Peristiwa kelam tahun 2021 dan 2022 menyisakan trauma mendalam pada diri Andorias Boeng. Dia adalah satu dari 58 warga yang tanahnya digusur paksa dan 9 warga Dusun Lelayang yang pondoknya dibakar massa.
Delapan bidang tanah (satu bidang diperkirakan setara 3 hektare) milik petani berusia 60 tahun itu habis tak bersisa.
“Tiap malam saya tidak bisa tidur. Mikir terus,” kata Andorias, 60 tahun. “Tanah sudah digusur, pondok dibakar. Tidak ada apa-apa lagi pada kami.”
Padahal, di tanah itu, dia menanam terong asam, cabai, dan sawit sebagai sumber pendapatan. Sementara, di pondok masih terdapat 6 karung padi, juga berbagai peralatan berkebun dan perabotan rumah tangga.
Kini lahannya tersisa sekitar 2-3 bidang. Namun, Andorias merasa khawatir kalau-kalau tanah tersebut kembali mengalami penggusuran. “Mau berkebun gelisah, tidak berkebun gelisah. Takut (kalau) berkebun nanti habis lagi,” ujarnya.
Lelayang adalah dusun yang terletak di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Jaraknya sekitar 371 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Selain Lelayang, terdapat empat dusun lainnya di desa tersebut, yakni Lelayang Batu, Setontong, Meraban, dan Sabar Bubu.
Mayoritas penduduk desa berprofesi sebagai petani dan menjadi bagian dari komunitas adat Dayak Kualan. Mereka menggantungkan hidup dari hasil ladang dan berbagai tanaman di kebun, semisal padi, karet, cabai, bawang, dan berbagai jenis buah-buahan.
Di Kualan Hilir, para petani masih menerapkan sejumlah tradisi dalam mengolah lahan. Contohnya, gotong royong yang dalam istilah lokal disebut pangari. Lewat praktik itu, ladang milik perseorangan digarap bersama-sama dan berlangsung secara bergiliran di masing-masing anggota.
Mereka juga masih menerapkan perladangan gilir-balik, yang dilakukan dengan cara rotasi wilayah tanam. Menggilir dari satu titik ke titik lain, hingga kembali ke titik semula. Mereka percaya, praktik itu akan memberi kesempatan ekosistem untuk memulihkan diri.
Namun, beberapa tahun belakangan, para petani dibuat resah dengan kehadiran PT Mayawana Persada. Perusahaan ini memegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) tanaman industri berdasarkan SK.732/Menhut-II/2010. Dengan luas 136.710 hektare, konsesinya membentang dari Kabupaten Ketapang hingga Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Desa Kualan Hilir menjadi salah satu wilayah yang masuk dalam konsesi perusahaan. Herkulianus Heri, warga Dusun Sabar Bubu mengatakan, nyaris seluruh kebun dan ladang warga di dusun itu telah masuk konsesi perusahaan. Tidak terkecuali tanah miliknya seluas 5 hektare.
“Ini (ladang) masuk semua dikonsesi perusahaan,” ungkapnya sambil menunjuk ladang warga. “Karena konsesi itu sampai di kampung Gensaok (Sabar Bubu).”
Sejak pertama kali mengetahui keberadaan perusahaan, lelaki 34 tahun ini langsung menyampaikan ketidaksepakatan. Heri, sapaaan Herkulianus, tidak rela tanah peninggalan orang tuanya yang menjadi sumber pendapatan ekonomi, habis digusur.
“Lahan saya adalah sumber hidup saya. Tanpa air, tanpa ladang, saya tidak bisa hidup. Saya tidak mau jual itu,” ujarnya.
PT Mayawana memang sempat melakukan sosialisasi di Desa Kualan Hilir pada tahun 2010 dan 2014. Namun kedua upaya itu mendapat penolakan yang berdampak penundaan operasi selama beberapa tahun.
Pada tahun 2019, perusahaan kembali mengadakan perundingan di Kota Pontianak, yang dihadiri pejabat Kepala Desa dan Patih Adat Kualan Hilir (pemimpin adat di tingkat desa). Setelah pertemuan tersebut, seperti ditulis Koalisi masyarakat sipil, PT Mayawana seakan mendapat legitimasi adat untuk menjalankan kegiatannya.
Meski demikian, sebagian masyarakat tetap meolak dan menganggap hasil perundingan itu tidak mewakili pendapat umum. “Tidak ada keterbukaan pada masyarakat. Main hantam-hantam saja, seakan-akan di situ tidak ada pemiliknya,” kata Heri.
Tidak dipenuhinya persetujuan masyarakat itu dinilai telah melanggar prinsip Free, Prior and Informed Concent (FPIC) atau persetujuan di awal tanpa paksaan (Padiatapa), seperti dikatakan Ahmad Syukri, Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-Ar Borneo).
Dia menyebut, sejak perusahaan melakukan sosialisasi pada tahun 2010, masyarakat setempat belum memberi persetujuan untuk menyerahkan lahannya. “Tiba-tiba lahan mereka masuk konsesi. Itu sudah melanggar prinsip FPIC,” ujarnya.
FPIC adalah prinsip yang mengharuskan masyarakat adat atau komunitas lokal setuju tanpa paksaan pada aktivitas, program atau kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka. Meski tidak bersifat mengikat, kata Syukri, prinsip ini telah menjadi standar baik di level internasional.
“Contohnya, dalam FSC (Forest Stewardship Council atau sertifikasi pengolahan hasil hutan), kemudian EUDR (Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa), FPIC telah masuk aspek legalnya,” sebutnya.
Standarisasi itu, bagi dia, dibuat agar perusahaan lebih menghormati hak-hak masyarakat adat dan tidak berbuat semena-mena dalam menjalankan aktivitasnya. Juga, agar perusahaan tidak menghasilkan produk dengan cara merampas tanah masyarakat adat.
Digusurnya tanah warga
Mata Diana berkaca-kaca. Suaranya bergetar. Beberapa kali kalimat-kalimatnya terjeda ketika menceritakan peristiwa gelap yang menimpa puluhan warga Dusun Lelayang.
Pada penghujung 2021, perempuan berusia 50 tahun itu menyaksikan eskavator menggasak berbagai jenis tanaman warga. Di lokasi itu, terdapat beberapa orang mengawal alat berat. Kepada mereka, Diana mengatakan bahwa ekskavator telah memasuki tanah warga tanpa izin.
“Kami tidak pernah ditanya, mereka datang langsung gusur saja,” ujarnya ketika ditemui di Dusun Lelayang. ‘Mereka’ yang Diana maksud adalah orang-orang yang diduga sebagai perwakilan PT Mayawana Persada.
Sejak mendapat ‘restu’ adat, perusahaan ini menjalankan operasinya di Dusun Lelayang. Dokumen kronologis yang disusun warga menyebut, sejak tahun 2021 kegiatan perusahaan telah memusnahkan tanah-tanah produktif milik 58 Kepala Keluarga, dengan luas antara 3000-4000 hektare.
“Tanah saya 11 bidang, habis. 1 bidang itu luasnya bisa 3 hektare. Jadi, kurang-lebih 33 hektare yang digusur,” kata Diana. “Di situ saya tanami karet, segala buah-buahan pun ada. Sudah berbuah, sudah bisa dijual. Memang kurang ajar mereka itu. Sakit rasanya.”
Kini, tanah yang dia miliki hanya tersisa 3 bidang. Namun, kondisi tanah yang kering membuatnya frustasi. Sampai-sampai, setahun belakangan ladang padi tak lagi ditanami, bahkan sekadar dikunjungi. Sebagai gantinya, Diana memilih berladang di tanah milik saudara atau bekerja di ladang-ladang warga, dengan upah sebesar Rp60 ribu tiap kerja.
Pemasukan bulanan yang minim mengharuskannya mencari tambahan meski dengan cara berhutang. “Hidup kami sekarang sudah susah. Tanah sudah habis digusur. Kerja apalagi kita. Berladang tidak bisa. Hutang sana-sini,” terang Diana. “Seperti sudah tidak ada harapan, pasrah saja.”
Kondisi serupa dirasakan Kiam. Tanah seluas 15 bidang yang seharusnya menjadi sumber pendapatan keluarga, juga lenyap digusur. Padahal, sebelumnya, perempuan berusia 50 tahun ini tidak pernah mengalami gangguan secara sosial maupun ekonomi.
“Dulu, setiap 3 bulan, tanaman jahe yang per kilogramnya seharga Rp50 ribu bisa dipanen hingga 50 kilogram. Cabai yang harganya dikisaran Rp60 ribu panen setiap bulan. Itu belum dihitung pendapatan dari tanaman-tanaman lainnya,” kata dia.
Dari hasil kebun dan ladang itulah Kiam membiayai tiga anaknya hingga menamatkan pendidikan tinggi. Tapi sekarang, dia dan suaminya harus putar otak untuk membiayai anak keempatnya yang akan kuliah. Sebab, tidak ada lagi karet, jahe, cabai dan bawang yang bisa dijual.
“Kalau tanah tidak digusur, kami mampu kuliahkan anak. Sekarang susah. Mau garap tanah, tanah sudah habis,” ujarnya.
Tarsius Fendy Sesupi, Kepala Adat Lelayang, juga menjadi salah satu korban penggusuran pada tahun 2021. Tanah seluas 40 hektare yang telah digarap selama 14 tahun, lenyap tanpa sisa. Di lahan itu dulunya dia menanam jengkol, karet dan berbagai macam buah-buahan.
“Usaha saya hanya sekitar 5 hektare yang belum produktif. Tapi, yang lain, seperti jengkol sudah panen, cempedak sudah panen. Bahkan, karet saya yang sudah bisa disadap kurang lebih 15 hektare,” ujarnya.
Kini, Fendy harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan menyadap karet milik warga lain. Serta, sesekali menjadi kuli bangunan. “Tampaknya perusahaan ini mau membuat masyarakat jadi kuli seumur hidup, karena usaha kami sudah habis,” terangnya.
Sebetulnya, perusahaan telah menawarkan skema ganti kerugian yang diberi nama “Tali Asih” pada warga Desa Kualan Hilir. Lewat skema ini, tiap orang mendapat penggantian sebesar Rp1,5 juta per hektare dan janji biaya kayu sebesar Rp2.500 per kubiknya. Lagi-lagi, warga desa menolak tawaran tersebut.
Menurut Fendy, penolakan itu karena tidak sesuainya nominal yang diajukan perusahaan dengan ketentuan regulasi yang ada. Dalam Peraturan Bupati (Perbup) Ketapang nomor 86 tahun 2016, terangnya, harga dasar ganti rugi tanam tumbuh (GRTT) didasarkan pada jenis, klasifikasi (tanaman muda dan tanaman produktif), serta satuan tanaman per hektarenya.
Dia mencontohkan, seturut Perbup Ketapang, tanaman karet diestimasi sebanyak 400 batang per hektarenya. Jika per batangnya dihargai Rp75 ribu, maka nominal yang harusnya diterima sebesar Rp30 juta per hektare.
Sementara, dengan skema tali asih, lahan miliknya seluas 40 hektare hanya dihargai Rp60 juta. “Apa itu (Rp60 juta) bisa untuk saya hidup dan memperpanjang masa depan anak saya?” tanya Fendy. “Tidak sampai satu tahun sudah habis.”
Hendrikus Adam, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat menilai, penguasaan wilayah kelola masyarakat oleh perusahaan jelas memberi dampak pada siklus hidup warga, terutama dalam mengusahakan kebutuhan pangan.
“Ketika wilayah kebun dan ladang pertanian digusur, maka harapan mereka untuk terus bertahan dan mengakses pangan menjadi terbatas,” ujarnya.
Dampak lanjutannya, kata dia, semakin melemahnya ekonomi, psikologis dan tradisi yang selama ini dipraktikkan. Sehingga, demi memenuhi kebutuhan hidup, lambat-laun masyarakat terdampak akan meninggalkan aktivitas pertanian.
“Mereka bakar pondok kami”
Matius Midin, 54 tahun, menunjukkan foto-foto dari ponselnya: pondok yang dilalap api, serta puing-puing bangunan yang hangus dan telah rata dengan tanah. Foto itu merupakan dokumentasi pembakaran pondok warga Dusun Lelayang pada September 2022.
Matius Midin adalah salah satu saksi dan korban dari aksi itu. Di hari pembakaran, suami dari Kiam ini, sedang mengambil sekarung padi di pondoknya. Tanpa disangka, massa yang diperkirakan berjumlah 400 orang mengusir para pemilik pondok. Dia menduga, massa yang datang adalah orang-orang suruhan PT Mayawana.
Midin ingat, saat itu, seorang perwakilan massa mengatakan bahwa warga Dusun Lelayang telah beraktivitas di luar batas administrasi kecamatan. Karenanya, warga diperintahkan segera mengemasi barang-barang yang terdapat di dalam pondok.
“Bagaimana dengan hak kami, usaha kami?” tanya dia.
“Kami tidak mau tahu. Ini wilayah kami, hak kami,” jawab perwakilan massa, seperti diterangkan Midin.
Kehadiran ratusan orang kemudian membuatnya enggan memperpanjang perdebatan dan memutuskan pulang ke rumah.
Tak lama berselang, massa langsung melakukan pembakaran. Sembilan pondok warga Dusun Lelayang hangus dilalap api. Padahal di dalamnya masih terdapat setidaknya 6 ton padi. Jumlah kerugian itu belum terhitung peralatan rumah tangga dan peralatan berladang.
Ketika ditemui tim Depati Project, Midin menyatakan, tidak bisa membenarkan klaim bahwa masyarakat Dusun Lelayang telah berkebun melewati batas administrasi kecamatan. Sebab scara historis, kata dia, lokasi pondok dan kebun tersebut dulunya merupakan wilayah Kecamatan Simpang Hulu.
“Secara hak, ini hak kami. Secara administrasi, kami kembalikan pada mereka,” terangnya. “Tapi hak kami mereka ambil.”
Penduduk Lelayang awalnya merupakan warga dari Kecamatan Entakai, Kabupaten Sanggau. Pada tahun 1978, mereka memutuskan pindah ke Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Sejak tiba di Lelayang, mereka mendapat penerimaan dan mencatatkan diri dalam administrasi kependudukan.
Pada kurun waktu itu, kata Tarsius Fendy Sesupi, warga membuka kebun dan ladang yang disebutnya masih berada di wilayah Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir. “Kami masih pegang peta titik batas kampung tahun 1978, yang ditandatangani Bupati Suhanadi (Bupati Ketapang waktu itu),” ujarnya.
Dua puluh lima tahun kemudian, tepatya tahun 2003, Kecamatan Simpang Dua dimekarkan dari Kecamatan Simpang Hulu. Saat itu, menurut Fendy, warga Dusun Lelayang masih beraktivitas tanpa gangguan, hingga terjadinya aksi pembakaran pondok pada tahun 2022.
Runutan sejarah itu, lanjutnya, menjukkan keberadaan aktivitas warga Dusun Lelayang sejak lama. Sehingga, pemekaran wilayah administrasi tidak seharusnya menghilangkan hak masyarakat atas wilayah kelolanya.
“Hak tetap hak. Kecamatan Simpang Dua itu mekar tahun 2003, sementara usaha masyarakat sudah ada sejak lama,” kata Fendy.
Meski demikian, dia tidak mau mempersalahkan sesama masyarakat. Sebab, sebelum perusahaan hadir, konflik seperti itu disebutnya tidak pernah terjadi. Sehingga, pertanggungjawaban secara adat atas peristiwa itu sepenuhnya dibebankan pada PT Mayawana.
“Saya tidak mau tahu siapa yang bakar. Saya hanya tahu itu perusahaan. Karena setelah mereka masuk barulah terjadi pembakaran. Jadi mereka harus bertanggung jawab,” tegasnya.
PT Mayawana memang sempat mendapat sanksi adat pada 10 September 2022. Perusahaan diharuskan membayar 230 real, 20 tajau, dan 1 buah gong, karena dianggap tidak menghormati surat Sekretaris Daerah Ketapang yang meminta penghentian pembukaan lahan di batas Kecamatan Simpang Dua dan Simpang Hulu. Selain itu, PT Mayawana juga dituduh mengadu domba masyarakat di area batas yang masih bermasalah.
Fransiska Sopang, Kepala Dusun Lelayang mengatakan, pertemuan para pihak pada September 2022 itu juga menghasilkan sejumlah kesepakatan. Di antaranya, penyelesaian tata batas yang diserahkan sepenuhnya pada Pemerintah Kabupaten Ketapang.
Dia menambahkan, dalam pertemuan itu Sekretaris Daerah Kabupaten juga meminta perusahaan untuk mengganti kerugian masyarakat. “Menurut perusahaan harus diukur dulu, baru mereka ganti. Kalau tidak diukur, mereka kan tidak tahu luasannya,” terangnya ketika ditemui di Dusun Lelayang.
Belakangan, kata Fransiska, Pemkab Ketapang telah menerbitkan tata batas Kecamatan Simpang Dua dan Simpang Hilir. “Ternyata masyarakat (Dusun Lelayang) telah berkebun di luar batas administrasi desa,” tambahnya.
Mekanisme kemitraan
Sebagai upaya menghindarkan konflik berkelanjutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengimbau perusahaan untuk menjalankan mekanisme kemitraan di area konsesi.
Risno Murti Candra, Kasubdit Evaluasi Kinerja Usaha, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK mengatakan, konsep kemitraan itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri LHK nomor 285 tahun 2024.
“Konteksnya, sama-sama mengelola kawasan. Bisa masyarakat adat, masyarakat setempat. Pemegang PBPH sebagai off-takernya,” kata Risno ketika ditemui di Kantor KLHK, Jakarta.
Kemitraan itu, tambahnya, mengatur sejumlah ketentuan misalnya, subjek yang terlibat dalam kerja sama itu adalah masyarakat yang memang tinggal di sekitar konsesi. “Entitasnya kami tidak lihat adat atau tidaknya, tapi masyarakat yang betul-betul ada di situ,” kata Risno.
Selain itu, komoditi yang dikembangkan dalam kerja sama itu harus sesuai dengan jenis tanaman kehutanan. “Tidak bisa sawit ada di situ,” ujarnya.
Tim Kolaborasi Liputan Depati Project telah berupaya melakukan konfirmasi kepada PT Mayawana Persada. Pada 27 April 2024, daftar pertanyaan dikirim pada Ardian Santoso, Humas PT Mayawana di Pontianak.
Secara berturut-turut mulai dari 30 April, 1 Mei dan 3 Mei 2024, anggota tim kolaborasi menanyakan jawaban konfirmasi pada Ardian, namun tidak ada tanggapan.
Pada tanggal 4 Mei 2024, anggota tim bertemu Ardian dan kembali menanyakan perihal konfirmasi. Saat itu, dia meminta waktu hingga tanggal 6 Mei 2024. Pada tanggal yang telah dijanjikan, tim kembali mengkonfirmasi, namun hingga artikel ini diterbitkan, tidak ada jawaban dari PT Mayawana Persada.
***
Kini, akasia milik PT Mayawana Persada telah tumbuh di sejumlah titik di Desa Kualan Hilir. Beberapa pemberitaan menyebut, perusahaan telah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Serta, membantu program-program pembangunan di sekitar area konsesinya.
Di antara suasana itu, terdapat pula petani-petani Dusun Lelayang yang menjadi korban penggusuran dan pembakaran pondok. Para petani di dusun ini, yang belum dialiri listrik dan mesti menggunakan perahu untuk mencapainya, sedang menjalani hari-hari dalam ketidakpastian setelah kehilangan sumber penghidupannya.
Seperti yang dirasakan Andorias Boeng, “Tiap malam saya tidak bisa tidur. Mikir terus. Tidak ada apa-apa lagi pada kami.”