Sistem politik di Indonesia berbiaya tinggi. Politisi yang kemudian terpilih menjadi pejabat akan menggantinya dengan konsesi lahan.

Trend Asia memaparkan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan transisi energi di Indonesia melambat. Paling signifikan disebabkan oleh politik kebijakan yang cenderung koruptif.
Direktur Riset Trend Asia Ashov Birry menerangkan hal itu disebabkan sistem politik di Indonesia yang cenderung berbiaya tinggi. Kondisi tersebut membuat para politisi mengumpulkan pendanaan kampanye ke pengusaha bisnis ekstraktif.
“Parpol tidak melakukan pengkaderan dengan benar dengan membiarkan kadernya mencari pendanaan dari luar,” katanya di Jakarta, dikutip Sabtu (30/11/2024).
Dengan dalih balas budi, kata Ashov, politisi yang kemudian terpilih menjadi pejabat akan menggantinya dengan memberikan kebijakan konsesi lahan. Di sisi lain, kondisi tersebut juga ditopang dengan penegakan hukum yang buruk.
Adapun berdasarkan aspek ketersediaan batubara, cadangan batubara di Indonesia diperkirakan masih akan bertahan hingga 80 tahun ke depan. Dengan asumsi eksploitasi yang terus dilakukan setiap harinya.
Ketersediaan batubara ini sebagian besar atau sebanyak 20 persen dari total produksi digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Termasuk segelintir smelter dan industri yang juga menggunakan batubara sebagai pembangkit listrik secara mandiri.
Terlebih kondisi kontrak jangka panjang PLTU yang sudah eksisting maupun masih akan dibangun menggunakan klausul Take or Pay (ToP). Klausul tersebut menyebabkan ketergantungan batubara sebagai energi kotor untuk pembangkit listrik semakin tak terbendung.
“Ketersediaan listrik di Indonesia saat ini surplus. Kelebihan ini yang terus dibayarkan PLN. Bahkan juga disubsidi menggunakan APBN. Banyak uang kita yang digunakan untuk hal yang tidak dibutuhkan atau berlebih,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ruang fiskal yang menipis juga turut menjadi penyebab melambatnya laju transisi energi. APBN 2025 misalnya, sebanyak 37 persen digunakan untuk membayar hutang beserta bunganya.
Politik anggaran
Menggunakan dalih menipisnya APBN, kata Ashov, pemerintah memilih melanjutkan eksploitasi dan mengekspor batubara dengan tujuan sejumlah negara seperti China, Brunai Darusalam, Vietnam, dan negara lainnya.
“Ekspor batubara dinilai lebih menguntungkan. Berdasarkan Domestik Market Obligation harga batubara di luar negeri mencapai 200 USD per ton, sedangkan di dalam negeri sebesar 70 USD per ton,” jelasnya.
Kondisi tersebut kemudian dilegitimasi dengan UUD Pasal 33 Ayat (3) tentang pemberian mandat kepada negara untuk menguasai dan mengatur pengelolaan sumber daya alam yang ada. Legitimasi tersebut kemudian digunakan sebagai dalih untuk memonopoli energi melalui perusahaan negara (BUMN).
“Masalahnya di Omnibuslaw kalau sudah diberikan predikat kepentingan umum maka disikat. Pertama, overlap area konservasi, tanpa kesepakatan diambil negara. Ini biang ribut,” ujarnya.
Padahal, kata Ashov, dengan potensi yang ada di daerah, pengelolaan sumber daya alam untuk kebutuhan energi seharusnya dapat didistribusikan hingga ke level badan usaha milik desa (BUMDes). Pemerintah dapat memainkan perannya sebagai fasilitator.
Monopoli penyediaan energi yang cenderung sentralistik dan mengabaikan potensi lokal dinilainya berbiaya tinggi. Dengan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam dan melibatkan peran masyarakat lokal dapat mengefisienkan pengeluaran anggaran negara.
Di sisi lain, dunia internasional juga menawarkan sejumlah kemitraan bantuan pendanaan transisi energi di negara-negara berkembang. Di antaranya seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Energy Transition Mechanism (ETM), dan lainnya.
Namun kendala yang muncul yakni pencatatan aset buku mengalami kenaikan, khusunya mengenai penetapan harga aset (pricing asset) PLN. Sedangkan perpekstif pembeli, harga aset milik PLN yang masih menggunakan energi fosil masih cenderung tinggi. Ini yang menyebabkan harga pasar dan harga buku aset tidak menemukan titik temu harga.
“Paling berkesan pajak karbon tidak jadi-jadi belum diaplikasi sampai sekarang. Saya tidak tahu kenapa. Yang dilakukan karbon tradenya. Ini kecelakaan secara konseptual. Seharusnya pajak karbon dulu baru perdagangan karbon,” pungkasnya.
- Organisasi masyarakat sipil menuntut penegakan keadilan bagi pembela HAM dan lingkunganPengadilan Negara Manokwari mengadili kasus kekerasan terhadap pembela HAM, Sulfianto Alias. Keadilan harus ditegakkan.
- Bahaya bahan kimia plastik pada kesehatan, peneliti Unpad kembangkan plastik ramah lingkunganLebih dari 13.000 jenis bahan kimia plastik digunakan secara global. Dari jumlah tersebut, lebih dari 3.200 bahan berbahaya bagi kesehatan.
- Warga Dairi mendesak KLHK patuh pada putusan Mahkamah AgungPerusahaan tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara masih beroperasi tanpa persetujuan lingkungan yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung.
- Masjid Al Muharram Brajan gunakan panel surya, teladan transisi energi bersihPanel-panel surya mampu mengurangi emisi karbon. Listrik yang ada saat ini dihasilkan energi kotor batu bara.
- Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera UtaraKerusakan hutan di Sumatera Utara menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Sumatera Utara mengungkap bahwa deforestasi merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem hutan di berbagai kabupaten. Dalam laporan berjudul “Ribak! Risalah Bumi Para Ketua”, WALHI Sumut mencatat kerusakan hutan terjadi di Tanah Karo, Tapanuli Selatan, Dairi, Tapanuli Utara, Toba, Simalungun,… Baca selengkapnya: Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera Utara
- WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyatWahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pengembangan panas bumi (geothermal) yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pulau Flores. WALHI menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan sarat dengan pendekatan top-down yang bertentangan dengan semangat desentralisasi. Pernyataan ini disampaikan… Baca selengkapnya: WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyat