Sebelas anak murid kelas 4 dan 5, SD Kanisius Kenalan sibuk meneliti sebuah belik (mata air) di pinggir Sungai Sindon yang membelah Dusun Kerugbatur, Desa Majaksingi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (21/3). Mata air bernama belik Ploso itu muncul dari rekahan batu di balik tebing dan mengalir ke sebuah ceruk batu di pinggir sungai.
Ova mengukur kadar keasaman air sungai dan air belik Ploso yang ditampung dalam gelas plastik dengan menggunakan alat khusus dan kertas lakmus. Sella dan Lisa yang berambut lurus dibantu Pak Guru Catur, mengukur debit air belik Ploso. Hasilnya, satu menit mengalirkan air sebanyak satu liter.
Sementara itu, dua murid laki-laki mewawancarai Kepala Dukuh Kerugbatur, Ismoyo (65). Duduk di pinggiran sungai yang berbatu, dua anak itu bergantian melontarkan pertanyaan dan mencatat jawabannya.
“Belik Ploso kapan ditemukan?” tanya salah seorang anak.
“Belik Ploso ditemukan sekira tahun 1960-an,” jawab Ismoyo.
Tilik Belik atau mengunjungi mata air, itulah nama kegiatan yang dilakukan murid-murid SD Kanisius Kenalan itu. Satu kelompok lain yang juga terdiri dari 11 anak meneliti belik Ringin yang terletak sekira 500 meter dari belik Ploso.
Belik Ploso dan Ringin terletak sekira 3 kilometer dari SD Kanisius Kenalan. Mereka naik mobil pick-up untuk menuju ke sana dengan melewati jalanan yang naik dan turun, khas di perbukitan.
Kepala SD Kanisius Kenalan, Yosef Onesimus Maryono mengatakan Tilik Belik diselenggarakan setiap tahun untuk memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret. Sekolah yang terletak di punggung perbukitan Menoreh dengan ketinggian sekira 300 meter di atas permukaan laut (dpl) itu sudah menyelenggarakan Tilik Belik sejak 2012.
“Kegiatan ini berangkat dari keprihatinan soal krisis air di wilayah ini (Perbukitan Menoreh) yang jadi asal murid-murid kami. Kami gunakan momen ini untuk belajar memaknai air sebagai sumber kehidupan,” ujar Simus, sapaan akrab sang kepala sekolah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tema Hari Air Sedunia tahun 2024 adalah “Air untuk Perdamaian”. Tetapi SD Kanisius Kenalan punya semboyan, “Rumat Banyu Nemu Rahayu,” artinya dengan merawat air maka akan mendapatkan keselamatan.
Getol ajarkan isu lingkungan hidup
SD Kanisius Kenalan adalah sekolah yang getol mengajarkan isu lingkungan hidup dan kehidupan sosial di desa. Pagi hari, anak-anak kelas 6 belajar bercocok tanam, mereka merawat tanaman mentimun yang ditanam pada polybag di halaman sekolah. Sebelum pulang ke rumah, ada anak-anak yang menyiapkan ramban (rumput dan dedaunan) untuk ternak kambing mereka yang kandangnya di sekolah.
Saat meneliti belik, ada anak-anak yang mengukur luas ceruk mata air, mencatat keragaman flora dan fauna, membabat semak-semak yang menutup jalan menuju belik, dan membersihkan sumber air serta sungai. Alhasil, mereka sebenarnya juga belajar matematika, biologi, bahasa Indonesia, agama Katolik, dan menggambar (membuat peta lokasi belik).
Setelah semua proses selesai, anak-anak itu beristirahat sambil makan bekal yang mereka bawa. Tak ada yang membawa tas plastik untuk membungkus makanan mereka.
Aktivitas mereka itu diamati oleh beberapa guru dari SD Kanisius dari Temanggung dan Magelang serta seorang penyuluh dari Dinas Lingkungan Hidup, Kabupaten Magelang yang sengaja diundang. Simus berharap mereka akan menerapkan pendidikan lingkungan dengan metode project based learning seperti Tilik Belik di sekolah masing-masing.
Satu jam berlalu, aktivitas di belik Ploso dan Ringin tuntas. Semua bergegas berjalan mendaki menuju rumah Pak Gito, tak jauh dari belik Ploso. Di rumah tua yang berarsitektur limasan itu, anak-anak dan para guru duduk melingkar di ruang tengah untuk bertukar pikiran soal air.
Krisis air di Kerugbatur
Tembang jawa macapat dikumandangkan sebagai pembuka diskusi. Selanjutnya, Pak Ismoyo berkisah bahwa warga Kerugbatur mengambil air dari Sungai Sindon saat musim hujan. Mereka tidak ada yang memiliki sumur. Pernah sebuah sumur digali hingga kedalaman 70 meter, tetapi airnya habis setelah disedot selama 15 menit.
Ketika kemarau tiba, aliran air di Sungai Sindon berhenti. Warga Dusun Kerugbatu dan sekitarnya mengambil air dari belik Ploso dan Ringin. Pemerintah juga mengirimkan bantuan air tetapi hanya satu minggu sekali.
“Dahulu, ada 10 mata air, tetapi mati kalau musim kemarau, yang bertahan tinggal belik Ploso dan Ringin,” ujarnya.
Dalam sesi tanya-jawab, anak-anak aktif bertanya. Gilang ingin tahu cara menjaga mata air agar tidak mati. Sedangkan Daniel bertanya mengapa ada krisis air di Kerugbatu.
Pak Ismoyo menjawab, hutan harus dijaga agar sumber air tetap lestari dan mengurangi penggunaan pupuk kimia untuk tanaman pertanian. Pupuk buatan pabrik menyebabkan tanah menjadi keras sehingga air sulit meresap ke dalam bumi.
“Sejak 1991, petani di sini sudah tidak menggunakan pupuk kimia,” ujarnya.
Ia mengatakan lapisan tanah yang tipis di Kerugbatu adalah penyebab tanah tidak bisa menyimpan air. Perlu banyak pohon berumur ratusan tahun yang serasah daunnya bisa membentuk lapisan tanah tebal dan gembur sehinga bisa menyimpan air.
Perbukitan Menoreh yang kedap air
Saya masih penasaran, perbukitan Menoreh yang ijo royo-royo dan membentang dari Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo itu seharusnya kaya air. Saya menemui ahli geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Nandra Eko Nugroho yang menghadiri peringatan Hari Air Dunia yang diselenggarakan Lingkar Keadilan RUANG di LKIS, Yogyakarta, Sabtu (23/3).
“Perbukitan Menoreh terbangun dari batuan vulkanik yang kedap air sehingga susah meloloskan (meresapkan) air (ke dalam tanah),” ujarnya.
Ia menjelaskan kawasan Menoreh terbentuk dari proses vulkanik purba, yaitu 33 hingga 22,5 juta tahun lalu, zaman oligosen hingga miosen. Proses vulkanik itu adalah penunjaman zona Meratus (di Kalimantan) terhadap Pulau Jawa yang waktu itu masih menjadi bagian dari Sundaland.
Ahli bencana ini menyarankan agar warga merawat zona mata air, dan memanen air hujan dengan cara membuat bak penampungan air hujan yang besar di setiap rumah. “Seperti dilakukan warga Musuk di Kabupaten Boyolali,” tambahnya.
Penyuluh lingkungan hidup dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magelang, Yuniyati terkesan dengan Tilik Belik. Pembelajaran ini penting untuk menumbuhkan kepadulian anak terhadap lingkungan, salah satunya tentang air.
“Saya akan amati, tiru, dan modifikasi (ATM) agar bisa diterapkan di sekolah lain. Kebetulan saya mendampingi beberapa sekolah di Kabupaten Magelang,” ujarnya.
Para ahli mengatakan jika krisis iklim tidak bisa dikendalikan, maka mereka yang saat ini masih anak-anak akan menjadi kelompok paling terdampak pada masa depan. Sella yang tinggal di Kerugbatur mungkin akan menanggung derita ini jika belik Ploso mati.
Sebelum meninggalkan belik Ploso, anak-anak melambungkan doa ke angkasa. “Ya Bapa semoga belik Ploso bisa terjaga dan lestari selamanya, dan semoga masyarakat sekitar semakin peduli dengan belik Ploso. Kami mohon, kabulkan doa kami ya Tuhan.”
Semoga Yang Maha Kuasa mendengar sehingga Sella dan warga Kerugbatur senantiasa memelihara belik Ploso dan bisa mengambil airnya sampai kapan pun.