Aktivitas Galian C untuk Bendungan Rukoh di Tangse, Aceh, merusak Sungai Tangse dan infrastruktur, termasuk jalan. Hal ini berdampak pada ekosistem, perekonomian, dan pariwisata setempat.

Tangse, sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Pidie, Aceh, dikenal dengan kondisi geografisnya yang berada di ketinggian antara 600 hingga 1200 meter di atas permukaan laut. Dengan udara yang sejuk dan curah hujan yang tinggi, wilayah ini menjadi salah satu penghasil hortikultura unggulan di Aceh.

Daerah ini terkenal akan kualitas kopinya yang istimewa, yaitu kopi robusta, serta berbagai produk pertanian lainnya seperti durian manis, beras berkualitas tinggi, dan beragam tanaman hortikultura lainnya yang tumbuh subur di tanahnya.

Selain itu, sungai-sungai yang mengalir di Tangse memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat. Tak hanya sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari dan irigasi pertanian, sungai-sungai ini juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, yang turut mendongkrak perekonomian setempat.

Keindahan Aliran Sungai Tangse yang jernih dan dikelilingi pepohonan rindang sempat menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan yang ingin menikmati suasana alam yang asri. Namun, keadaan tersebut kini telah berubah. Kehadiran perusahaan Galian C yang mulai beroperasi pada 2021 di sepanjang aliran sungai justru membawa dampak negatif bagi kawasan ini.

Pengerukan pasir dan batu (sirtu) yang dilakukan diduga terkait dengan proyek pembangunan Bendungan Rukoh di Kecamatan Titeue, Kabupaten Pidie, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Aktivitas ini mengancam keberlanjutan ekosistem sungai, menyebabkan pendangkalan, sedimentasi, dan kerusakan parah pada lingkungan sekitar.

Tidak hanya merusak alam, kerusakan ini juga berdampak pada infrastruktur, termasuk jalan-jalan dan objek wisata yang sebelumnya menjadi sumber pendapatan masyarakat. Akibatnya, perekonomian warga Tangse pun semakin tertekan.

Rusaknya Sungai Tangse

Siang itu, 28 Oktober 2024, suara gemercik air sungai terdengar dari jembatan rangka baja yang membentang di atas Sungai Tangse, Desa Lhok Keutapang. Dari jembatan tersebut, tampak jelas perubahan drastis yang terjadi pada kondisi aliran sungai.

Di sisi kiri jembatan, air sungai terlihat jernih dengan bebatuan besar yang menghiasi dasar sungai, menciptakan pemandangan alami yang memukau. Namun, beralih ke sisi kanan jembatan, kondisi sungai sudah sangat berbeda.

Di sana, sedimentasi parah dan penyempitan aliran sungai mengubah air menjadi keruh, bercampur dengan lumpur. Bagian tengah sungai bahkan memiliki kedalaman lebih dari lima meter, menunjukkan dampak pengerukan yang tidak terkendali.

Kerusakan ekosistem sungai ini tak hanya mempengaruhi kualitas air, tetapi juga merusak habitat ikan yang sebelumnya menjadi sumber utama mata pencaharian masyarakat setempat. Selain itu, sektor pertanian juga terdampak; abrasi sungai menyebabkan tanah persawahan yang berada di sekitar aliran sungai terkikis dan longsor hingga mencapai kedalaman lima meter.

“Sekarang kondisi sungai kami rusak parah, sudah tidak ada lagi orang yang berkunjung untuk wisata,” ungkap Kamarullah (38) kepada Bithe.co, Senin (28/10/2024).

Menurutnya, kesalahan tidak hanya datang dari pelaku Galian C, tapi juga dari masyarakat yang memberikan izin pengambilan pasir dan batu di sungai Tangse.

“Andai tidak kita beri izin dari awal mungkin masalah ini tidak terjadi,” ucapnya menyesal.

Dulu sebelum hadirnya Galian C di Desa Lhok Keutapang, kata Kamarullah, desanya ramai dikunjungi wisatawan untuk berlibur menikmati sejuknya udara dan segarnya air Sungai Tangse.

Kamarullah mengaku mendapat banyak manfaat dari sungai tersebut. Selain dimanfaatkan untuk objek wisata, pemuda disana juga mencari ikan sebagai kebutuhan pangan ataupun untuk dijual.

“Sungai ini banyak ikannya, seperti Ikan Kerling, Ikan Groe (bahasa Aceh) dan berbagai macam jenis ikan lainnya, kami mengambilnya untuk dimakan dan dijual,” ucapnya.

Tapi, sejak kerusakan yang terjadi pada Sungai Tangse, kehidupan masyarakat setempat semakin sulit. Dulu, sungai ini menjadi sumber utama ikan bagi warga, namun kini, ikan semakin sulit ditemukan. Para nelayan terpaksa mencari ikan lebih jauh di hulu sungai, yang jaraknya semakin jauh dari desa mereka.

Tangse yang dulu dikenal karena keindahan alamnya yang memikat banyak wisatawan. Namun kini, daerah ini justru menjadi kawasan yang dihindari. Bukan hanya oleh wisatawan, tetapi juga oleh warga lokal yang kini hidup dalam bayang-bayang ancaman bencana alam akibat kerusakan ekosistem sungai yang semakin parah.

Kerusakan Jalan Tangse

Kerusakan jalan lintas nasional yang menghubungkan Kabupaten Pidie dan Aceh Barat kini menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi masyarakat Tangse. Truk-truk bermuatan berat, terutama truk tiga gandar yang mengangkut hasil Galian C, terus melintas setiap lima menit, melewati pemukiman warga di Desa Lhok Keutapang dan Desa Beungga.

Akibatnya, jalan yang seharusnya menjadi jalur utama penghubung antar kabupaten tersebut mengalami kerusakan parah. Di kedua desa tersebut, jalan Nasional Tangse-Pidie kini berubah menjadi jalan berlumpur, tanpa marka yang jelas. Bahkan, pada siang hari yang terik, jalan tersebut penuh dengan debu yang menyelimuti pandangan, memaksa kendaraan melaju perlahan-lahan.

Mobil angkutan umum L300 yang melintas terlihat menutup seluruh kaca melindungi para penumpang dari paparan debu jalan. Pengendara sepeda motor pun tak jarang harus menutup hidung dan mulut mereka dengan tangan, meski masker pun telah menjadi kebutuhan wajib. Tak hanya debu, batu kerikil yang tumpah dari muatan truk semakin memperparah keadaan.

Saat hujan turun, jalan yang tadinya berdebu berubah menjadi licin, berlumpur, dan dipenuhi lubang-lubang. Jalan yang menghubungkan Pidie dan Aceh Barat sepanjang sekitar 10 kilometer ini kini semakin sulit dilalui, meskipun jalur ini merupakan satu-satunya akses bagi masyarakat ke objek wisata Tangse dan Geumpang.

Kerusakan jalan ini jelas bukan hanya mengganggu mobilitas warga, tetapi juga berpotensi merugikan sektor pariwisata dan perekonomian yang bergantung pada kelancaran transportasi.

Fazlun (30) tampak lesu saat ditanya dampak eksploitasi pasir dan batu di C di Desa Lhok Keutapang.

“Kondisi sekarang semakin parah, suara bising, jalan berdebu dan berlumpur,” ungkap Fazlun.

Semenjak aktivitas Galian C beroperasi di Desa Lhok Keutapang, masyarakat mulai merasa tidak nyaman dengan suara bising truk-truk besar dan debu dimana-mana.

“Kenyamanan kami terganggu, kadang mau tidur siang sebentar tidak bisa karena suara bising, tempat duduk dimana-mana berdebu,” jelasnya.

Leubeh mangat ta tinggai di gunoeng daripada di gampoeng (Lebih nyaman tinggal di gunung daripada di kampung),” kata Fazlun kesal.

Adanya aktivitas pengambilan pasir dan batu tersebut, katanya, berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan serta menciptakan ancaman baru.

Ia mengaku, bersama sejumlah warga telah berkali-kali melakukan protes terhadap aktivitas Galian C yang dianggap dilakukan secara ugal-ugalan tanpa memperhatikan dampak lingkungan.

“Kalau kita tolak sudah tidak mungkin lagi, sekarang kita protes pengerjaannya yang tidak memperhatikan dampak lingkungan sekitar,” imbuhnya.

Untuk mengurangi debu, penyiraman jalan dilakukan di beberapa titik menggunakan truk tangki air yang dilengkapi dengan sistem penyemprotan. Namun hal itu dianggap tidak efektif dalam menekan polutan.

Pada Selasa (8/8/2023), ratusan sopir mobil angkutan umum L300 rute Beureunuen-Meulaboh melakukan aksi protes menghadang truk-truk pengangkut material pembangunan Bendungan Rukoh yang dianggap menjadi penyebab kerusakan jalan lintas tersebut.

Para sopir mengeluhkan kondisi jalan yang rusak dan berdebu. Mereka meminta jalan tersebut untuk segera diperbaiki.

Sebelumnya, masyarakat Lhok Keutapang juga melakukan aksi yang sama. Masyarakat menghadang truk proyek yang mengangkut material Galian C untuk Bendungan Rukoh.

PSN Bendungan Rukoh

Bendungan Rukoh, yang terletak di Desa Alue, Kecamatan Titeue, Kabupaten Pidie, Aceh, merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tengah dikerjakan dengan tujuan untuk mendukung kebutuhan air irigasi dan penyediaan air baku.

Megaproyek ini menelan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun, proyek ini dimulai pada akhir 2018 menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan semula ditargetkan selesai pada tahun 2023. Namun, hingga 2024, bendungan tersebut belum rampung.

Pembangunan Bendungan Rukoh melibatkan Kementerian PUPR bersama dengan Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera 1 Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, dengan pelaksanaan yang dibagi dalam dua paket konstruksi.

Paket pertama dikerjakan oleh kontraktor PT Nindya Karya (Persero) dengan nilai kontrak Rp 377 miliar, sedangkan paket kedua dikerjakan oleh konsorsium yang terdiri dari PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Adhi Karya (Persero), dan PT Andesmont Sakti dengan nilai kontrak mencapai Rp 1,12 triliun.

Meskipun demikian, proyek yang diharapkan dapat memberikan dampak signifikan terhadap sektor pertanian dan ekonomi di kawasan tersebut, masih menghadapi keterlambatan dalam penyelesaian konstruksinya.

Dampak Buruk Terhadap Ekonomi dan Kesehatan

Dalih untuk memajukan perekonomian masyarakat sekitar, kehadiran perusahaan Galian C itu malah berubah menjadi petaka bagi pelaku usaha sekitar.

Seperti yang dirasakan Ali (26) warga Lhok Keutapang yang memiliki usaha jualan minuman di kios miliknya yang berada di pinggir jalan lintas Nasional Tangse.

Ali mengatakan telah membuka usaha tersebut selama tiga tahun dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil warung kopi.

Sebelum jalan Tangse rusak, Ali mengaku bisa meraup penghasilan Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per hari dari masyarakat sekitar maupun para sopir mobil yang singgah di warung miliknya

“Kalau dulu, saya buka kedai dari jam 10.00 WIB pagi hingga jam 02.00 WIB dini hari, pembelinya tetap ada,” jelasnya.

Semenjak jalan tersebut rusak, Ali hanya membuka kedainya pada malam hari dikarenakan debu yang bertebaran dan mengganggu kenyamanan pelanggan. Berimbas pada penghasilan warung yang signifikan.

“Sekarang penghasilan cuma Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per hari,” imbuhnya.

Ali juga mengaku, jalan di depan warungnya kini banyak yang berlubang, saat turun hujan air tergenang seperti kubangan. Tidak sedikit pengendara motor terjatuh.

“Banyak kejadian kecelakaan karena kondisi jalan yang berlubang,” kata dia.

Pemuda Desa Lhok Keutapang itu juga khawatir, kondisi jalan yang berdebu akan berdampak buruk bagi kesehatan mereka disana, khususnya anak-anak yang setiap hari melewati jalan tersebut untuk sekolah dan mengaji.

“Kalau sudah setiap hari terpapar debu, pasti batu, mata merah, dan baju kotor,” tuturnya.

Hal yang sama juga dirasakan Iwan (bukan nama asli), salah seorang pedagang di Desa Beungga yang merasakan dampak dari aktivitas Galian C.

“Jalannya disiram, tapi debu tetap membuat rak-rak dagangan saya kotor dan pembeli sekarang berkurang karena malas keluar kondisi berdebu,” sampainya.

Letak kedai Iwan yang hanya beberapa meter dari jalan, dirinya setiap hari harus berhadapan dengan getaran yang dihasilkan dari truk berat yang melintas. Akibatnya, Iwan mulai mengeluhkan sakit pada bagian pinggang.

“Karena setiap hari merasakan getaran jalan, sekarang pinggang saya mulai terasa agak nyeri,” tutur Iwan.

Perbedaan Kondisi Sungai

Kerusakan parah pada daerah aliran Sungai Tangse yang terletak di Desa Lhok Keutapang, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, terlihat jelas melalui pantauan citra satelit.

Pada Selasa (8/8/23) lalu, ratusan sopir mobil angkutan umum L300 dengan rute Beureunuen-Meulaboh menggelar aksi protes. Mereka menghadang truk-truk pengangkut material untuk pembangunan Bendungan Rukoh, yang mereka anggap sebagai penyebab utama kerusakan jalan lintas tersebut.

Para sopir tersebut mengeluhkan kondisi jalan yang rusak parah dan penuh debu, yang semakin memperburuk kondisi lalu lintas. Mereka mendesak pihak terkait untuk segera memperbaiki jalan yang vital bagi mobilitas masyarakat dan perekonomian di kawasan tersebut.

Aksi serupa sebelumnya juga dilakukan oleh masyarakat Desa Lhok Keutapang, yang merasa dirugikan akibat truk pengangkut material Galian C untuk Bendungan Rukoh. Mereka menghadang truk-truk proyek, berharap pemerintah segera menangani kerusakan yang terjadi.

Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan HAkA, Lukmanul, mengatakan terdapat perbedaan kondisi sungai pada tahun 2016 dengan kondisi sungai pada tahun 2024 di Desa Lhok Keutapang.

“Tahun 2016, sungainya masih lebar. Sementara pada tahun 2024 bentuk sungai sudah berubah,” kata Lukman, Sabtu (16/11/2024).

Tambahnya, juga tampak sedimentasi hingga menyebabkan penyempitan aliran sungai. Pepohonan yang menjadi penyokong tanah daerah aliran sungai sudah tidak terlihat lagi.

Dugaan kuat akibat aktivitas Galian C baik legal maupun ilegal yang mengeruk pasir dan batu di DAS Sungai Tangse, hingga mengakibatkan longsor di beberapa titik.

Proses Izin Usaha Tambang (IUP) Galian C

Imum Mukim Beungga, Ilyas, Selasa (29/10/2024) mengatakan tidak dilibatkan dalam hal-hal terkait proses pemberian izin perusahaan Galian C di Mukim Beungga, Kecamatan Tangse.

Imum Mukim atau pimpinan adat merupakan lembaga pemerintahan yang resmi di Provinsi Aceh, tertuang dalam peraturan daerah atau Qanun Provinsi Aceh Nomor 4 Tahun 2023 tentang pemerintahan Mukim. Imum Mukim memiliki perangkat sendiri dan membawahi beberapa desa. Tugasnya mengurus sungai, laut, hutan, sawah, dan berbagai persoalan lainnya.

Mukim Beungga membawahi 6 desa yaitu Desa Blang Malo, Krueng Seukeuek, Puloe ie, Alue Calong, Beungga, dan Lhok Keutapang.

“Sewaktu pengambilan kebijakan pemerintahan desa terkait izin usaha tambang Galian C, tidak ada koordinasi dengan mukim,” kata Imum Mukim Beungga, Ilyas.

Ilyas menyebutkan, akhir-akhir ini kerap mendapatkan laporan dari masyarakat terkait kondisi sungai mereka yang mengalami kerusakan parah imbas dari eksploitasi pasir dan batu. Masyarakat khawatir kerusakan tersebut akan mengundang bencana besar di wilayah mereka.

“Saya mau menjawab seperti apa, karena yang mengambil kebijakan adalah pemerintah desa tidak ada pelibatan Mukim,” ungkapnya.

Padahal dalam qanun Kabupaten Pidie Nomor 7 Tahun 2011 tentang pemerintahan mukim, kata Ilyas, jelas menyebutkan salah satu fungsi mukim ialah melindungi fungsi ekologi dan Sumber Daya Alam (SDA) sesuai dengan kesadaran, aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam Gampong (desa).

Ia menyayangkan pihak pengambil kebijakan tidak mempertimbangkan dampak-dampak dari kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh pelaku Galian C.

“Walaupun diberikan izin, harus dipantau dengan ketat bagaimana cara mereka mengambil dan lokasi yang boleh diambil, sehingga tidak terjadi kerusakan seperti sekarang,” ujarnya.

Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Pidie, Efendi, mengatakan hingga saat ini belum menerima laporan dari masyarakat terkait kerusakan dari praktik Galian C di Tangse.

Kata Efendi, merujuk pada surat edaran gubernur nomor 120/10855/2016 menyebutkan kabupaten kota hanya mengeluarkan rekomendasi. Sementara Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP), sesuai UU nomor 23 tahun 2024 tentang semua perizinan pertambangan merupakan wewenang provinsi.

“Tugas kami hanya memberikan rekomendasi, selanjutnya diteruskan ke provinsi,” kata Efendi.

Terkait kerusakan lingkungan di Tangse, Efendi mengaku mengetahui hal tersebut, namun kata dia hingga saat ini belum menerima laporan apapun dari masyarakat sekitar.

“Sampai saat ini tidak ada yang melapor ke kami soal dampak kerusakan di Tangse,” ucapnya.

Sepanjang tahun 2017 hingga 2024, DPMPTSP Pidie mencatat sebanyak 33 perusahaan yang telah di rekomendasi izin usaha pertambangan (IUP) di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.

Kepala Bidang Perizinan DPMPTSP Pidie, Dedi mengatakan, hingga saat ini belum mengantongi jumlah pasti perusahaan-perusahaan yang mendapatkan IUP dari provinsi.

“Beberapa perusahaan belum mengirimkan nomor SK IUP ke kami,” ujarnya.

Dedi menjelaskan, untuk mendapatkan IUP, perusahaan terlebih dahulu harus mendapatkan rekomendasi dari Kepala Desa, Camat, Bupati yang akan ditandatangani oleh DPMPTSP kabupaten kota, kemudian dilanjutkan ke provinsi.

Rekapitulasi Rekomendasi IUP di beberapa desa di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie tahun 2017 hingga 2024, sebanyak 14 perusahaan di Desa Lhok Keutapang, 8 di Desa Beungga, 4 di Desa Krueng Seukeuek, 3 di Blang Malo, 2 di Pulo ie, 1 di Pulo Baro, dan 1 di Alue Calong.

Sub Koordinator Pemetaan Wilayah Izin Mineral dan Batubara ESDM Aceh, Dharmawan, menyampaikan, perusahaan yang mengantongi IUP tidak terikat pada satu perusahaan atau proyek tertentu.

“Kalau IUP, mereka bisa menjual ke siapa saja,” sampainya.

Sementara untuk perusahaan yang melakukan penambangan atas kebutuhan satu proyek tertentu, mereka harus mendapatkan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB).

“Mereka harus ada kontrak dengan proyek tertentu dan material yang dikeluarkan dari satu lokasi untuk pembangunan proyek tersebut,” ucap Dharmawan.

ESDM Aceh mengaku belum menerima laporan khusus dampak yang ditimbulkan dari Galian C di Tangse yang menyuplai ke Bendungan Rukoh.

Dari data ESDM Aceh tahun 2024, sebanyak 11 perusahaan pemegang IUP Komoditas Batuan di Kecamatan Tangse, tersebar di Desa Lhok Keutapang, Beungga, Krueng Seukeuek, Blang Malo, dan Alue Calong.

Afifuddin Acal, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh kepada Bithe.co, Selasa (12/11/2024) menegaskan, aktivitas Galian C untuk kepentingan pembangunan Bendungan telah mengakibatkan DAS rusak dan menjadi ancaman besar bagi masyarakat Tangse.

Afifuddin yang juga merupakan putra asli Desa Beungga, mengatakan, sungai yang telah rusak itu merupakan sumber air untuk warga, baik untuk kebutuhan pertanian, perkebunan, dan kebutuhan sehari-hari.

“Kerusakan DAS itu sudah sangat bar-bar,” ungkapnya.

Berdasarkan Pasal 76 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha penambangan mineral dan batubara, pertambangan bisa dihentikan jika kondisi daya dukung lingkungan sudah tak layak.

Penghentian penambangan dapat dihentikan oleh pemerintah menteri, gubernur, atau bupati/walikota berdasarkan permohonan warga. Masyarakat yang terdampak bisa mengusulkan permohonan penghentian penambangan.

Dia meminta pemerintah untuk segera menghentikan aktivitas Galian C serta mengusut para pelaku yang telah menyebabkan kerusakan ekologis di wilayah Tangse.

“Dampaknya sudah jelas, harusnya inspektorat mengeluarkan rekomendasi untuk mengakhiri perizinan dan proses hukum bagi orang yang terlibat dalam perusakan lingkungan DAS,” tegasnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.