Pada malam tanggal 1 April itu, angin kencang membawa gerimis, kilat, dan gelombang setinggi satu meter ke laut sekitar Kepulauan Bangka Belitung. Ismu Bai memutuskan untuk pulang lebih awal dari perjalanan memancing cumi-cuminya.

“Syukurnya saya bisa mendapat dua kilogram [cumi-cumi]. Yang penting bisa pulang dengan selamat ke keluarga,” kata Ismu, yang sudah puluhan tahun mencari ikan di pesisir timur Pulau Bangka, salah satu dari dua pulau besar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ia mengatakan, perairan di sekitar pulau tersebut telah menarik perhatian para nelayan dari Pulau Jawa, 400 km ke arah selatan.

“Saat musim pemijahan, banyak induk cumi yang mengasuh anaknya. Mereka terkenal galak dan lapar sehingga mudah dipancing,” kata Ismu. Nelayan lokal seperti dirinya beruntung karena kondisi pemancingan masih baik dan mereka tidak perlu berlayar terlalu jauh, tambahnya.

Namun masyarakat di sekitar Kepulauan Bangka Belitung semakin khawatir akan kondisi laut di kawasan tersebut. Mereka khususnya mengkhawatirkan dampak penambangan timah.

Lonjakan tambang meresahkan nelayan cumi-cumi

Timah telah ditambang di Indonesia selama ratusan tahun, namun aktivitasnya mulai meningkat secara signifikan pada abad ini. Penambangan di darat dan laut mulai marak setelah reformasi tahun 1998 berujung pada diliberalisasinya aturan-aturan. Tak hanya tambang legal, aktivitas ilegal pun meningkat.

Penambangan timah di laut dilakukan dengan cara mengeruk atau menyedot pasir dasar laut, kemudian dicuci untuk memisahkan timahnya. Material ini secara tradisional dikaitkan dengan kaleng, namun ia juga digunakan dalam produk teknologi tinggi untuk menyolder barang elektronik.

Tambang skala kecil yang dioperasikan warga menggunakan ponton kayu yang mengapung di tong plastik untuk menambang timah. Penambang komersial menggunakan kapal keruk dan kapal pengisap khusus yang dapat menarik lebih dari 3,5 juta meter kubik material setiap bulannya.

Saat ini, semua metode penambangan timah membuang limbahnya langsung ke laut, kata Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung.

Timah dan logam berat limbah pertambangan dapat menyebar dalam jarak yang jauh, hingga menetap di terumbu karang dan habitat lainnya. “Sejak berbagai teknologi pertambangan timah mulai beroperasi di wilayah pesisir dan laut, telah terjadi kerusakan ekologi pesisir dan laut, serta ancaman hilangnya kearifan [dan] nilai-nilai masyarakat Kepulauan Bangka Belitung,” kata Hafidz kepada Dialogue Earth.

Terumbu karang menjadi korban

Menurut Walhi Bangka Belitung, pada tahun 2015 terdapat hampir 82.300 hektare terumbu karang di sekitar Bangka Belitung. Analisis citra satelit pada tahun 2017 mendeteksi lebih dari 12.500 hektare karang hidup dan hampir 5.300 hektare karang mati. Karang lainnya seluas 64.500 hektare telah hilang.

Para peneliti mengatakan aktivitas penambangan timah berkontribusi terhadap hilangnya karang secara cepat, begitu juga dengan padang rumput sargassum. Keduanya merupakan habitat penting bagi cumi-cumi.

“Sederhananya, tanpa terumbu karang, cumi tidak akan bisa hidup dan berkembang biak. Hampir seluruh siklus hidup cumi [kawin, memijah, dan remaja] sangat bergantung pada ekosistem terumbu karang,” kata M Rizza Muftiadi, peneliti karang dari Universitas Bangka Belitung.

“Saat aktivitas penambangan timah di darat dan laut di sekitar Pulau Bangka masih berlangsung, terumbu karang dan cumi-cumi akan terus terancam,” tambahnya. “Hal ini akan diperburuk oleh perubahan iklim dan fenomena lainnya.”

Dampak penambangan timah ini pun sudah terasa di daratan. Masyarakat Bangka Belitung merasa dipaksa untuk menghentikan budidaya tanaman tradisional, karena sebagian lahan telah diubah menjadi tambang timah.

Sukardi, tokoh masyarakat Suku Mapur, yang tinggal di ujung utara Pulau Bangka di Dusun Tuing, bertutur kepada Dialogue Earth: “Kebanyakan warga di Tuing kini hanya melaut”, dan tidak menanam sayuran.

Di Dusun Kedimpal di pesisir timur Pulau Bangka, pendapatan dari pertanian biasanya menambah hasil panen kerang yang berlimpah di tepi pantai. Kini, dusun tersebut didominasi oleh pohon-pohon pinus laut yang kering dan mati – yang merupakan indikasi kondisi tanah di daerah tersebut. Penduduk setempat menyalahkan pertambangan timah sebagai penyebab rusaknya ekosistem setempat.

Elsa adalah seorang nelayan kerang di Batu Beriga, sebuah desa di ujung timur Pulau Bangka. Dia mengatakan “di darat tidak ada lagi kebun”, sementara populasi kerang di pantai telah berkurang secara signifikan. Ironisnya, ia kini bergantung pada penghasilan anaknya dari menambang timah.

Izin memicu protes

Pencatatan pada tahun 2018 menemukan lebih dari 12,600 lubang penambangan yang tersebar di 15,58 juta hektare lahan di seluruh wilayah Bangka Belitung. PT Timah, yang beroperasi di provinsi ini, merupakan pemain utama sektor timah di Indonesia.

Kekhawatiran para nelayan di Batu Beriga dipicu oleh persetujuan rencana perusahaan timah laut pada tahun 2023, yang melibatkan penambangan di wilayah kerja para nelayan yang sebelumnya tidak tersentuh. Proposal ini ditolak oleh masyarakat pada tahun 2019, sehingga penambangan berhenti sementara.

Antara tahun 2018 hingga 2023, aktivitas penambangan timah di wilayah tersebut telah menimbulkan 33 kasus konflik masyarakat, termasuk demonstrasi menentang pemerintah dan pertambangan. Pada Hari Bumi di bulan April, penduduk Desa Batu Beriga dan kelompok masyarakat lainnya berdemonstrasi di kantor pemerintah provinsi. Mereka menuntut pencabutan izin pertambangan di Batu Beriga dan kawasan lainnya.

Menanggapi hal tersebut, Penjabat Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Safrizal ZA, berjanji akan meminta perusahaan untuk tidak melakukan penambangan di dekat desa tersebut tanpa persetujuan masyarakat.

“Kami tidak bisa mencabut izin usaha pertambangan secara langsung, karena bukan saya yang mengeluarkannya,” kata Safrizal. “Tapi saya bisa menyurati kementerian yang menerbitkan izin usaha pertambangan agar yang di [Batu] Beriga ditinjau ulang. Kami akan menjaganya bersama.”

Upaya restorasi perusahaan tambang

Anggi Siahaan, Head of Corporate Communications PT Timah, mengatakan bahwa perusahaan telah melakukan upaya remediasi yang signifikan baik di darat maupun di laut.

Antara tahun 2016 dan 2023, jelasnya, upaya yang dilakukan termasuk membuat lebih dari 3.100 tempat penampungan ikan, mentransplantasikan 51 hektare karang, menanam hampir sembilan hektare hutan bakau, dan memasang 96 hektare terumbu buatan. PT Timah juga telah melakukan restocking dengan melepasliarkan sekitar 40.400 ekor cumi dan 2.400 ekor kepiting.

“Pelaksanaan [remediasi] harus dilihat sebagai langkah yang terintegrasi dengan kegiatan pertambangan,” kata Anggi. “Penerapan cara penambangan yang baik dan benar harus dilakukan secara efektif dan dapat memberikan hasil yang optimal dengan dampak lingkungan yang minimal.”

Namun sejumlah nelayan dan ilmuwan mempertanyakan efektivitas upaya remediasi. Mereka mengatakan tidak ada gunanya melakukan restocking atau mencoba membangun kembali populasi cumi, ikan, dan karang jika mereka terus terkena dampak limbah pertambangan.

Saat diberi tahu hasil temuan nelayan dan ilmuwan, Anggi mengatakan, perusahaannya melakukan pengelolaan lingkungan hidup, mematuhi seluruh peraturan pemerintah, dan tidak pernah diperingatkan atau didenda karena ketidakpatuhan terhadap lingkungan. Dunia membutuhkan timah, dan PT Timah berkomitmen terhadap penambangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, katanya.

Semakin sulit dapatkan cumi-cumi

Selain penambangan, nelayan cumi juga harus menghadapi cuaca yang tidak menentu dan kedatangan nelayan lain ke perairan pulau tersebut. Kapal-kapal besar berlayar semakin jauh ke tengah, yang oleh sebagian orang dituding sebagai penyebab berkurangnya jumlah cumi-cumi di pesisir.

Di dekat Batu Beriga, di mana perairannya merupakan salah satu dari sedikit daerah yang belum tersentuh tambang timah, penduduk setempat mengatakan tangkapan cumi-cumi telah menurun dalam satu dekade terakhir.

Menjual dua kilogram cumi – jumlah yang diangkut Ismu malam itu di bulan April – mungkin tidak dapat menutupi biaya penangkapannya. “Kalau dijual dua kilogram cumi-cumi hanya dapat Rp160.000,” kata Reno, seorang nelayan dan anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Batu Beriga. “Kami sering kehilangan uang dan terpaksa berutang lagi untuk melaut keesokan harinya.”

Reno mengatakan sebagian besar nelayan lokal menggadaikan rumah mereka agar mendapatkan uang untuk melaut, dan “banyak nelayan di sini sudah berutang puluhan juta rupiah kepada pengepul ikan [pembeli di tingkat desa]”.

Bersyukur pada laut

Bagi nelayan di Bangka Belitung, biasanya terdapat dua puncak musim cumi: yang pertama pada bulan Juni hingga Agustus, dan yang kedua pada bulan Oktober hingga Januari. Pada bulan Juni, penduduk desa mengawali musim dengan ritual taber laot, yaitu mereka mengucap syukur atas hasil panen laut selama setahun terakhir dan memanjatkan doa agar semakin melimpah. Masyarakat dilarang melaut selama ritual yang berlangsung tiga hari tersebut.

Ritual tersebut dilakukan oleh berbagai Suku Melayu di Bangka Belitung. Dalam dialek setempat, taber berarti upaya menyembuhkan, menyucikan, atau memulihkan, sementara laot berarti laut. Hari penyelenggaraannya terkait erat dengan siklus hidup hewan laut, khususnya cumi-cumi, karena merupakan tangkapan penting. Ritual ‘penguncian laut’ tersebut diharapkan dapat memberikan waktu istirahat dan pemulihan pada laut.

Ismu, warga Batu Beriga, mengatakan bahwa mesti ada penghormatan terhadap laut, yang telah menyokong masyarakat selama berabad-abad: “Ada alasan-alasan kuat yang membuat kami terus menjaganya.”


About the writer

Nopri Ismi

Nopri Ismi is a journalist and visual storyteller. He has reported on environmental issues, biodiversity, climate change, and Indigenous peoples for outlets including Mongabay Indonesia and Rumah Sriksetra.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.