Upaya menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di Indonesia perlu dilakukan dengan mengalihkan pendekatan ekonomi: dari yang eksploitatif menjadi ekonomi yang mendorong pemulihan alam dan sosial.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut pendekatan ekonomi itu sebagai Ekonomi Nusantara atau model ekonomi restoratif yang mengedepankan kedaulatan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam.
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, skema Ekonomi Nusantara mendukung praktik-praktik ekonomi lokal yang berkelanjutan dan menyatukan nilai ekologi, sosial, dan ekonomi secara seimbang.
“Secara alami, Ekonomi Nusantara menumbuhkan ekosistem baru, yang di dalamnya berupa jaringan ekonomi komoditas yang dihasilkan oleh komunitas dari wilayahnya. Tujuannya, untuk memulihkan hak-hak rakyat, ekosistem, dan ekonomi,” ujarnya di Kantor Walhi, Jakarta, Senin (29/4/2024).
Sampai saat ini, Walhi telah membangun jejaring promosi dan pemasaran hasil-hasil bumi di lebih dari 1,3 juta lahan, dengan sebaran area di 28 provinsi dan melibatkan lebih dari 199.767 kepala keluarga.
Dari pendampingan tersebut, masih menurut Zenzi, Walhi berhasil mengidentifikasi 77 jenis sumber pangan dan komoditas potensial sebagai sumber kesejahteraan komunitas, basis pembangunan ekonomi nasional, dan pangan global.
Farah Sofa, Program Officer Natural Resources and Climate Change Ford Foundation Indonesia mengatakan, Ekonomi Nusantara dapat menjadi salah satu bentuk dari ekonomi restoratif yang berkelanjutan, selaras dengan alam, serta mengutamakan kemandirian ekonomi masyarakat akar rumput.
Bagi dia, prinsip-prinsip dalam Ekonomi Nusantara sejalan dengan visi untuk memperjuangkan keadilan sosial di tingkat tapak dan memperhatikan mitigasi krisis iklim.
“Salah satu isu yang menjadi perhatian Ford Foundation adalah ekonomi restoratif yang berfokus pada mekanisme ekonomi yang holistik, berkelanjutan, dan selaras dengan alam,” ujarnya.
Pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat
Penerapan Ekonomi Nusantara hanya mungkin dilakukan dengan baik jika ada pengakuan dan perlindungan Wilayah Kelola Rakyat (WKR).
WKR merupakan mekanisme pengelolaan wilayah yang integratif dan partisipatif, baik dalam aspek kepemilikan, konsumsi, tata kelola, dan produksi.
Di sejumlah daerah, efektifitas pengelolaan WKR terbukti dapat berkontribusi memulihkan lingkungan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Roni Usman, Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI), mencontohkan efektifitas tersebut dari praktik komunitas masyarakat di Desa Ibun, Jawa Barat.
Masyarakat di desa itu, terangnya, secara bertanggung jawab mengelola izin Perhutanan Sosial yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2017 silam.
Kawasan hutan yang dulunya hanya ditumbuhi ilalang dan rentan kebakaran, kini dikelola warga dengan memadukan kopi dengan tanaman hutan.
“Saat ini, lebih dari 60% kawasan hutan yang dulunya terbuka, telah hijau kembali. Di saat bersamaan, kopi yang ditanam menjadi sumber pendapatan baru,” terang Roni.
Sementara, di Desa Kalodi, Maluku Utara, keberadaan WKR dimanfaatkan lewat praktik pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Astrid Hasan, warga Desa Kalodi mengatakan, tradisi turun-temurun masyarakat desa itu mengedepankan kesejahteraan bersama, alih-alih kepemilikan individual.
“Masyarakat Kalodi tidak mengenal konsep kepemilikan tanah, melainkan hanya kepemilikan pohon berdasarkan jenis tanaman, seperti pala dan cengkeh yang ditumpangsarikan dengan kenari, kayu manis, durian, dan pinang,” ungkapnya.
Astrid percaya, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan oleh warga, berhasil menjaga alam dari praktik ekonomi yang cenderung eksploitatif dan merusak lingkungan.
“Budaya masyarakat Kalaodi selalu mengedepankan menjaga alam. Segala peraturan mengenai pengelolaan sumber daya alam selalu diputuskan melalui musyawarah mufakat,” kata dia.
Pondasi krusial
Zenzi Suhadi menilai, praktik-praktik pengelolaan WKR di akar rumput menjadi pondasi krusial dalam mewujudkan visi Ekonomi Nusantara, yang berkelanjutan dan berpihak kepada masyarakat lokal.
Dia yakin, kehadiran WKR dapat menguatkan kedaulatan wilayah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) atas pengelolaan sumber daya alam.
“WKR menjadi pondasi sekaligus kunci bagi Walhi dalam menciptakan ekosistem ekonomi nusantara, sekaligus meningkatkan kedaulatan pangan dan energi, dengan mengurangi emisi dan menyerap karbon,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Zenzi, pengakuan dan perlindungan terhadap WKR perlu diprioritaskan sebagai langkah strategis dalam menjaga keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial di Indonesia.
Melalui praktik ini, Indonesia diharapkannya dapat menjadi pemimpin iklim, juga contoh bagi negara-negara lain dalam mengembangkan Ekonomi Nusantara, ekonomi yang adil dan merata.
- Konsekuensi Mahkamah Konstitusi memerintahkan tidak menerbitkan peraturan pelaksana berkaitan UU KSDAHE
- Menavigasi pencemaran dan perjuangan hidup di tepi perairan Cilincing
- Belajar dari Kearifan Orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur
- BPKN: industri AMDK ‘kurang menghormati’ aturan label peringatan BPA
- Pengelolaan IPAL Sarimukti belum maksimal