Posted inArtikel / Agraria

Nelayan desak Jokowi batalkan reklamasi di Kota Manado

Reklamasi pantai yang digiatkan pemerintah dalam tiga dekade terakhir telah menjadi momok bagi masyarakat dan komunitas nelayan di Kota Manado.

Warga Kelurahan Bitung Karangria, Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara terus menolak reklamasi. Mereka bahkan mendesak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) agar segera membatalkan izin penimbunan pantai seluas 90 hektare di utara Kota Manado tersebut.

“Kami meminta presiden menatap situasi di Manado [bagian] utara saat ini karena ada masalah besar yang tengah dihadapi ribuan masyarakat bila reklamasi ini dilanjutkan. Sehingga kami desak presiden segera membatalkan perizinannya,” tegas Johan Paulus, salah satu tokoh muda di Karangria, Minggu (23/6/2024).

Pelayan Khusus di Gereja Masehi Injil di Minahasa (GMIM) Petra Karangria itu menjelaskan, dampak reklamasi yang areanya memanjang dari Sindulang hingga Jati itu tak hanya dirasakan para nelayan. Bila reklamasi berlanjut, ada juga ancaman banjir terhadap ratusan kepala keluarga. Tak hanya terhadap warga kelurahan itu, tetapi juga kelurahan lainnya di utara Manado.

“Saat musim hujan datang kecemasan selalu melanda masyarakat Karangria karena terancam banjir, kondisinya akan makin parah saat pantai kami ditimbun,” jelas Johan.

Jadi, lanjut Johan, persoalan reklamasi tak hanya bicara seputar pesisir dan nelayan saja. Dampak sosial dari reklamasi juga akan dirasakan warga secara keseluruhan. Tak terhitung lagi berapa besar kerugian akibat banjir yang sering melanda Karangria tahun-tahun sebelumnya.

“Seperempat kelurahan sering terendam air kalau aliran sungai yang melintas Karangria itu meluap saat musim hujan dan pastinya akan semakin parah kalau reklamasi dipaksakan,” lanjutnya.

Menghilangkan fungsi pantai

Dampak lain reklamasi adalah menghilangkan fungsi pantai untuk masyarakat. Dalam pertemuan dengan pimpinan dan anggota DPRD Sulawesi Utara belum lama, Rein Sarai, warga Karangria lingkungan Dua, menyampaikan bahwa pantai itu sejak lama menjadi sarana rekreasi warga Manado.

“Selain lokasi mandi dan ibadah, pantai ini juga sering dikunjungi masyarakat yang melakukan relaksasi dan banyak yang mengaku sembuh setelah terapi mandi air laut di sini,” kata Rein.

Oleh karena itu, dia mendesak agar pihak legislatif tidak tinggal diam. Para anggota dewan harus terus memihak masyarakat untuk membatalkan reklamasi tersebut. Penimbunan pantai, lanjut dia, tak hanya menyingkirkan ruang hidup nelayan tapi juga berdampak negatif pada ekosistem pesisir.

Momok masyarakat

Reklamasi pantai di Manado Utara itu, yang telah berjalan tiga dekade terakhir, menjadi momok yang menakutkan masyarakat dan komunitas nelayan di Kota Manado.

Kendati banyak elemen masyarakat melancarkan aksi protes bersama para nelayan, program reklamasi terus saja berjalan. Dampak buruk mulai bermunculan, termasuk musnahnya kultur perikanan nelayan pesisir.

Hasil penelitian Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) akhir tahun 2016 menunjukkan bahwa sejak program pengembangan dan pembangunan wilayah pantai Manado sebagai Water Front City pada 1990-an, sebanyak 29.500 KK telah terusir dari pesisir itu.

Padahal, menjaring dan menangkap ikan bukan sekadar cara melanjutkan hidup bagi nelayan di pesisir Manado, tetapi juga sebuah kultur yang menyatukan nasib ribuan nelayan di sepanjang garis pantai. Mereka berburu hasil laut dengan irama yang sama, dengan pukat yang dituntun Kana—lentera penanda tempat pukat terdampar.

Reklamasi tersebut, kata Paulus Heydemans, tokoh masyarakat Borgo-Bawontehu di Karangria, menghapus detail-detail kehidupan mereka.

“Kita akan kehilangan kahuang (tongkat yang diikatkan pada pukat dampar), sebab kalau nelayan jadi satpam di lokasi reklamasi maka kahuang dan soma (pukat) jadi berganti handy talkie dan pentungan,” ujar Heydemans di rumahnya saat diwawancarai beberapa waktu lalu.

Laut dan pantai tidak bersertifikat kepemilikan, tapi menurut Heydemans, laut dan pantai merupakan hak asal-usul masyarakat. Masyarakat pesisir tak akan hidup tanpa kedua unsur ini.


About the writer

Noura Arifin

Noura Arifin is a broadcast communications bachelor who is interested in the world of journalism. Starting her journalistic career as a journalist in local media. Noura's coverage focuses on gender issues,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.