Pentingnya peran legislatif dalam mitigasi dan adaptasi bencana di Maluku Utara. Diskusi forum legislatif yang diadakan oleh WALHI membahas isu lingkungan hidup.

Diskusi mitigasi dan adaptasi bencana di Maluku Utara. (WALHI Maluku Utara)
Diskusi mitigasi dan adaptasi bencana di Maluku Utara. (WALHI Maluku Utara)

Legislatif atau anggota DPRD berperan penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap bencana. Terlebih daerah-daerah di Indonesia rawan bencana. Begitu juga halnya dengan Maluku Utara yang tidak terlepas dari potensi bencana.

Untuk itu, WALHI Maluku Utara menyelenggarakan diskusi forum legislatif ketiga untuk isu lingkungan hidup. Diskusi bertujuan untuk mengevaluasi peran legislatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap bencana di wilayah ini.

Dedy Arif, Ketua Ikatan Geologi Indonesia, Maluku Utara, menjadi pembicara utama dalam diskusi tersebut. Peserta terdiri dari 40 orang, termasuk anggota legislatif Kota Ternate, calon legislatif, media, dan mahasiswa.

Dalam pengantar diskusi, Ismet Soelaiman menekankan pentingnya pemahaman tentang mitigasi dan adaptasi bencana, serta kebutuhan akan persiapan menghadapi bencana di wilayah yang rentan seperti Maluku Utara.

Dedy menyampaikan bahwa potensi bencana di Maluku Utara sangat besar, namun pemerintah daerah belum mempersiapkan diri dengan baik. Dia menyoroti kebutuhan akan budaya mitigasi bencana dan pentingnya melibatkan pendidikan dasar dalam upaya tersebut.

“Kita bisa belajar dari Jepang. Di sana, mereka menjadikan mitigasi dan adaptasi bencana sebagai budaya mereka. Makanya mereka sudah sangat siap ketika terjadi bencana,” jelas Dedy, diakses dari laman WALHI Maluku Utara.

Jainudin, Anggota DPRD Kota Ternate, memaparkan karakteristik bencana di Kota Ternate, yang termasuk risiko tertinggi adalah gunung api, diikuti oleh banjir, tanah longsor, krisis air tanah, dan masalah sampah. Pemerintah daerah telah melakukan sosialisasi dan penguatan kapasitas masyarakat terkait dampak bencana.

Namun, masih ada kendala dalam memindahkan penduduk dari daerah rawan bencana, terutama yang hidup di sepanjang sungai.

Junaidi berharap agar masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana, menyadari risiko tersebut demi kebaikan mereka sendiri.

Ancaman pertambangan

WALHI Maluku Utara mencatat, sebagai provinsi kepulauan, kawasan daratan Maluku Utara begitu kecil. Persentasenya 21% merupakan daratan sedangkan 79% kelilingi perairan atau lautan, karena kecil seharusnya pemerintah tidak membebani dengan menumpukkan beragam izin usaha, apalagi usaha yang notabene dapat menimbulkan daya rusak layaknya tambang.

Namun fakta sudah lebih dari 2 juta haktare lahan di daratan telah caplok korporasi, yakni mereka pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau perusahaan kayu bulat, Industri monokultur sawit dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik itu emas, nikel, biji besi serta pasir besi.

Walhasil Rakyat Maluku Utara hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi. Hutan sebagai kesatuan ekosistem kehidupan dan dipercaya sebagai perisai bencana ekologis telah gundul menyisahkan kubangan, pemicu kehilangan hutan adalah tambang, sawit dan industri kayu.

Namun korporasi itu tidak akan membabat hutan apabila tidak ada “stempel legal” yang diberikan pemerintah. Artinya kehancuran daratan Maluku Utara dalang utamanya ialah Pemerintah.

Di sisi lain kehancuran di sektor darat erat hubungannya dengan laut, yang mana terancam limbah tambang hal ini tentu membuat nelayan semakin sulit, belum lagi diperparah dengan krisis Iklim yang membuat desa-desa pesisir harus tenggelam perlahan waktu.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.