Kelompok rentan di Jakarta, seperti masyarakat berpenghasilan rendah, tinggal di daerah pesisir atau padat, menanggung beban lebih berat.
Dahulu dihormati sebagai pusat kemegahan, Jakarta kini menjadi saksi bisu dari penderitaan yang merayap perlahan namun pasti. Permukaan air laut yang naik, polusi menyengat, dan kekurangan ruang terbuka hijau telah menjadikan Jakarta sebagai kota yang bukan lagi tempat ideal untuk ditinggali. Inilah realitas ketidaknyamanan dan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap warga Jakarta, menghadapi realitas pahit krisis iklim yang semakin mencekik.
Namun, di balik berbagai tantangan ini, muncul persoalan yang lebih mendalam: keadilan kota atau urban justice. Tidak semua warga Jakarta merasakan dampak krisis ini secara merata. Kelompok rentan, seperti masyarakat berpenghasilan rendah dan mereka yang tinggal di daerah pesisir atau kawasan padat penduduk, menanggung beban yang lebih berat. Ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan layanan publik memperparah penderitaan mereka. Maka, selain berjuang menghadapi krisis iklim, Jakarta juga berhadapan dengan masalah serius dalam menciptakan keadilan bagi semua warganya.
Permukaan air laut yang meningkat
Salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi Jakarta adalah naiknya permukaan air laut. Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa sekitar 18-20 persen wilayah Jakarta telah berada di bawah permukaan laut, dan angkanya akan terus bertambah. Dampak langsung dari hal ini adalah risiko banjir yang semakin meningkat, mengancam ketahanan infrastruktur dan kehidupan sehari-hari warga.
Dalam laporan Greenpeace, The Projected Economic Impact of Extreme Sea-Level Rise in Seven Asian Cities in 2030, hampir 17% dari total luas daratan Jakarta berada di bawah level kenaikan muka air laut jika banjir 10 tahunan terjadi pada tahun 2030. Bagian utara Jakarta paling berisiko terkena banjir akibat kenaikan muka air laut karena memiliki elevasi rendah. Area yang berpotensi terkena dampak adalah bangunan perumahan dan komersial, Monumen Nasional dan Balai Kota Jakarta, serta pusat perbelanjaan di sepanjang pantai.
Di sinilah keadilan kota menjadi isu utama. Sementara sebagian warga mampu melindungi diri dengan membangun rumah yang lebih tinggi atau pindah ke wilayah yang lebih aman, banyak penduduk miskin tidak memiliki pilihan ini. Mereka terjebak dalam siklus kerugian ekonomi, sosial, dan kesehatan. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan ini bukanlah semata-mata karena kekurangan sumber daya individu, melainkan akibat dari ketidaksetaraan sistemik yang membuat mereka terpinggirkan dalam perencanaan kota.
Jakarta tenggelam dalam udara tidak sehat
Krisis iklim bukan hanya tentang permukaan air laut yang naik, tetapi juga melibatkan polusi udara yang semakin memburuk di Jakarta. Tingginya tingkat polusi udara, terutama dari kendaraan bermotor dan industri, telah menciptakan kondisi udara yang tidak sehat bagi penduduk. Pendeteksi polusi, IQ Air, sering kali menunjukkan bahwa kualitas udara di Jakarta berada di tingkat yang sangat berbahaya, meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kesehatan lainnya.
Selain itu, tingkat polusi udara di Jakarta juga diakibatkan oleh 8 PLTU batu bara dalam radius 100 km. Kemudian, pada tahun 2020 lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mencatat bahwa Jakarta juga dikelilingi 118 fasilitas industri yang turut berkontribusi terhadap pencemaran udara di Jakarta.
Satu studi kasus yang mencolok adalah peningkatan angka penyakit pernapasan pada masyarakat di daerah perkotaan. Penyakit asma dan gangguan pernapasan lainnya semakin melonjak, menunjukkan bahwa Jakarta bukan lagi tempat yang aman untuk tumbuh kembang bagi generasi mendatang.
Ruang terbuka hijau menciut
Ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta yang sedikit menjadi cerminan ketimpangan dalam akses terhadap fasilitas umum. Daerah-daerah dengan pengembangan properti mewah memiliki taman-taman yang terawat dan ruang terbuka hijau yang luas, sementara kawasan padat penduduk di pinggiran Jakarta hampir tidak memiliki akses terhadap ruang hijau yang memadai.
Kesejahteraan fisik dan mental masyarakat terkait erat dengan akses mereka terhadap alam. Di sinilah konsep keadilan kota kembali menjadi relevan. Masyarakat yang lebih miskin tidak hanya menghadapi permasalahan ekonomi, tetapi juga terampas hak mereka untuk hidup di lingkungan yang sehat dan layak. Pengembangan kota yang cenderung mengabaikan kebutuhan lingkungan komunitas rentan hanya memperdalam ketidaksetaraan.
Jakarta sebagai kota yang tangguh
Untuk menjadikan Jakarta kota yang lebih layak huni dan berdaya tahan atau resilient city, langkah-langkah yang diambil tidak boleh hanya bersifat teknis, tetapi harus juga mencakup dimensi sosial. Keberlanjutan lingkungan dan ketahanan kota harus dibangun berdasarkan keadilan kota.
Pertama, transisi energi harus mencakup semua lapisan masyarakat. Menggantikan sumber energi fosil dengan energi terbarukan bukan hanya soal mengurangi polusi, tetapi juga soal memastikan bahwa manfaat dari perubahan ini dapat dirasakan oleh semua warga, termasuk yang paling rentan. Pemerintah harus memberikan subsidi dan insentif kepada komunitas yang paling terkena dampak, untuk memastikan bahwa mereka dapat beradaptasi dengan lebih baik.
Kedua, reformasi transportasi umum harus difokuskan pada peningkatan aksesibilitas bagi semua warga. Transportasi umum yang terjangkau dan efisien bukan hanya cara untuk mengurangi polusi udara, tetapi juga sarana untuk menciptakan mobilitas sosial, terutama bagi warga berpenghasilan rendah. Meningkatkan akses ke transportasi umum dapat membantu mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mengurangi tingkat stres kota secara keseluruhan.
Ketiga, pembangunan berkelanjutan harus mengedepankan kebutuhan komunitas yang rentan. Proyek-proyek revitalisasi perkotaan perlu dirancang dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat sekitar, dan bukan hanya didorong oleh keuntungan komersial. Investasi dalam RTH di wilayah-wilayah padat penduduk dapat membantu mengatasi ketidakadilan ini, meningkatkan kualitas hidup bagi mereka yang paling membutuhkan.
Jakarta di persimpangan jalan
Jakarta kini berada di persimpangan antara krisis dan peluang. Masa depan kota ini dapat diarahkan menuju ketahanan yang berkelanjutan, di mana setiap warganya memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan layak. Melalui transisi energi, pembangunan yang pro-masyarakat, dan kebijakan transportasi umum yang inklusif, Jakarta dapat menjadi kota yang tidak hanya tangguh menghadapi perubahan iklim, tetapi juga adil bagi semua warganya.
Keadilan kota bukanlah konsep abstrak, melainkan kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan berdaya tahan. Dalam menghadapi krisis iklim dan ketidaksetaraan sosial, Jakarta memiliki kesempatan untuk menjadi contoh kota yang inklusif, adil, dan berkelanjutan—bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. (Sherina Redjo – Content Writer di Greenpeace Indonesia)