Pengelolaan sampah bersifat multisektor, mulai dari perubahan iklim, konservasi sumber daya alam, penggunaan lahan, kesehatan masyarakat.
Menyambut pemerintahan Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mendesak untuk memprioritaskan perbaikan pengelolaan sampah di Indonesia. Permasalahan sampah yang kompleks dan semakin mendesak tidak kunjung terselesaikan karena pemerintah hanya fokus pada solusi di hilir, tidak berupaya menyelesaikan pada akar permasalahannya di tingkat hulu.
Melihat masalah sampah adalah isu multisektor yang berkaitan dengan perubahan iklim, konservasi sumber daya alam, penggunaan lahan, tata kota, kesehatan masyarakat, pendidikan, budaya, dan lainnya, AZWI menekankan bahwa solusi harus komprehensif dan tidak hanya pada pembangunan infrastruktur persampahan saja.
Program makan siang gratis yang diusung Presiden Prabowo patut dicermati dengan baik, terutama terkait penggunaan kemasan plastik dan sisa makanan yang dihasilkan. Jika tidak diawasi dengan baik, program yang ditargetkan untuk 83 juta anak dan ibu hamil ini berpotensi menambah beban sampah sisa makanan serta pemborosan sumber daya yang masif.
Potensi lonjakan sampah plastik sekali pakai yang muncul juga membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat. AZWI menyoroti pentingnya tindakan tegas terhadap pengendalian produksi plastik, terutama terhadap pencemaran yang disebabkan oleh bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam plastik di sepanjang siklus hidupnya, dari ekstraksi hingga pasca-konsumsi.
AZWI juga menekankan pentingnya memperkuat keseriusan mendorong tanggung jawab produsen untuk mengumpulkan dan melaksanakan peta jalan pengurangan sampah, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P75 tahun 2019. Implementasi dari aturan ini masih jauh dari harapan.
Berdasarkan berita Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 8 Oktober 2024, baru 52 produsen saja yang memenuhi kewajiban menyerahkan peta jalan mereka, padahal target pengurangan sampah sebesar 30% diharapkan tercapai pada akhir 2029.
Dari sisi penanganan sampah, pemerintah harus menghentikan pembangunan proyek Waste-to Energy (WtE), termasuk insinerasi, pirolisis, gasifikasi, dan Refuse-Derived Fuel (RDF). Kebijakan ini merupakan solusi semu yang hanya akan memindahkan masalah sampah menjadi polusi beracun dan meningkatkan emisi karbon.
Hal ini menghambat transisi menuju sistem pengelolaan sampah berkelanjutan, yang seharusnya didasarkan pada pemilahan dan pengurangan sampah. Dalam praktiknya, sistem pembakaran sampah seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menghasilkan dioksin, senyawa kimia sangat beracun yang dilepaskan saat sampah plastik dibakar.
Warga di sekitar proyek-proyek ini telah merasakan dampak buruk bagi kesehatan mereka, sebagaimana tercatat dalam berbagai penelitian. Promosi penggunaan teknologi canggih untuk pengelolaan sampah juga tidak didukung oleh studi kelayakan teknis, lingkungan, maupun finansial yang memadai.
AZWI berharap Pemerintahan di bawah Kabinet Merah Putih ini serius dalam mengambil kebijakan dan memberikan arah yang tepat bagi masa depan pengelolaan sampah yang berkelanjutan, demi kepentingan generasi mendatang, lingkungan, dan kualitas hidup yang lebih baik.
Pernyataan Steering Committee AZWI
“Seperti pengurangan emisi karbon, menjamin keberlanjutan ketersediaan bahan baku untuk ketersediaan ekonomi, peningkatan ekonomi lokal dan UMKM serta menyediakan lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi,” kata David Sutasurya.
David Sutasurya, Direktur Eksekutif – Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) mengatakan, pemerintah perlu mengintegrasikan peningkatan pengelolaan sampah sebagai bagian dari upaya mengintervensi isu-isu strategis.
Titik Eka Sasanti, Direktur Program – Yayasan Gita Pertiwi mengatakan, selama ini, tata kelola sampah belum mampu secara efektif mengatasi persoalan mendasar. Praktik pembuangan sampah tercampur ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan sistem open dumping masih umum terjadi, menyebabkan rentetan kerugian yang signifikan dengan banyaknya TPA yang melebihi kapasitas (overload) dan rawan terbakar.
“Salah satu penyebab utama dari peristiwa ini adalah ledakan gas metana yang berasal dari timbunan sampah organik yang tidak terolah, seperti sampah pangan, yang mencapai 20 juta ton per tahun dan berada dalam tren meningkat setiap tahunnya,” kata Titik Eka Sasanti.
Sementara itu, Yuyun Ismawati, Senior Advisor – Nexus3 Foundation mengatakan, Indonesia harus memperketat peraturan impor dan pembebasan pajak impor plastik virgin perlu ditinjau ulang karena penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produksi plastik, mengingat resiko besar terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
“Transparansi pengendalian polusi dari industri petrokimia harus diperkuat dengan akses publik terhadap data emisi dan limbah. Program biomonitoring mikroplastik dan bahan kimia plastik perlu ditetapkan untuk memantau dampaknya pada ekosistem dan kesehatan masyarakat, serta mendukung kebijakan berbasis data,” kata Yuyun.
Daru Setyorini, Direktur Eksekutif – Ecoton mengusulkan penetapan baku mutu mikroplastik pada air limbah industri, khususnya dari sektor industri kertas dan daur ulang plastik, yang berpotensi besar menghasilkan mikroplastik ke lingkungan.
“Limbah dari sektor-sektor ini telah terbukti merusak perairan dan berdampak langsung pada ekosistem serta kesehatan manusia. Dengan adanya baku mutu mikroplastik, Indonesia dapat menilai secara ilmiah apakah kualitas air sudah tercemar atau tidak, sekaligus memberikan acuan yang jelas bagi industri untuk mengendalikan emisi mikroplastik mereka,” paparnya.
Catur Yudha Hariyani, Direktur – PPLH Bali menyebutkan, studi yang telah dilakukan anggota AZWI di beberapa daerah menunjukkan bahwa jajanan kemasan plastik berpotensi melepaskan mikroplastik dan bahan kimia berbahaya yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia.
Bahan kimia seperti phthalates dan BPA yang terkandung diketahui dapat mengganggu hormon dan memunculkan berbagai risiko kesehatan jangka panjang, terutama bagi kelompok rentan seperti anak dan ibu hamil. Masyarakat Indonesia kini sudah dalam tingkat paparan mikroplastik tertinggi di dunia dengan rata-rata konsumsi 15 gram per orang per bulan.
“Ancaman serius jika sampah plastik sekali pakai terus meningkat terutama bagi masa depan generasi Indonesia. Kondisi ini tidak akan mencapai generasi emas tetapi generasi cemas,” katanya.
Tiza Mafira, Direktur Eksekutif – Dietplastik Indonesia mengatakan, peningkatan pengelolaan sampah yang berfokus pada pengurangan sampah perlu untuk terus didorong. Sudah ada landasan aturan untuk mendorong produsen merancang peta jalan pengurangan sampah, yang tidak hanya berfokus pada daur ulang, melainkan juga merancang sistem pemanfaatan kembali atau guna ulang pada model bisnis yang dijalankan.
Aturan ini berlaku pada industri manufaktur, jasa makanan dan minuman, serta ritel, yang juga menyasar pada dorongan penyusunan aturan pemerintah daerah untuk mengatur pelaku usaha yang ada di daerah masing-masing.
“Kami berharap pada kepemimpinan baru ini dapat meningkatkan komitmen dan pengawasan atas aturan yang sudah berlaku sehingga dampak keberlanjutan yang diharapkan tidak terputus di tengah jalan,” katanya.
Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Keadilan Perkotaan – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menambahkan, gagasan keberlanjutan yang diusung oleh pemerintahan Prabowo-Gibran harus dimaknai sebagai keberlanjutan lingkungan, bukan keberlanjutan Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTSa dan RDF yang berdampak buruk, terutama pada aspek kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
“Alih-alih mengatasi polusi sampah, proyek seperti PLTSa Benowo dan PLTSa Putri Cempo terbukti menurunkan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat serta mengganggu sumber penghidupan warga. Proyek PLTSa dan RDF juga berpotensi menimbulkan kerugian negara dan menghambat upaya pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditargetkan Pemerintah Indonesia,” katanya.