Pencemaran plastik mengancam potensi ekonomi mencapai US$3 triliun pada tahun 2030. Diperlukan pengurangan produksi plastik.

Kampanye global mendorong pengurangan produksi plastik. (Foto: via Greenpeace Indonesia)
Kampanye global mendorong pengurangan produksi plastik. (Foto: via Greenpeace Indonesia)

Perundingan perjanjian plastik global atau Intergovernmental Negotiating Committee (INC 5) akan berlangsung di Busan, Korea Selatan pada akhir bulan ini. Perundingan global ini diharapkan menjadi pertemuan pamungkas bagi negara-negara di dunia untuk menyepakati target pengurangan produksi plastik secara global.

“Seperti kita ketahui pencemaran plastik mengancam potensi ekonomi laut yang sangat besar, yang diproyeksikan mencapai PDB sebesar US$3 triliun pada tahun 2030, atau sekitar 5% dari PDB global,” demikian pernyataan resmi diakses dari laman Greenpeace Indonesia, Sabtu, 23 November 2024.

Di kawasan Asia Pasifik, sektor kelautan memiliki peran penting dalam perekonomian, berkontribusi besar terhadap akuakultur, perikanan, dan perdagangan global. Namun, kawasan ini juga mengalami kerugian ekonomi yang sangat besar akibat polusi plastik, diperkirakan mencapai US$19 miliar di 87 negara pesisir.

Ancaman ekonomi ini juga merusak aspirasi inisiatif seperti ASEAN Vision 2045, yang bertujuan untuk pertumbuhan hijau, aksi iklim, urbanisasi berkelanjutan, dan solusi berbasis alam. Perdagangan limbah plastik global sering kali dipromosikan secara keliru sebagai peluang ekonomi, sementara negara berkembang menanggung beban limbah plastik yang berdampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan.

Perjanjian plastik global atau yang biasa disebut Global Plastic Treaty tersebut harus memuat target mengurangi produksi polimer plastik primer (PPP). Hal ini harus disertai dengan mekanisme finansial yang kuat yang menyediakan anggaran baru, mengalokasikan sumber daya sesuai dengan hirarki pengelolaan sampah, dan membuat para pencemar membayar biayanya, misal melalui mekanisme EPR.

Target global adalah untuk mengurangi produksi plastik, yaitu dengan mengadvokasi pengurangan sebesar 40% pada tahun 2040, atau setidaknya target yang selaras dengan 1,5 derajat.

Selain membuat target global untuk penurunan produksi plastik, dan membuat pencemar menanggung biayanya, perundingan global harus berfokus untuk mendorong solusi sistem penggunaan kembali dan pengisian ulang.

Menurut Plastic Investment Tracker terbaru, lebih dari 82% dari seluruh investasi swasta dalam sirkularitas plastik secara global disalurkan ke solusi hilir, setara dengan sekitar US$ 155 miliar. Sementara solusi seperti isi ulang dan penggunaan kembali, yang dirancang untuk mengurangi konsumsi plastik, hanya mempunyai alokasi sebesar US$ 8 miliar atau sekitar 4%.

“AZWI mendukung Perjanjian Plastik Global yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan melalui pengurangan ekstraksi bahan baku fosil, produksi plastik bermasalah, serta peningkatan solusi berbasis guna ulang dan daur ulang yang aman. Untuk mencapai pengelolaan sampah berkelanjutan, AZWI mendorong pembatasan penggunaan plastik sekali pakai dan produk bermasalah, sambil mempercepat adopsi ekosistem guna ulang sebagai solusi utama. Sebagai bagian dari komitmen global terhadap lingkungan, AZWI menyerukan transparansi penggunaan bahan kimia berbahaya dalam plastik, mendukung transisi industri yang berkeadilan, serta mengadvokasi penghentian impor sampah plastik demi memperkuat pengelolaan sampah domestik”, tegas Rahyang Nusantara, Co-coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia.

Sementara itu, Darina, perwakilan Enviu Indonesia, mengatakan kebijakan adalah hal paling penting yang perlu kita buat karena ketika [reuse dan refill] tidak berada pada tingkat yang setara – dari segi standar, prioritas, dan komersialisasi – sulit bagi para pemangku kepentingan untuk memberikan prioritas yang berarti bahwa saat ini penggunaan sekali pakai tidak memperhitungkan eksternalitasnya – terlihat sangat murah, padahal sebenarnya tidak demikian.

“Saat ini inovasi sudah banyak bermunculan, partisipasi konsumen dan komunitas juga tinggi. Mari kita ambil momentum ini, karena Indonesia – sudah butuh beyond awareness – kita butuh solusi pada skala besar untuk pengurangan plastik menjadi terjangkau dan dampaknya jadi signifikan dimana regulasilah yang mempunyai kekuatan itu”, jelas Darina.

Target pengurangan produksi plastik

Rayhan Dudayev, Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara, pihaknya menekankan pentingnya Perjanjian Plastik Global untuk mengatasi krisis plastik dari hulu ke hilir.

“Kami mendorong empat aspek utama: penetapan target global untuk pengurangan produksi plastik dan menghentikan ekspansi petrochemical, target guna ulang (reuse), pelarangan plastik bermasalah dan sekali guna, dan penerapan prinsip polluters pay dalam pendanaan. Indonesia memiliki peran penting sebagai middle power (anggota G20 dan MIKTA), dengan posisi strategis untuk mendinamisir diplomasi plastik di ASEAN. Dalam konteks ini, Filipina memimpin dorongan untuk target global, sementara Thailand mendukung kebijakan berbasis solusi hulu. Kami berharap Indonesia lebih proaktif melindungi publik dengan mendorong empat hal krusial di atas di dalam Perjanjian Global Plastik”, terang Rayhan Dudayev.

Di Indonesia sendiri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan peta jalan pengurangan sampah 2020-2029. Produsen perlu menyusun, mengumpulkan, dan melaksanakan peta jalan untuk mencapai target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30% dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah di tahun 2029. Jika Indonesia mengadopsi Global Plastics Treaty, maka perlu kebijakan yang lebih ambisius dan mengikat untuk berkontribusi pada target pengurangan produksi plastik secara global.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.