Orangutan sumatera (Pongo abelii) ternyata bisa melakukan pengobatan mandiri pada luka yang dideritanya. Kemampuan tersebut terungkap pada penelitian yang dilakukan di Suaq Balimbing, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Selatan, Provinsi Aceh.
Dalam laporan yang dipublikasikan di Scientific Report pada 2 Mei 2024, tim peneliti yang dipimpin Dr Isabelle B Launer dari Max Planck Institute of Animal Behaviour mengamati seekor orangutan jantan yang mengobati sendiri lukanya. Rakus, nama orangutan yang telah diamati sejak Maret 2009 itu, menggunakan sari tumbuhan akar kuning (Fibraurea tinctoria) untuk mengobati luka di wajahnya.
Akar kuning telah lama menjadi salah satu tumbuhan yang kerap dikonsumsi orangutan. Namun kemudian tim peneliti melihat bahwa Rakus mengunyah daun tersebut tetapi tidak langsung menelannya. Ia menempelkan sari yang dihasilkan ke luka yang dideritanya. Kemudian ia menutup luka tersebut dengan daun akar kuning yang telah dikunyah.
Perilaku tersebut diulang sang orangutan beberapa kali selama tujuh menit. Dia mengulangi polah yang sama pada hari berikutnya.Setelah lima hari, luka tersebut tertutup dan tidak ada tanda-tanda terjadi infeksi.
Temuan ini merupakan perilaku self-medication (pengobatan mandiri) aktif pertama yang didokumentasikan secara sistematis dengan menggunakan tumbuhan biologis pada spesies kera besar.
“Hal yang menarik, Rakus juga beristirahat lebih lama saat ia terluka. Tidur berdampak positif dalam penyembuhan luka karena terjadi peningkatan pelepasan hormon pertumbuhan serta sintesa protein dan pembelahan sel-sel,” kata Launer.
Ia mengamati bahwa perilaku Rakus tampaknya disengaja karena sang orangutan secara selektif merawat luka di bagian kanan wajah, dan tidak di bagian tubuh lainnya, dengan sari tanaman tersebut.
“Perilaku tersebut juga diulangi beberapa kali, tidak hanya pada sari tanaman tetapi juga pada bahan tanaman yang lebih padat hingga luka tertutup seluruhnya. Keseluruhan proses memakan banyak waktu,” jelas Laumer.
Akar kuning memang dikenal memiliki efek analgesik, antipiretik, dan diuretik, serta digunakan dalam pengobatan tradisional untuk merawat penderita disentri, diabetes, dan malaria.
Analisis kimia tumbuhan tersebut menunjukkan adanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri, antiinflamasi, antijamur, antioksidan, dan aktivitas biologis lain yang relevan untuk penyembuhan luka.
Pertama kali teramati
Caroline Schuppli, penulis senior studi tersebut, menambahkan bahwa pengobatan yang dilakukan Rakus tersebut belum pernah teramati dilakukan oleh orangutan lain di Suaq. Dia memperkirakan kemungkinan Rakus mengetahui cara pengobatan tersebut di tempat ia dilahirkan.
Rakus, yang saat ini diperkirakan berusia 44 tahun, bukan orangutan asli Suaq. Tempat kelahirannya tidak diketahui dan ia datang ke Suaq saat telah dewasa.
Schuppli menjelaskan bahwa orangutan jantan biasanya pergi dari daerah kelahiran mereka saat atau setelah pubertas. Mereka merantau ke daerah yang jauh untu membangun wilayah jelajah baru atau berpindah antar-wilayah jelajah hewan lain.
“Oleh karena itu, ada kemungkinan perilaku tersebut ditunjukkan oleh lebih banyak individu dalam populasi kelahirannya, yang berada di luar wilayah penelitian Suaq,” kata Schuppli.
Daftar Merah IUCN
Saat ini orangutan adalah satu-satunya kera besar yang masih hidup di Asia. Hewan tersebut juga merupakan mamalia arboreal (hewan yang hidup di pepohonan) terbesar di dunia.
Orangutan sumatera (Pongo abelii) merupakan satu dari tiga spesies orangutan yang hidup di Indonesia. Dua jenis lainnya adalah orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Pongo abelii saat ini diketahui hanya hidup di wilayah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Populasi mereka diperkirakan tinggal sekitar 6.000 ekor. Populasi terbesar terdapat di Leuser Barat (2.508 ekor), lalu Leuser Timur (1.052 ekor), serta Rawa Singkil (1.500 ekor). Sisanya diperkirakan hidup di kawasan Batang Toru.
Populasi mereka yang semakin menurun membuat Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan orangutan sumatera ke dalam Daftar Merah (Red List) sejak tahun 2002, yang diperbarui pada 2017, dengan status Critically Endangered (terancam punah).
Rusaknya kawasan hutan dataran rendah yang menjadi habitat mereka serta masih maraknya perburuan liar semakin mempersulit kehidupan orangutan sumatera.
- Krisis iklim memperparah risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia
- Unpad resmikan pembangkit listrik tenaga surya dan mesin daur ulang sampah
- WALHI menemukan ketimpangan akses dan distribusi air di Kota Makassar
- Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi menuntut komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon
- Hargailah masyarakat lokal terkait pemensiunan dini PLTU batubara Cirebon Unit 1