Membangkang pada konstitusi mempunyai konsekuensi yang luas dan serius pada demokrasi, termasuk memperburuk dampak krisis iklim.
DPR RI dan pemerintah melakukan manuver politik ugal-ugalan dengan merevisi UU Pilkada pada 21 Agustus 2024 untuk tetap membatasi ruang demokrasi. Baleg DPR RI dan pemerintah hanya membutuhkan waktu 2 jam, untuk mengobrak-abrik sendi-sendi demokrasi yang susah payah dibangun melalui reformasi, dengan menyiasati putusan Mahkamah Konstitusi sehari sebelumnya (20 Agustus 2024) terkait ambang batas usia dan syarat pencalonan Kepala Daerah.
Meski revisi UU Pilkada akhirnya dibatalkan setelah demonstrasi besar-besaran, tetapi Greenpeace Indonesia melihat ada indikasi kuat pembangkangan terhadap konstitusi dan merusak demokrasi.
Greenpeace Indonesia mengecam keras tindakan DPR RI dan pemerintah yang secara terang-terangan melakukan pembangkangan konstitusi dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang diharapkan mampu menjaga marwah demokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah.
Pembangkangan ini dilakukan semata-mata untuk melumpuhkan demokrasi dan melanggengkan kekuasaan oligarki. Lumpuhnya demokrasi dan hilangnya fungsi oposisi akan semakin memperburuk upaya dalam mengatasi krisis iklim, serta mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh tumpah darah Indonesia.
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat. Itu merupakan kesepakatan yang dihasilkan dari proses reformasi dan amandemen konstitusi. Permainan politik para pembuat undang-undang ini berbahaya bagi kelangsungan demokrasi Indonesia dan sangat mencederai kepastian hukum.
“Revisi UU Pilkada ini secara telanjang mewakili kepentingan-kepentingan politik penguasa, dan prosesnya sepenuhnya mengingkari partisipasi dan keadaban publik,” papar Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, dalam keterangan resmi diakses dari laman Greenpeace Indonesia, Selasa, 27 Agusus 2024.
“Bila dibiarkan, praktik-praktik politik berbahaya ini akan mempunyai konsekuensi yang luas dan serius pada kemaslahatan publik, termasuk dapat memperburuk dampak krisis iklim,” lanjut Leonard Simanjuntak.
Berdasarkan situasi politik terakhir yang terjadi, Greenpeace Indonesia mengajak seluruh warga dan elemen masyarakat untuk bersuara dan mendesak menghentikan semua tindakan yang menghancurkan tatanan demokrasi Indonesia.
Demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah, harus terus kita jaga dan tidak bisa kita biarkan dirusak oleh kepentingan kekuasaan ekonomi dan politik oligarki.
Demokrasi yang sehat memberi ruang bagi warga untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk kebijakan lingkungan. Hal ini memastikan bahwa kebijakan lingkungan mencerminkan kebutuhan masyarakat lokal dan memiliki legitimasi.
Di sisi lain, pengelolaan lingkungan yang baik membutuhkan transparansi dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Dalam demokrasi yang sehat, informasi mengenai isu lingkungan mudah diakses, memungkinkan pengawasan publik dan media.