Walhi Papua mendesak pemerintah daerah untuk melindungi hutan di Tanah Papua demi keberlanjutan masyarakat adat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) apua mendesak pemerintah daerah Papua untuk berkomitmen melindungi hutan dan lingkungan hidup, terutama untuk eksistensi masyarakat adat tanah Papua.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua Maikel Primus Peuki mengatakan, hutan di tanah Papua banyak mengalami kerusakan akibat gencarnya ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, dan proyek industri ekstraktif serta kegiatan investor lainnya yang izinnya dikeluarkan pemerintah pusat.
Maikel menguraikan, total luas hutan di tanah Papua mencapai kurang lebih 94,1 juta hektare atau sekitar 50,1 persen dari total luas hutan di Indonesia. 40 persen hutan primer Indonesia ada di Papua.
Hutan di Tanah Papua menurutnya merupakan satu-satunya hutan di Indonesia yang memiliki tingkat keragaman hayati tertinggi di Dunia, dengan 20 ribu spesies tumbuhan, 602 jenis burung, 125 jenis mamalia dan 223 jenis reptil.
“Begitu pentingnya hutan bagi kehidupan manusia, apalagi hutan sebagai sumber utama mata pencaharian bagi masyarakat adat di Tanah Papua. Sehingga pemerintah berkewajiban untuk melindungi hutan Papua. Komitmen pemerintah harus dibuktikan secara nyata melalui kebijakan,” kata Maikel, dalam siaran persnya, diakses dari laman resmi, Minggu, 14 April 2024.
Tanah Papua, lanjut Maikel, memiliki banyak pulau kecil. Terdapat 3.676 pulau yang sudah memiliki nama, dan 6 pulau tanpa nama. Pulau-pulau kecil ini memiliki mangrove dengan berbagai manfaat.
Namun, kebijakan pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Tanah Papua telah memicu banyak polemik dari berbagai sektor. Pemerintah daerah, baik itu 4 provinsi yang baru, maupun 2 provinsi induk harus berkomitmen dalam perencanaan pembangunan, yakni perlindungan lingkungan dan hutan Papua.
Maikel bilang, dalam penyusunan rencana pembangunan jangka panjang, kajian lingkungan hidup strategis, perencanaan tata ruang wilayah kota, analisis mengenai dampak lingkungan dan dokumen perencanaan lainnya harus dibahas dengan melibatkan semua pihak terkait.
“Baik itu lembaga masyarakat, organisasi lingkungan dan bahkan masyarakat adat Papua yang masih eksis berada dalam lokasi strategis di Tanah Papua.”
Maikel berpendapat, masyarakat adat Papua sebetulnya belum siap menghadapi perubahan atas kehadiran provinsi baru. Karena keberadaan masyarakat adat masih sangat bergantung dengan hutan. Masyarakat masih belum siap menghadapi ancaman yang datang dari banyaknya investor yang beraktivitas di berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat maupun empat provinsi baru.
Untuk mengatasi problem-problem di Tanah Papua, seperti soal semakin terancamnya hutan dan masyarakat adat Papua, butuh sebuah kebijakan dan regulasi yang berbasis pada kondisi faktual. Kemudian, dalam perspektif sensitif ekologi dan perubahan iklim, perlu adanya kebijakan dan regulasi yang nantinya melihat aspek perlindungan, rehabilitasi dan memperhitungkan lingkungan hidup.
“Untuk menghitung potensi yang akan hilang serta dampaknya bagi keberlanjutannya di sekitar hutan dan dalam hutan, serta kawasan pesisir pulau kecil.”
Maikel mengharapkan seluruh masyarakat adat Papua sesegera mungkin memetakan dan mendokumentasikan semua wilayahnya, sebelum hilang akibat bencana ekologi dan krisis iklim yang akan melanda hutan Papua, dan masyarakat adat. Terutama masyarakat adat Papua yang masih memiliki hutan adat dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Terakhir, Maikel menegaskan, pihaknya akan terus mendorong pemerintah menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat di wilayah sekitar hutan dan pesisir pulau kecil. Walhi Papua juga meminta pemerintah segera menyusun skema penyelamatan kawasan dan masyarakat hutan adat dan pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.