Dampak pertumbuhan industri di Jawa Tengah terhadap nelayan tradisional semakin terasa. Bagaimana pencarian ikan terancam?

Nelayan tradisional atau skala kecil di Jawa Tengah menghadapi ancaman menyempitnya ruang tangkap ikan. Menurut Direktur WALHI Jawa Tengah Fahmi Bastian, ruang tangkap pelaut tradisional di Jawa Tengah tersebut semakin mengalami penyempitan karena wilayah pesisir dan laut ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ia mencontohkan wilayah pesisir di Semarang telah ditetapkan sebagai kawasan industri yang berdampak terhadap hilangnya wilayah tangkap pelaut tradisional. Di Batang, akan dibangun kawasan industri terpadu beserta pelabuhan, padahal selama ini masyarakat sudah berkonflik dengan PLTU.
Begitu pun di kawasan Selatan Jawa Tengah, seperti Cilacap yang akan dikembangkan sebagai kawasan industri. Semuanya akan semakin menghilangkan wilayah tangkap nelayan.
Selain itu, di Jawa Tengah, nelayan juga terancam oleh degradasi lingkungan sejak lama. Contohnya banjir kemarin di sepanjang Pantai Utara, seperti Demak dan Pekalongan, menyebabkan tenggelamnya desa-desa pesisir yang menjadi tempat tinggal nelayan.
“Bahkan di Pekalongan kita sudah sulit menemukan nelayan yang masih beraktivitas di pesisir dan laut,” kata Fahmi, diakses dari siaran pers, Jumat, 12 April 2024.
Dalam catatan WALHI Jawa Tengah, setelah pelaksanaan pemilu 2024, kondisi pelaut tradisional takkan berubah akan nasibnya akan semakin buruk karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan melanjutkan proyek-proyek yang selama ini meminggirkan nelayan, di antaranya adalah Pembangunan Giant Sea Wall.
“Proyek Giant Sea Wall ini akan menghancurkan wilayah tangkap nelayan serta menghilangkan profesi mereka,” imbuh Fahmi.
Terdapat ancaman lain yang kini mengancam pelatut tradisional, yaitu pengerukan pasir laut yang telah ditetapkan oleh KKP di perairan Demak seluas 574.384.627,45 m2 dengan volume sebanyak 1.723.153.882,35 m3.
“Ini jumlah yang sangat besar sekali. Penambangan pasir ini akan semakin menghancurkan kehidupan nelayan,” tegas Fahmi.
Menurut Fahmi, akumulasi dari berbagai kehancuran ini akan telah menyebabkan pengurangan jumlah pelaut tradisional di Jawa Tengah lebih dari 10 ribu orang dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2018, jumlah yang tercatat sebanyak 266 ribu jiwa menjadi 254 ribu jiwa pada tahun 2022.
Atas situasi itu, Fahmi menggarisbawahi persoalan perencanaan pembangunan di wilayah pesisir dan laut Jawa Tengah yang selama ini tidak pernah melibatkan warga pelaut tradisional.
Ke depan, ia mendesak pemerintah untuk serius melibatkan warga lokal termasuk pekerja laut tradisional di dalam setiap rencana pembangunan mulai dari hulu sampai hilir.
“Termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Pembangunan Jangka Panjang, khususnya saat bicara kedaulatan pangan di wilayah laut memastikan keterlibatan nelayan,” katanya.
- Sama-sama pohon, tetapi fungsi sawit tak setara hutan alami
- Perjalanan Gollum, owa yang dulu tanpa bulu kini siap ke hutan
- Hegemoni Emas Hijau dan Bayang-bayang Kartel Asap di Pulau Garam
- UKRIDA perkuat komitmen keberlanjutan lingkungan lewat prestasi UI GreenMetric 2024
- Jutaan orang rentan krisis iklim sandarkan hidup di Jakarta megacity
- Krisis iklim membuat laut tak lagi ramah kepada masyarakat pesisir
