Krisis iklim telah mengakibatkan abrasi di pulau-pulau kecil kian memburuk. Pohon-pohon di pinggir pantai tumbang.
Pemulihan dan pelestarian pesisir serta pulau kecil dari krisis iklim di seluruh wilayah Indonesia dimulai di Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania mengatakan bahwa pengelolaan pantai dan kebun di Pulau Pari merupakan bentuk perjuangan warga.
Sebelumnya, saat dahulu membuka lahan menuju Pantai Rengge (wilayah yang menjadi lokasi penanaman mangrove), warga kerap diintimidasi perusahaan.
“Perjuangan kami telah berlangsung sejak tahun 2014 sampai saat ini. Kami masih tetap berjuang untuk ruang hidup dan kehidupan kami disini. Yang bisa kami lakukan adalah gerakan seperti selama ini,” uangkapnya, di sela acara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa yang menandatangani kerja sama perlindungan, pemulihan dan pelestarian pesisir serta pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia yang dilaksanakan pada Senin (08/07/2024) di Pulau Pari.
Asmania juga menambahkan, saat ini pihaknya mengalami dampak krisis iklim yang sangat parah. Menurutnya, krisis iklim telah mengakibatkan abrasi di Pantai Rengge kian memburuk. Pohon-pohon di pinggir pantai tumbang.
“Ada kesedihan ketika melihat situasi yang terjadi di sini. Mungkin saat ini masih tetap ada, tetapi kami tidak tahu bagaimana nasibnya 10 atau 15 tahun lagi ini ke depan,” katanya.
Ia menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang terus mengalir dari banyak pihak, termasuk Walhi dan DMC Dompet Dhuafa. “Terima kasih kepada kawan-kawan yang sudah berkontribusi untuk hari ini penanam mangrove. Terima kasih sudah mempercayakan kepada kami warga Pulau Pari,” tambahnya.
Asmania menggarisbawahi perjuangan kelompok perempuan di Pulau Pari melawan perampasan tanah oleh perusahaan dan krisis iklim adalah bukti nyata kontribusi perempuan terhadap keadilan dan kelestarian alam. Dirinya menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan Pantai Rengge dan Pulau Pari secara keseluruhan oleh kelompok perempuan bukan hanya untuk warga tapi juga untuk anak cucu generasi mereka berikutnya.
“Kami hanya ingin hidup tenang dan damai di Pulau Pari. Karena kami sudah sejahtera dengan laut kami. Dan berharap laut serta daratan kami akan baik-baik saja. Kami ingin keadilan antar generasi terwujud di Pulau ini dan seluruh pulau di Indonesia,” katanya.
Terancam krisis iklim
Pulau Pari merupakan salah pulau kecil di Kepulauan Seribu yang luasnya tidak lebih dari 42 hektar. Pulau ini dihuni oleh lebih dari 400 keluarga yang rata-rata bekerja sebagai nelayan dan atau pegiat pariwisata. Sejak lama, Pulau Pari telah terdampak oleh krisis iklim. Pulau Pari semakin sering dihantam banjir rob, kenaikan air laut, cuaca ekstrim, serta tingginya gelombang. Semuanya telah memperburuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Pari.
Walhi bersama HEKS (sebuah lembaga yang berada di Zurich, Swiss) telah mengkalkulasi hilangnya luasan Pulau Pari sebesar 11 persen, atau seluas 4,6 hektar. Sebelumnya, Pulau Pari tercatat seluas 42 hektar. Namun kini hanya tinggal persen 41,4 hektar.
Dampak lainnya dari krisis iklim di Pulau Pari adalah hilangnya hasil tangkapan ikan secara drastis, di mana laut saat ini sudah tidak lagi bersahabat. Nelayan telah kehilangan tangkapan lebih dari 70 persen jika dibandingkan dengan sebelum terdampak krisis iklim.
Krisis iklim juga memicu banyak jenis ikan laut, di antaranya ikan kerapu dan ikan cakalang, sulit ditemukan karena temperatur laut yang semakin menghangat. Lebih jauh, krisis iklim telah menyebabkan banjir rob semakin sering terjadi di Pulau Pari. Akibatnya, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungan wisatanya.
“Situasi tersebut menjadi pukulan keras bagi ekonomi kami yang tergantung pada sektor perikanan dan pariwisata yang selama ini menjadi income utama Pulau Pari,” kata Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari.
Terkait dengan banjir rob, Arif Pujiyanto (warga Pulau Pari di Pantai Bintang), pulau ini sering diserang banjir rob pada malam hari. Ia menyebut, banyak anak-anak yang trauma karena banjir rob yang intensitasnya terus meningkat sejak tahun 2020.
“Tak sedikit anak-anak di Pulau Pari mengalami ketakutan dan trauma akibat banjir rob. Mereka tak bisa masuk sekolah karena kesehatan fisik dan psikisnya terganggu,” ungkapnya.
Banjir yang datang pada malam hari telah merusak rumahnya secara permanen. Ia harus memperbaiki rumahnya sendiri dan mengeluarkan uang sekitar Rp3.000.000 untuk memulihkan kerusakan rumahnya.
Tak hanya itu, keluarga Arif juga harus membeli lebih banyak air, karena air sumur yang ada di rumahnya telah terintrusi air laut.
“Untuk mencuci diri, pakaian, untuk membersihkan kami tidak dapat menggunakan air sumur akibat banjir rob yang merendam selama beberapa hari. Sejak itu, kami harus membeli lebih banyak air dari penyulingan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tegasnya.
Sementara itu, Edi Mulyono, nelayan sekaligus pelaku pariwisata, menyatakan ia bersama kawan-kawan lainnya sering kali mengalami kerugian ekonomi karena banjir rob. Ratusan wisatawan yang akan datang ke Pulau Pari mendadak membatalkan rencana kunjungannya karena situasi yang tidak memungkinkan.
Edi Mulyono, menyebut telah kehilangan pendapatan dari homestay dan pendapatan pariwisata. Para wisatawan telah membatalkan perjalanannya karena khawatir akan terjadi banjir rob.
“Saya mengalami kerugian Rp5.500.000 akibat banjir rob pada November dan Desember 2021,” ungkap Edi.
Ia juga tak tidak bisa menangkap ikan, akibat banjir rob dan harus membersihkan Pulau. Akibatnya, ia kehilangan penghasilan sekitar Rp1.750.000.
Beban bagi kaum perempuan menghadapi krisis iklim
Asmania, seorang perempuan nelayan sekaligus ketua dewan Pulau Pari, menyebut bahwa krisis iklim telah memaksa perempuan di Pulau Pari memiliki beban berlapis karena harus bekerja lebih keras memenuhi kebutuhan keluarga. Ia mengakui mengalami kerugian besar pada sektor perikanan budidaya akibat pemanasan air laut.
“Dulu saya biasanya panen itu 30-50 juta tapi sekarang tidak bisa menghasilkan yang banyak panen ikan kerapunya, karena air laut yang terjadi sekarang itu cukup panas jadi ikan-ikan banyak yang mati, itu juga yang membuat perekonomian saya keluarga semakin turun,” ungkapnya.
Selain menghadapi ancaman krisis iklim, Pulau Pari juga menghadapi ancamannya lainnya yaitu perampasan pulau oleh perusahaan. Perusahaan tersebut terbukti telah melakukan intimidasi selama kurun waktu 2016. Intimidasi yang dimaksud antara lain: somasi kepada warga, larangan warga mendirikan/merenovasi rumah, memaksa warga menandatangani surat pernyataan, dan menyurati warga untuk bekerja sama.
Bahkan, tiga orang warga Pulau Pari, yaitu Mustaghfirin alias Bobi, Mastono alias Baok, Bahruddin alias Edo, mengalami kriminalisasi dan dipenjara akibat melawan perusahaan tersebut.
“Dengan demikian, kerja sama antara Walhi dan DMC Dompet Dhuafa diharapkan akan memperkuat masyarakat Pulau Pari dalam menghadapi ancaman krisis iklim dan perampasan ruang hidup (oleh perusahaan),” tegas Bobi.