa dampak dari krisis iklim yang sudah terjadi.
“Ilmuwan menghitung, umur bumi kita sudah tidak lebih dari 11 tahun sebelum mencapai ‘climate tipping point’,” ujar Alexandra Karyn, pengajar di sekolah Erudio Indonesia dan juga salah satu penggagas aksi Jeda untuk Iklim, diakses dari laman lingkungan Enter Nusantara, Senin, 25 Maret 2024.
“Kami ingin mendesak agar seluruh politikus, perusahaan, dan masyarakat untuk berhenti bersikap masa bodoh dan serius bertindak untuk memastikan kehidupan generasi mendatang,” ucapnya menambahkan.
Aksi Jeda untuk Iklim merupakan bagian dari aksi Climate Strike sedunia yang menuntut dideklarasikannya status darurat iklim dan dilakukannya aksi nyata mengatasi kegentingan ini. Aksi ini akan dilakukan pada 20 September 2019, tepat 3 hari menjelang Pertemuan PBB untuk Perubahan Iklim di New York. Ratusan anak muda turun ke jalanan Jakarta sebagai pemimpin Jeda untuk Iklim.
Meski aksi tersebut berlangsung 2019 lalu, namun relevansinya semakin kuat kini.
Mutia dari Enter Nusantara menyampaikan bahwa untuk memukul mundur krisis iklim, kita butuh keterlibatan semua orang dan dari semua kalangan.
“Kita dapat memetik pelajaran dari Pesantren Miskat al-Anwar di Bogor yang menginisiasi pesantren berbasis ekologi. Ada juga Pesantren Attarbiyatul Wathoniyah (PATWA) di Cirebon yang telah melakukan aksi nyata untuk iklim dengan menggunakan energi terbarukan sebagai sumber listrik di masjid mereka,“ kata Mutia, soal keterlibatan pesantren dalam aksi ini.
Novita Indri, mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Climate Rangers Jakarta, mengatakan pembicaraan tentang krisis iklim menjadi pembicaraan yang umum setiap harinya. Anak-anak, pemuda, dan generasi yang akan datang berada dalam pusat permasalahan ini dan kami yang akan menanggung dampaknya.
“Karena itu, kami memutuskan untuk mengambil peran aktif dalam menyuarakan dan menekan pemerintah untuk segera mendeklarasikan darurat iklim bagi Indonesia,” kata Novita Indri.
Para peserta aksi Jeda untuk Iklim ini mengusung tuntutan berikut:
▪ Pemerintah mendengarkan para ilmuwan dan menyatakan darurat iklim
▪ Pemerintah meningkatkan ambisi penurunan gas emisi rumah kaca setinggi-tingginya dan melaksanakannya dengan tegas, konsisten, dan segera.
Selain itu, peserta aksi juga akan menyampaikan keprihatinan mereka terhadap minimnya materi pengajaran tentang krisis ekologis kepada para pelajar di sekolah. Kumpulan komunitas dari latar belakang berbeda-beda ini juga ingin mengajak para pemuka agama manapun untuk lebih gencar mengajarkan prinsip-prinsip menghormati lingkungan hidup dan agar publik secara luas menolak praktek-praktek yang menyebabkan polusi udara di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Aksi Jeda untuk Iklim ini tak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga di 14 kota lainnya, yaitu Aceh, Medan, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Palu, Palangkaraya, dan Kupang. Secara global, aksi mogok untuk iklim ini berlangsung di 150 negara dan diikuti jutaan orang. Aksi ini ditengarai sebagai aksi terbesar yang pernah dilaksanakan di dunia untuk mengatasi krisis iklim.
- Konsekuensi Mahkamah Konstitusi memerintahkan tidak menerbitkan peraturan pelaksana berkaitan UU KSDAHE
- Menavigasi pencemaran dan perjuangan hidup di tepi perairan Cilincing
- Belajar dari Kearifan Orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur
- BPKN: industri AMDK ‘kurang menghormati’ aturan label peringatan BPA
- Pengelolaan IPAL Sarimukti belum maksimal
- Perjalanan dari laut: mengapa wi-fi di kapal penangkap ikan jarak jauh penting?