Salah satu tantangan terbesar dalam pengawasan perdagangan ikan hias laut (marine ornamental fishes/MOF) adalah data mengenai jenis dan jumlah spesies yang diperdagangkan. Untuk menjawab tantangan tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan proyek riset Indonesia Marine Ornamental Fishes in New Paradigm (Indonesia Mantap).
Ketua Indonesia Tim Indonesia Mantap, Kunto Wibowo, menjelaskan bahwa tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan updating status biodiversitas, valuasi perdagangan, dan kondisi sosial ekonomi perdagangan MOF sebagai dasar pemetaan masalah dan merumuskan arah kebijakan pengelolaan serta perdagangan MOF di Indonesia.
“Kegiatannya ya mulai dari koleksi spesimen, preparasi spesimen, dokumentasi, koleksi DNA, identifikasi spesies berdasarkan morfologi maupun molekuler, penyimpanan koleksi MOF di Museum Zoological Bogoriense, hingga publikasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan ke depan,” tutur Kunto yang juga peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN.
Dalam menjalankan proyek tersebut BRIN berkolaborasi dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan pada skema pendanaan Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM).
Kunto berharap seluruh stakeholder perdagangan MOF di Indonesia dapat bergerak bersama untuk mendukung inisiatif ini demi menjaga kelestarian dan keberlanjutan perdagangan MOF Indonesia di pasar global.
Kusutnya data MOF
Updating (pembaruan) data jenis dan jumlah spesies ikan hias penting untuk dilakukan karena akan sangat berpengaruh terhadap spesies MOF apa saja yang bisa diperjualbelikan dan yang harus dilindungi. Saat ini, data global yang tersedia bagaikan benang kusut.
Perbedaan data MOF global yang ada sempat memicu perdebatan pada ajang CITES Technical Workshop on MOF yang berlangsung di Brisbane, Australia, 7-10 Mei 2024.
Berdasarkan kajian CITES (Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna Liar yang Terancam Punah) dan UNEP-WCMC (Program Lingkungan PBB-Pusat Pengawasan Konservasi Dunia), saat ini ada 1.764 spesies MOF yang diperdagangkan di dunia. The Ornamental Aquatic Trade Association (Asosiasi Pedagangan Akuatik Hias/OATA) dan Ornamental Fish International (Ikan Hias Internasional/OFI) melaporkan 1.040 spesies.
Lalu International Union for Conservation of Nature (Uni Internasional untuk Konservasi Alam/IUCN) melaporkan ada 2.682 spesies yang diperdagangkan. Sementara lembaga dan pakar lainnya menyebutkan sekitar 258-2.667 spesies MOF dalam perdagangan global.
Di Indonesia, menurut pendataan yang dilakukan Yayasan LINI, AKKII (Asosiasi Koral, Kerang, dan Ikan Hias Indonesia), dan INOFE (Indonesia Ornamental Fish Exporter Association), ada 616 spesies MOF Indonesia yang diperdagangkan di pasar global. Berbeda dengan data kajian CITES dan UNEP-WCMC yang mencatat sebanyak 1.175 spesies MOF yang beredar di pasar berasal dari Indonesia, atau 62% dari angka total versi mereka.
Kunto menyatakan bahwa saat ini data ikan hias laut memang sulit untuk diakses, termasuk yang diperdagangkan di Indonesia. Soal perbedaan data, ia menjelaskan, mungkin saja terjadi karena kesalahan identifikasi spesies MOF tersebut.
Kesalahan tersebut, lanjutnya, bisa terjadi karena pelaku perdagangan ikan hias melakukan identifikasi melalui foto, bukan berdasarkan pengamatan dan pengukuran spesimen.
“Sehingga bisa saja dua spesies berbeda dihitung menjadi satu spesies yang sama. Atau justru sebaliknya, satu spesies dihitung menjadi dua spesies berbeda sehingga double counting,” kata Kunto yang sejak tahun 2010 fokus meneliti biodiversitas ikan laut.
Oleh karena itu koreksi dan updating data menjadi penting, terutama dalam upaya pelestarian, dan program Indonesia Mantap bisa membantu menyukseskan itu.
- Konsekuensi Mahkamah Konstitusi memerintahkan tidak menerbitkan peraturan pelaksana berkaitan UU KSDAHE
- Menavigasi pencemaran dan perjuangan hidup di tepi perairan Cilincing
- Belajar dari Kearifan Orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur
- BPKN: industri AMDK ‘kurang menghormati’ aturan label peringatan BPA
- Pengelolaan IPAL Sarimukti belum maksimal