Nelayan Bungus Teluk Kabung menghadapi penurunan hasil tangkapan akibat pencemaran laut, kerusakan terumbu karang, dan hilangnya mangrove, yang sebagian diduga disebabkan oleh limbah PLTU Teluk Sirih.
Andre (35) menyeruput kopi hitam yang dipesan di kedai tempat ia duduk, menghabiskan sore menjelang matahari terbenam di kawasan Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Sumatera Barat.
Ketika tak melaut, ia biasa duduk sambil bercengkerama dengan warga lain di kawasan yang punya panorama alam indah itu, di sana, perbukitan bersisian dengan laut lepas Samudra Hindia.
“Pada kurun 2016-2017 tangkapan ikan di kawasan ini masih melimpah, saya pernah mendapat 500 kilogram dalam satu malam,” ujar Andre, salah satu nelayan di Kelurahan Teluk Kabung Tengah, Rabu (25/12/2024)
Gelak tawa Andre soal tahun-tahun melimpahnya tangkapan nelayan masa itu mulai berubah kecut ketika ia bercerita tentang pendapatan dari melaut pada empat tahun belakangan.
Dalam tahun ini, kata Andre, dapat dikatakan tidak bisa bergantung lagi dari hasil laut. Bahkan dalam satu kali melaut, nelayan bisa membawa pulang ikan hanya dua kilogram saja.
“Iya terutama tahun ini, sulit sekali,” ujarnya tersenyum kecut.
Andre tidak tahu apa yang menyebabkan berkurangnya hasil laut di Kawasan Bungus Teluk Kabung, yang jelas menurutnya secara alamiah kondisi alam sudah berubah.
“Kalau kita nelayan tradisional cukup peka dengan tanda-tanda alam, misalnya air laut itu dulu ada rasa hangat ketika kita menyentuh air laut, namun sekarang dingin saja sepanjang hari,” katanya yang sudah ikut melaut dengan orang tuanya sejak sekolah dasar.
Nelayan lainnya di kawasan itu, Jondri (40) juga mengatakan hal senada, bahwa jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu ada tanda-tanda berubahnya alam.
“Terumbu karang juga banyak yang rusak, tapi menurut saya itu karena ada yang pakai putas ketika menangkap ikan,” jelasnya.
Jondri menceritakan pendapatan dari laut sekarang seperti tak menentu, meski dari dulu ada musim-musimnya, namun saat ini nelayan tak bisa memprediksi lagi bagaimana kondisi laut.
“Kalau dulu misal ketika terang bulan, kami sudah menepi karena tidak akan ada ikan, nah sekarang tidak begitu lagi, bisa jadi saja ketika terang bulan itu banyak dapat ikan,” ujarnya.
Kedua nelayan tersebut tidak mengetahui apa yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan pada alam tempatnya mencari nafkah itu.
Perairan Teluk Sirih Tercemar
Dalam penelitian berjudul Concentration of Water Pollution Indicators Bacteria in Sirih Padang, Sumatera Barat yang diterbitkan di Asian Journal of Aquatic Sciences, Volume 4, Edisi 1, Tahun 2021 halaman 78 dan 79 disebut perairan Teluk Sirih berada dalam keadaan yang kurang baik secara biologis, meskipun secara fisik mungkin terlihat baik.
PLTU Teluk Sirih yang terletak di Bungus Teluk Kabung memberikan kontribusi signifikan terhadap pencemaran air melalui limbah panas yang dihasilkan, menciptakan kondisi yang mendukung pertumbuhan bakteri patogen seperti E. coli dengan konsentrasi yang melebihi batas yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004.
Selain itu, aktivitas industri di sekitar PLTU juga meningkatkan jumlah bakteri coliform di perairan. Berkurangnya pendapatan nelayan dan rusaknya lingkungan di sekitar Bungus Teluk Kabung ditenggarai oleh aktivitas industri dan pemukiman, terutama dari PLTU Teluk Sirih.
Pencemaran air juga dapat berkontribusi pada fenomena pemutihan karang (coral bleaching) di perairan dekat PLTU Teluk Sirih.
Pemutihan karang terjadi ketika karang yang biasanya berwarna-warni karena keberadaan alga simbiotik (zooxanthellae) kehilangan alga tersebut akibat stres lingkungan.
Faktor-faktor yang menyebabkan stres ini termasuk peningkatan suhu air, polusi, dan perubahan kualitas air. Limbah panas dari PLTU dapat meningkatkan suhu air di sekitarnya, sementara polusi dari bahan kimia dan bakteri dapat merusak kesehatan karang.
Kombinasi dari faktor-faktor ini dapat menyebabkan karang mengeluarkan zooxanthellae, yang mengakibatkan pemutihan dan jika kondisi tidak membaik maka mengakibatkan kematian karang.
Sementara dan penelitian yang dilakukan Roehana Project, menyebutkan PLTU Teluk Sirih dibangun pada tahun 2008 dan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 2014 (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2018).
Menurut penuturan masyarakat di sekitar PLTU Teluk Sirih pada 2024, dampak lingkungan yang dirasakan meliputi peningkatan suhu udara dan aktivitas kendaraan pengangkut kebutuhan PLTU yang menghasilkan fly ash (abu terbang).
Sebaran abu PLTU dianalisis menggunakan citra satelit Aerosol Index Sentinel-5P untuk rentang bulan Januari hingga Juli, guna mengukur konsentrasi debu di kawasan Bungus Teluk Kabung. Dari hasil pemetaan, ditemukan konsentrasi debu pekat yang berasal dari cerobong PLTU mengarah ke Timur Laut dan Utara PLTU Teluk Sirih.
Area terdampak debu meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Teluk Kabung Tengah dan Kelurahan Teluk Kabung Utara. Diperkirakan sebanyak 2.952 unit bangunan terdampak, dengan estimasi 11.808 jiwa terpapar debu dari PLTU Teluk Sirih.
Sebagai bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang diharapkan dapat melakukan pemantauan dan pengawasan rutin terhadap kegiatan PLTU Teluk Sirih.
Pemantauan ini harus dilakukan sesuai dengan aturan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk monitoring berkala kualitas udara di sekitar PLTU.
Berkurangnya Tanaman Mangrove
Dari data penelitian Roehana Project, dalam kurun waktu 2009 hingga 2019, luas ekosistem mangrove berkurang dari 80,71 hektar menjadi 60,35 hektar, dengan tingkat perubahan sebesar 25,23% per 10 tahun di Kawasan Bungus Teluk Kabung.
Salah satu lokasi yang mengalami perubahan signifikan adalah Teluk Sirih, di mana luas mangrove berkurang dari 8,82 hektar pada tahun 2009 menjadi 0 hektar pada tahun 2019.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh pembangunan PLTU Teluk Sirih. Kehadiran PLTU tersebut memberikan dampak besar terhadap ekosistem mangrove di Teluk Sirih, menyebabkan hilangnya seluruh area mangrove di lokasi tersebut.
Mangrove memiliki fungsi penting sebagai penghalang erosi pantai, perluasan daratan ke laut, dan tempat pemijahan biota laut. Dengan hilangnya mangrove, fungsi-fungsi ini juga ikut hilang, yang dapat berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan biota yang bergantung padanya.
Namun, di lokasi lain seperti Dermaga Pertamina, terdapat peningkatan luas mangrove berkat rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
Meskipun ada beberapa upaya positif, seperti penanaman mangrove di Dermaga Pertamina, masih diperlukan tindakan yang lebih tegas dan berkelanjutan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Apa Kata Pengamat Lingkungan
Pengamat Lingkungan dari Universitas Negeri Padang, Prof. Indang Dewanta mengatakan berkurangnya tangkapan nelayan dapat disebabkan oleh sejumlah faktor seperti perubahan iklim atau rusaknya ekosistem laut.
“Di kawasan Bungus Teluk Kabung, harus ada penelitian yang mendalam terkait hal ini, namun keberadaan PLTU bisa saja menjadi salah satu faktor,” jelasnya.
Ia menilai limbah air panas yang dihasilkan oleh PLTU yang kemudian dialirkan ke laut bisa menjadi faktor rusaknya ekosistem laut.
“Ketika ekosistem laut rusak, lanjutnya maka akan berdampak pada biota laut termasuk ikan,” ujarnya.
Selain itu, Indang menyebut harus ada penelitian lebih lanjut terhadap keluhan masyarakat terutama nelayan yang tangkapannya berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara Manager PLTU Teluk Sirih, Lutfi Nul Hakim membantah PLTU Teluk Sirih berkontribusi dalam pencemaran lingkungan.
“Kami ketat sekali pantauan terkait lingkungan. Kami pastikan tidak ada kondisi seperti itu,” ujarnya, Rabu (25/12/2024).
Ia menyebut bahkan cerobong PLTU Teluk Sirih tidak mengeluarkan asap an bisa dilihat langsung dari pinggir Pantai Air Manis.
Selain itu, lanjutnya, petugas PLTU Teluk Sirih setiap pagi, siang dan sore selalu melaporkan kondisi lingkungan sekitar PLTU Teluk Sirih.
“Jika ada abnormal di lingkungan pasti langsung diatasi. Dan sejauh ini selalu bening. Dan kami juga memasang CEMS 24 jam online terhubung ke KLHK,” ia menambahkan.
- Peluang investasi transisi energi 333 GW potensi proyek energi terbarukan layak finansial
- WALHI Sumut mengenalkan panduan alat bantu konflik manusia satwa berbasis HAM
- Di Indonesia belum ada kota yang bisa dijadikan contoh tata kelola sampah yang baik
- Belasan orang bersaksi dalam sidang gugatan kabut asap di PN Palembang
- Yayasan KEHATI dan FDKI dorong revisi UU kehutanan yang holistik dan partisipatif