Dampak krisis iklim dapat memaksa warga Pulau Pari di Kabupaten Kepulauan Seribu keluar dari rumahnya dan menjadi ‘pengungsi iklim’.

Berjarak dua jam perjalanan perahu dari pantai utara Jakarta, hutan bakau dan pantai berpasir putih Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, menawarkan perlindungan bagi warga Jakarta dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan yang tercemar.

Salah satu dari 112 pulau di satu-satunya kabupaten di Provinsi Jakarta, Pulau Pari menjadi rumah bagi komunitas nelayan. Tak hanya menangkap ikan dan hewan laut lainnya sebagai sumber mata pencaharian, mereka juga menjalankan jasa wisata seperti snorkeling, menjadikan pulau ini sebagai tempat liburan tropis singkat bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta.

Namun penduduk desa tengah terancam kehilangan rumah mereka akibat dampak krisis iklim, yang menyebabkan banjir rob semakin parah dan cuaca ekstrem.

Para ilmuwan memperingatkan bahwa jika suhu global terus meningkat melampaui ambang batas aman, dan tidak ada rencana perubahan iklim yang ambisius dari pihak berwenang, ribuan orang yang tinggal di pulau-pulau kecil seperti Pulau Pari mungkin akan kehilangan tempat tinggal karena dampak iklim yang semakin buruk.

Masyarakat di Pulau Pari tidak perlu menunggu untuk melihat apakah krisis iklim akan berdampak pada mereka; mereka telah mengalaminya dalam beberapa tahun terakhir.

Contoh terbaru terjadi pada Desember 2021, ketika rumah Arief Pujianto, 53 tahun, kebanjiran. Arief mengalami bencana tersebut untuk pertamakalinya sejak tinggal di Pulau Pari selama lima dekade.

“Saat itu air laut mencapai betis saya, membanjiri lemari es dan meja dapur saya,” kata Arief saat The Jakarta Post mengunjungi Pulau Pari baru-baru ini.

“Meski saya tidak harus mengungsi dari rumah, tetangga saya, terutama yang memiliki anak kecil, harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi untuk mencari tempat yang lebih aman hingga banjir surut,” lanjutnya.

Banjir rob yang sering terjadi saat siklus bulan purnama atau bulan baru sudah lama menjadi bagian kehidupan warga Pulau Pari. Namun ketika krisis iklim menyebabkan naiknya permukaan air laut dan kejadian cuaca yang lebih ekstrem, banjir menjadi lebih sering terjadi dan bergerak semakin jauh ke daratan.

Tahun 2020 adalah tahun pertama pulau ini dilanda banjir rob dua kali dalam satu tahun, dengan air laut melonjak melewati garis pantai, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Lebih parah lagi pada tahun berikutnya, Pulau Pari dilanda banjir rob sebanyak lima kali.

Menurut Walhi, banjir rob yang semakin parah dan naiknya permukaan air laut telah mengikis sekitar 11 persen dari pulau seluas 41 hektare tersebut.

Banjir tahun 2021 memaksa sebagian warga membangun kembali rumahnya yang sebagian besar terbuat dari kayu lapis, menggunakan batu bata dan semen. Mereka juga meninggikan pondasi rumah mereka untuk mengantisipasi banjir.

“Kalau banjirnya setinggi tahun 2021, tidak akan lagi masuk ke rumah kami,” kata Arief. “Tetapi siapa yang tahu apakah banjir akan semakin besar di masa depan.”

Arief juga harus mengeluarkan uang sekitar Rp75.000 setiap minggunya untuk membeli air suling untuk kebutuhan sehari-hari, karena air tanah telah terkontaminasi oleh masuknya air laut.

Pengungsi iklim

Nelayan Pulau Pari, seperti Mustaghfirin yang berusia 52 tahun, sedang bergulat dengan cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Kejadiannya menjadi semakin sering dan intens.

Perubahan arah angin yang tidak dapat diprediksi membuat Mustaghfirin sulit menangkap ikan karena mengubah pola migrasi ikan sepanjang tahun. Pendapatannya pun menurun secara signifikan.

Pada tahun 2020, ia masih bisa memperoleh hasil tangkapan harian sekitar 120 kilogram yang terdiri dari ikan tenggiri, cumi-cumi, dan tuna pada musim panen antara bulan Februari hingga April.

“Tetapi saya hampir tidak menghasilkan ikan dalam seminggu terakhir,” kata Mutaghfirin. “Baru kemarin [10 Februari] Saya mendapat 11 kg ikan pari yang tertangkap di bubu [perangkap ikan bambu] saya.”

Kecuali jika pemerintah menerapkan solusi iklim yang lebih ambisius dan berjangka panjang, Pari dan pulau-pulau dataran rendah lainnya yang tingginya kurang dari tiga meter di atas permukaan laut berisiko tinggi untuk hilang, sehingga memaksa penduduknya untuk pindah ke tempat lain dan menjadi “pengungsi iklim” , menurut Parid Ridwanuddin dari Walhi.

Pada tahun 2021, Bank Dunia memperkirakan sekitar 48,4 juta orang di Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, akan terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat bencana terkait iklim pada tahun 2050.

Pengungsian tersebut dapat terjadi ketika masyarakat kehilangan tempat tinggal akibat naiknya permukaan air laut atau mata pencaharian mereka akibat gagal panen atau kekeringan.

“Sebenarnya yang kita sebut dengan ‘pengungsi iklim’ sudah ada sejak lama di Kabupaten Kepulauan Seribu,” kata Parid yang merupakan juru kampanye Walhi tentang isu pesisir dan kelautan. “Hal ini tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah.”

Ia merujuk pada masyarakat pesisir yang pernah tinggal di Pulau Ubi Besar, terletak di tenggara Pari. Pada tahun 1950-an mereka terpaksa pindah ke Pulau Untung Jawa yang berdekatan setelah air laut menelan rumah mereka dan menenggelamkan pulau tersebut.

Ketika para ilmuwan iklim memproyeksikan bahwa suhu global akan naik di atas ambang batas aman 1,5 derajat Celcius sebelum akhir dekade ini, Parid mengatakan permukaan air laut mungkin akan naik lebih cepat dan menenggelamkan pulau-pulau kecil ini.

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berupaya mengidentifikasi kawasan prioritas di sekitar garis pantai yang memerlukan tindakan segera. Daerah yang berisiko tinggi mencakup desa-desa yang sering terkena dampak banjir rob dan erosi pantai.

“Pemerintah juga sedang mempersiapkan instruksi presiden [Inpres] tentang ketahanan iklim dan dana alokasi khusus [DAK] untuk membiayai aksi iklim di berbagai daerah,” Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Bappenas Medrilzam mengatakan kepada Post baru-baru ini.

Mengarahkan kebijakan

Peneliti World Resources Institute (WRI) Indonesia mendesak pemerintah untuk menerapkan upaya yang lebih terintegrasi antara solusi jangka pendek, seperti membangun tembok laut, dan solusi jangka panjang seperti penanaman hutan bakau dan terumbu karang buatan. Upaya-upaya tersebut dapat membantu mengurangi risiko banjir rob.

“Pembangunan [infrastruktur] di daerah rentan di sekitar garis pantai juga perlu dibatasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir dalam menghadapi dampak iklim,” kata peneliti WRI Dominika Wara Christiana dan Yudhistira Satya Pribadi.

Namun Parid dari Walhi berpendapat bahwa solusi yang ada harus melampaui langkah-langkah teknis, dan fokus pada mengatasi akar penyebab krisis iklim: menghentikan lebih banyak gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer.

Ia meminta pihak berwenang untuk mengalihkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dari kebijakan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan mengorbankan lingkungan, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, yang dianggap banyak orang sebagai peluang hukum bagi investasi yang merusak lingkungan.

“Apa yang kita perlukan saat ini adalah mengarahkan kebijakan kita ke arah pemulihan lingkungan dan iklim,” lanjut Parid.

Dia mendesak para pembuat kebijakan untuk memulai pembahasan rancangan undang-undang tentang keadilan iklim, yang telah didorong oleh kelompok sipil sejak tahun lalu. Kebijakan ini akan berfungsi sebagai badan untuk menyelaraskan aksi iklim di seluruh negeri.

Warga Pulau Pari pun menolak turun tanpa perlawanan. Mereka berupaya mengajukan gugatan terhadap perusahaan bahan konstruksi Holcim di pengadilan Swiss atas operasinya yang dianggap memperburuk krisis iklim.

Menurut penggugat, sebagai produsen bahan bangunan terbesar di dunia menghasilkan lebih dari 7 miliar ton emisi karbon antara tahun 1950 dan 2021, yang diyakini telah memperburuk dampak iklim, termasuk kenaikan permukaan laut yang membahayakan kehidupan di Pulau Pari.

Penggugat yang merupakan warga Pulau Pari didampingi Walhi menuntut perusahaan mengurangi emisi karbon secara signifikan dan memberikan kompensasi kepada warga atas kerusakan iklim yang mereka derita.

“Litigasi perubahan iklim ini juga memberikan pesan kepada masyarakat Indonesia bahwa pulau-pulau kecil sangat penting bagi kita sebagai negara kepulauan: tenggelamnya satu pulau kecil dapat berarti kita kehilangan identitas […] dan kedaulatan kita,” kata Parid.

Juru bicara Holcim menolak mengomentari gugatan tersebut, dan menyampaikan janji perusahaan untuk mencapai emisi nol bersih di seluruh rantai nilainya pada tahun 2050.

Antara tahun 2020 dan 2023, perusahaan yang berbasis di Swiss ini mengklaim telah mengurangi emisinya sebesar 42 persen per penjualan bersih; kemajuan yang masih dalam ambang kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat C.

Mustaghfirin, yang aktif bekerja sama dengan Walhi dalam gugatannya, melihat upaya hukum tersebut sebagai upaya untuk mencegah masa depan yang tidak menguntungkan: kehilangan rumahnya di Pulau Pari.

Rumahnya berada di tengah pulau, sehingga aman dari banjir rob untuk saat ini. Namun ia khawatir bukan tidak mungkin banjir akan mencapai rumahnya dalam 10 atau 20 tahun ke depan, apalagi tanpa upaya serius untuk memitigasi krisis iklim.

“Saat rumah saya kebanjiran,” kata Mustaghfirin, “itulah akhir dari Pulau Pari.”


Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Bencana Akibat Kerusakan Ekologis” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di The Jakarta Post pada 23 Maret 2024.

About the writer

Alifia Sekar

Alifia Sekar is a cub reporter at The Jakarta Post. She covers a broad range of topics from environment, health, education, law and politics.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.