Puluhan eskavator menggali tambang sirkutil ilegal, merusak sempadan dan perubahan bentang alam secara drastis.
Aktivitas tambang sirtukil (pasir batu kerikil) ilegal yang berlangsung setiap hari di Sungai Batang Anai, khususnya di Nagari Lubuk Aluang dan Nagari Balah Hilia, Sumatera telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
Puluhan eskavator menggali tambang sirtukil berupa pasir dan batuan dari aliran sungai, merusak sempadan dan perubahan bentang alam secara drastis. Sungai Batang Anai yang selama ini menjadi sumber air vital bagi masyarakat dan ekosistem sekitar, kini terancam oleh aktivitas tambang ilegal yang tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga tidak mendapatkan tindakan hukum yang tegas.
Menurut WALHI Sumatera Barat, kerusakan yang ditimbulkan oleh galian tambang sirtukil ilegal ini sangat serius.
“Aktivitas pertambangan sirtukil ilegal ini tidak hanya menghancurkan lingkungan secara langsung, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat sekitar,” demikian keterangan resmi WALHI Sumatera Barat, diakses Jumat, 9 Agustus 2024.
Aktivitas ini mengabaikan mekanisme reklamasi dan pengelolaan limbah yang seharusnya ada, karena tambang ini tidak diatur dan diawasi oleh negara.
Dampak langsung dari pertambangan ilegal ini termasuk erosi tanah yang semakin parah di tepi sungai dan penurunan kualitas air yang menyebabkan sungai menjadi keruh dan tercemar.
Hal ini berdampak pada hilangnya habitat ikan, meningkatkan risiko banjir dan longsor, seperti yang terjadi di Nagari Lubuk Alung pada tahun 2024. Bekas kerukan tanah sirtukil yang terbawa arus air hujan juga mencemari sawah-sawah milik warga, merusak hasil pertanian mereka.
Meski masalah ini telah dilaporkan oleh masyarakat dan pemerintah nagari, tindakan dari pemerintah provinsi belum memadai. Pada 13 November 2023, Wali Nagari Balah Hilia mengirimkan surat kepada Gubernur Sumatera Barat mengenai aktivitas penambangan tanpa izin.
Tindak lanjutnya, pada 4 Desember 2023, pemerintah provinsi mengadakan rapat bersama berbagai pihak terkait, termasuk Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dan TNI, dan memutuskan untuk melakukan penertiban pada 5 Desember 2023. Namun, sanksi yang diberikan hanya berupa pemasangan papan larangan tanpa adanya monitoring yang efektif. Akibatnya, aktivitas tambang ilegal masih terus berlangsung.
Pada April 2024, masyarakat melaporkan masalah ini kepada Presiden melalui LSM AMUAK. Data lapangan menunjukkan bahwa tambang ilegal diduga melibatkan oknum militer dan kepolisian sebagai pelindung, dengan lebih dari 10 penambang ilegal menggunakan 10-15 alat berat.
Kegiatan tambang sirtukil ilegal melanggar hukum
WALHI Sumatera Barat mengungkapkan bahwa kegiatan tambang sirtukil ilegal ini melanggar berbagai peraturan perundang-undangan. Pertama, pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa penambangan tanpa izin dapat dikenakan hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Kedua, penggunaan alat berat dalam tambang ini melampaui baku mutu lingkungan yang diatur dalam Pasal 98 ayat (1) UU Minerba, yang dapat dikenakan hukuman penjara 3-10 tahun dan denda Rp3-10 miliar.
Kegiatan tambang ini juga melanggar Perda RTRW Nomor 5 Tahun 2020 tentang tata ruang, yang mengatur bahwa pemanfaatan ruang harus sesuai dengan rencana tata ruang. Pelanggaran terhadap Pasal 61 huruf A Undang-Undang Penataan Ruang bisa dikenakan hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda hingga Rp8 miliar.
Selain itu, menurut Peraturan Menteri PUPR No.28/PRT/M/2015, wilayah sempadan sungai hanya boleh digunakan untuk kegiatan yang tidak mengganggu fungsi sungai.
Pengabaian oleh pemerintah provinsi dalam mengawasi aktivitas tambang ilegal juga melanggar hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2009.
WALHI Sumatera Barat dan PBHI Sumatera Barat mendesak beberapa tindakan tegas. Pertama, penegakan hukum yang serius terhadap aktivitas tambang ilegal harus dilakukan, agar penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan dapat mengambil tindakan tegas.
Kedua, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar perlu segera berkoordinasi dengan penegak hukum untuk menemukan bukti pelanggaran baku mutu lingkungan dan memberikan efek jera bagi pelaku.
Ketiga, pemerintah provinsi harus menunjukkan kepemimpinan yang baik dengan memastikan hak-hak masyarakat untuk lingkungan hidup yang sehat terlindungi dan penegakan hukum dilakukan secara adil.
Tindakan tegas diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat di sekitar Sungai Batang Anai. Pemerintah dan pihak terkait harus segera mengambil langkah konkret untuk menangani masalah ini dan melindungi lingkungan serta hak-hak masyarakat.