Pentingnya kearifan lokal dalam mengelola keragaman pangan. Memahami cara masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pemerintah sering kali menghadapi tekanan untuk memastikan ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Namun, pendekatan yang dipilih kadang menimbulkan kontroversi, terutama terkait dengan upaya untuk menyeragamkan pangan rakyat. Sebaliknya, masyarakat memiliki kearifan lokal dalam mengelola keragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bayu Herinata, Direktur Walhi Kalimantan Tengah, menyoroti pentingnya memahami cara masyarakat dalam mengelola keragaman pangan. Dia menekankan bahwa klaim terkait keberhasilan food estate di Kalimantan Tengah khususnya singkong keliru, bahkan sangat tidak berdasarkan dengan data dan informasi fakta lapangan yang ada.
Dikutip dari laman resmi, diakses Senin, 3 Juni 2024, menurut Bayu, pemerintah harus lebih terbuka terhadap keberagaman pangan lokal yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.
Dalam konteks yang sama, Janang Firman Palanungkai, Manager Advokasi, Kampanye, dan Kajian WALHI Kalimantan Tengah, menambahkan bahwa “Pemerintah harus belajar mengenai bagaimana cara masyarakat dalam mengelola keragaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bukan memaksa untuk menyeragamkan pangan rakyat.”
Pernyataan ini menyoroti perlunya menghargai pengetahuan lokal dalam pengelolaan pangan.
Program Food Estate Singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, adalah contoh nyata ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Meskipun ada klaim kesuksesan program tersebut, data lapangan dari Walhi Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa program ini jauh dari berhasil.
Merespons kegagalan program Food Estate, Igo, Manager Pengorganisasian dan Wilayah Kelola Rakyat WALHI Kalimantan Tengah, menyatakan bahwa “Proyek food estate ini tidak sejalan dengan keberagaman pangan lokal. Hadirnya proyek ini terbukti menghilangkan pangan lokal karena seluruh bibit dan pola pertaniannya tidak sesuai dengan pengetahuan masyarakat lokal.”
Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya menghormati pengetahuan lokal dalam menjaga keberlanjutan sumber daya pangan.
Tidak hanya itu, proyek Food Estate juga menghadapi kritik terhadap dampaknya terhadap lingkungan. Larangan berladang dan adanya proyek Food Estate telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, yang berpotensi memperburuk bencana ekologis seperti banjir dan kebakaran hutan.
Dalam konteks yang lebih luas, proyek Food Estate mencerminkan ketidakkonsistenan antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Sebagai gantinya, pemerintah harus memperkuat keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pangan, serta memperhatikan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya pangan.
Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan suara masyarakat dan memahami kearifan lokal dalam mengelola keragaman pangan. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, pemerintah dapat memastikan ketersediaan pangan yang berkelanjutan bagi seluruh rakyatnya.
Dalam menangani tantangan keamanan pangan, penting bagi pemerintah untuk mengakui dan memahami kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pangan. Program-program seperti Food Estate harus dinilai berdasarkan dampaknya terhadap keberagaman pangan lokal dan lingkungan.
Dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan memperhatikan pengetahuan lokal, pemerintah dapat memastikan ketersediaan pangan yang berkelanjutan dan menyeluruh bagi seluruh rakyatnya.