Kajian kebencanaan ini seharusnya menjadi salah satu pertimbangan penting pembangunan di Halmahera Tengah, termasuk dalam implementasi hilirisasi nikel yang membabat hutan.

Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikebut dari Sumatera hingga Papua menjadi salah satu ancaman nyata bagi masyarakat pesisir, pedalaman, dan pulau-pulau kecil. Mereka terancam digusur, diusir dari wilayah tempat mereka berasal, dipaksa untuk menerima relokasi. Sebagian lainnya terancam dengan rusaknya ekosistem akibat pembangunan yang masif.

Salah satu wilayah yang mengalami hal tersebut adalah wilayah daratan Kabupaten Halmahera Tengah. Pada akhir Juli 2024, Kabupaten Halmahera Tengah mengalami banjir terparah dalam beberapa tahun terakhir, menyebabkan kerugian besar bagi warga karena akses jalan terputus, rumah terendam air, 1.726 orang mengungsi, dan menghilangkan satu nyawa. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku Utara mencatat tujuh desa terdampak banjir.

Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa deforestasi di wilayah konsesi tambang tambang pada batas ekologis tersebut mencapai 7.167 hektare. Hal ini juga membuktikan bahwa faktor pendorong deforestasi dalam 10 tahun terakhir di wilayah DAS terdampak banjir adalah pertambangan nikel.

Wilayah Halmahera Tengah ini dibebani oleh 26 konsesi pertambangan dengan total luas 57.627 hektar. Dari keseluruhan izin tersebut, 20 diantaranya merupakan izin operasi produksi untuk komoditas nikel. Selain itu, ada 2 konsesi tambang nikel yang masih tahap lelang.

Kondisi tersebut makin menjadi beban dengan kehadiran PSN Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perluasan kawasan industri IWIP terus dilakukan dan membuat pembongkaran hutan besar-besaran, baik untuk perluasan Kawasan IWIP maupun penambangan nikel di sekitar lokasi IWIP.

“Analisis spasial menunjukkan, dari tahun 2013 hingga 2023, hutan yang hilang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi kesatuan wilayah ekologis antara desa terdampak banjir, IWIP, dan perusahaan tambang mencapai 10.803 hektare. Situasi ini membuat tekanan terhadap lingkungan hidup di wilayah Halmahera Tengah semakin besar,” ujar Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), dalam diskusi publik “Tingkat Produksi Pertambangan Nikel di Halmahera Tengah dan Daya Dukung & Tampung Ekologi,” di Jakarta, Rabu (28/8 /24).

Menurut Pius Ginting, aktivitas penambangan nikel juga membuat sedimentasi tinggi yang ditandai dengan kekeruhan air sungai, sedimentasi ini yang memperkecil daya tampung sungai. Hal ini adalah kombinasi yang sempurna untuk membuat bencana banjir, yaitu curah hujan tinggi, pengurangan ekosistem hutan sebagai pengatur tata hidrologis, dan pendangkalan sungai.

Dalam dokumen Kajian Risiko Bencana Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah memiliki kelas potensi bahaya banjir yang tinggi, luasannya mencapai 16.290 hektare. Begitupun untuk hektare bencana banjir bandang, termasuk kelas tinggi dengan luas 8.166 hektare.

Kajian kebencanaan ini seharusnya menjadi salah satu pertimbangan penting pembangunan di Halmahera Tengah, termasuk dalam implementasi hilirisasi nikel yang lahap lahan.

Pius Ginting juga menegaskan, pembatasan nikel diperlukan sesuai dengan daya dukung energi terbarukan. Dampak perubahan iklim di Halamahera Tengah menunjukkan musim kemarau yang panjang sehingga debu PLTU memperburuk kesehatan warga. PLTU perlu dipensiunkan, menghentikan kontruksi, dan digantikan dengan energi terbarukan. Karena sumber energi terbarukan terbatas di Halmahera, maka produksi nikel pun perlu dibatasi.

Pengelolaan lingkungan hidup pertambangan dan kualitas lingkungan hidup di kabupaten Halmahera Tengah

Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, Abubakar Yasin mengakui ada gap antara kondisi lingkungan dengan kemampuan investasi.

Abubakar juga menyoroti pertumbuhan jumlah penduduk yang masif dan berdampak pada pembuangan sampah. Selain itu, curah hujan yang sangat tinggi pada bulan Juli 2024 dan melebihi standar curah hujan di Halmahera Tengah menjadi salah satu sebab terjadinya banjir bandang.

Menurut Abubakar, dari 7 perusahaan besar mengelola tambang di Halmahera Tengah, yang diawasi baru lima perusahaan. Ia mengakui limbah yang masuk ke sungai dan tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh ke kualitas sungai. Namun kehadiran investasi tidak bisa ditolak, apalagi ini dari pemerintah pusat. Ia mengatakan pemerintah daerah tidak berdiam diri. Mereka tetap melakukan sesuatu meski belum maksimal.

Kondisi warga lingkar tambang yang terdampak banjir di Halmahera Tengah

Sementara Supriyadi Sudirman warga asli Sagea, Halmahera Tengah yang tergabung dalam Komunitas Fakawele dengan keras mengatakan warga Sagea tak membutuhkan tambang nikel. Warga Sagea membutuhkan sungai dan laut yang bersih, juga alam dan hutan yang indah untuk hidup.

Supriyadi mengatakan, warga Sagea tinggal sekitar 3 km dari lokasi hilirisasi nikel. Mereka sangat terdampak dengan masifnya pergerakan tambang di wilayah tersebut. Ia mengaku sudah melakukan penolakan lahan tambang sejak tahun 2011, tapi penolakan itu tak pernah digubris. Bahkan ketika pencemaran semakin parah ia dan komunitas Save Sagea tak pernah mendapat akses untuk melihat pusat pencemaran.

“Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai tak terbendung. Sungai keruh hampir sepanjang waktu. Deforestasi juga sangat tinggi. Di laut juga terjadi pencemaran, banyak ikan laut yang sudah tak bisa dikonsumsi karena terkontaminasi nikel,” demikian dipaparkan oleh Supriyadi.

Ia meyakini, berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, Sagea tak memiliki potensi nikel karena itu adalah kawasan kars. Sayangnya, meski banyak dosen dan peneliti yang datang meneliti sumber air, tapi warga tak pernah mendapatkan informasi lanjutan. “Warga sagea hanya bisa melihat kerusakan,” ujarnya.

Pernyataan Supriyadi dibenarkan Rifya. Perempuan warga Sagea ini mengaku merasakan dampak yang begitu besar. Tak hanya dirinya, tapi juga mama-mama lain warga Sagea.

“Perempuan yang sedang menstruasi atau habis melahirkan, biasanya menggunakan bahan-bahan alam sebagai obat untuk menjaga kesehatan reproduksi. Tapi setelah ada tambang, pohon-pohon dan tanaman obat sekarang sudah tidak ada,” ujarnya.

Rifya mengaku merasakan perubahan yang sangat besar, terutama dampak lingkungan. Embun pagi yang dulu bening kini berbintik hitam, nelayan tak bisa lagi melaut karena ikan semakin sedikit dan tercemar, tumbuhan banyak yang punah dan makin susah ditemukan, dan paling fatal adalah kelangkaan air bersih. Padahal dulu air bersih melimpah ruah di Sagea.

“Bahkan ada jasad warga yang meninggal dimandikan pakai air galon, karena enggak ada air sumur yang bersih,” ujarnya menambahkan.

Urgensi pembatasan produksi nikel di Halmahera Tengah

Pihak Kementerian ESDM yang diwakili Koordinator Hubungan Komersial Kementerian ESDM Christo A. Sianturi menjelaskan, bagaimanapun tujuan investasi pertambangan nikel umumnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah berharap masyarakat sejahtera, mandiri dan berkelanjutan.

“Soal IUP, dalam persetujuan RKB mereka akan mencermati, mengevaluasi dan melakukan pengawasan pada titik- titik pengamatan. Ada monitoring pengawasan,” ujarnya menambahkan.

Christo mengatakan, dalam Penyusunan studi kelayakan dan program pengembangan masyarakat (PPM), masyarakat dilibatkan untuk penyusunan program-program terutama masyarakat di ring 1.

Tapi Pius Ginting dari AEER menekankan produksi tambang di Halmahera Tengah perlu dibatasi. Alasannya, karena daya dukungan sudah terlampaui, banjir sudah sering terjadi dengan durasi lebih lama dan lebih sering.

“Belum ada kajian lingkungan hidup strategis di kabupaten di wilayah pertambangan ini. Ada masyarakat yang rentan dan aspek ekonomi lain yang hilang,” ujarnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.