Bukan kemakmuran bersama yang dirasakan di Merauke dengan adanya program Pangan dan energi di Marauke, melainkan segudang persoalan baru.

Lebih dari dua juta tanah dan hutan milik masyarakat Merauke akan berubah menjadi sawah dan perkebunan karena pembangunan PSN.
Kapal tongkang. (PUSAKA)

Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, dijadikan sebagai salah satu tempat berlangsungnya proyek strategis nasional di bidang pangan. Di tanah Papua ini akan dijalankan Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tanggal 19 April 2024.

Kebijakan dan dukungan negara atas Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi ini dibingkai sebagai solusi di tengah krisis. Diskursus, solusi dan kebijakan negara ini bukan pertama kali di Papua, sebelumnya ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPPP), Food Estate Papua, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan, bukan kemakmuran bersama yang dirasakan di Merauke dengan adanya program pangan dan energi di Merauke, tetapi segudang persoalan baru yang bermunculan. Mulai dari pengalihan penguasaan tanah skala luas yang mencapai jutaan hektar melalui praktik tipu muslihat.

Sebagai akibatnya, masyarakat adat tereksklusi dan kehilangan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan, sulitnya akses atas sumber pangan dan sumber mata pencaharian, penghancuran sistem sosial dan budaya, eksploitasi buruh dan pemberian upah tidak layak, kekerasan, ketidakpatuhan negara dan korporasi dalam pemenuhan janji kesejahteraan dan bagi hasil yang layak, terjadi deforestasi, malnutrisi, pengrusakan ekosistem yang merupakan tempat hidup flora dan fauna, hingga pencemaran air.

“Kami mendokumentasikan praktik perampasan tanah dalam program MIFEE melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa informasi dan persetujuan bebas masyarakat adat secara luas. Terjadi penumpukan kekayaan, konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir badan usaha dan grup perusahaan. Ada 38 perusahaan dengan berbagai usaha dan komoditi kelapa sawit, tebu, jagung, hutan tanaman industri, yang menguasai lahan skala luas mencapai 1.588.651 hektar”, ulas Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, diakses dari laman Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Minggu, 19 Januari 2025.

Sejak tahun 2010, pengalaman buruk, kepedihan dan penderitaan dari program MIFEE belum mengenal kata berhenti dan semakin menumpuk. Seperti yang dituturkan Teddy Wakum, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke.

“Penyimpangan dan dampak program MIFEE masih dikeluhkan masyarakat adat terdampak hingga saat ini. Suku Marind dan buruh Orang Asli Papua di Mam, Muting dan Zanegi, masih menuntut keadilan dan pemulihan hak korban kekerasan, janji perusahaan untuk kesejahteraan dan upah layak”, ungkap Teddy Wakum.

Sejak proyek ini dicanangkan dan kedatangan Presiden Jokowi, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat belum menemukan adanya informasi dan dokumen kajian sosial dan kajian lingkungan hidup strategis, yang semestinya dilakukan sejak awal sebelum proyek dimulai.

Pemerintah juga belum melakukan pemberian informasi dan mendapatkan persetujuan masyarakat adat secara luas dalam proses dan penerapan PSN pengembangan gula, bioethanol dan perluasan lumbung pangan, yang akan mempengaruhi sistem kehidupan masyarakat adat dan ekosistem pada wilayah adat.

Pengabaian negara atas hak masyarakat adat untuk membuat keputusan ini melanggar prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Provinsi Papua, Pasal 43 tentang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga mengamati peningkatan intensi dari aparat keamanan TNI dan Polri. Mulai dari proses sosialisasi, negosiasi perolehan lahan, hingga pengawalan dan pengamanan peralatan operasi proyek. Situasi ini membuat masyarakat khawatir, dibatasi dan tidak bebas menyampaikan pendapat dan pikirannya.

“Kami mendengar keluhan dari masyarakat adat. Mereka mengalami tekanan dan terdampak proyek, sebagaimana disampaikan masyarakat adat Marind, Yeinan, Kimahima dan Maklew, penduduk asli Papua yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke. Kami menilai proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, menyangkut hak hidup masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan adat, hak bebas berekspresi, hak bebas untuk menentukan pembangunan yang berlangsung di wilayah adat, hak atas pangan, hak atas kekayaan dan pengetahuan intelektual, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, jelas Teddy Wakum.

Program pangan dan energi, seolah-olah Papua tanah kosong

Pemerintah memberikan rekomendasi dan izin berusaha dalam skala luas kepada segelintir pemilik modal. Pada periode 2023 dan 2024, pemerintah menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Surat Rekomendasi kepada 9 (sembilan) perusahaan perkebunan tebu, seluas 469.147 hektar yang tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin dan Muting, Kabupaten Merauke.

Di samping itu, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyebutkan media baru saja memberitakan keberadaan pengusaha yang menurunkan alat berat eksavator yang akan digunakan dalam program percetakan sawah. Mereka akan mengembangkan lahan perkebunan tebu dan infrastruktur seluas 500.000 hektar dan pembangunan 5 (lima) pabrik pengolahan gula dan bioetanol, seluruh nilainya sekitar 83 triliun.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah melakukan kajian cepat aspek penggunaan kawasan hutan dan lingkungan hidup dari perizinan dan pengembangan industri perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol, ditemukan sebagian besar izin yang diberikan berada pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi sebesar 45 persen, Hutan Produksi Terbatas 30 persen, dan sisanya Areal Penggunaan Lain 25 persen.

Areal perizinan perkebunan tebu ada yang berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektar, karenanya proyek ini mempunyai risiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi.

“Selain itu, izin perusahaan tersebut sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektar dan beresiko secara sosial ekonomi dan budaya”, kata Franky Samperante.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat meminta pemerintah untuk konsisten menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat dan sungguh-sungguh menerapkan komitmen perbaikan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan dan transparan, tidak merusak lingkungan hidup dan menyebabkan perubahan iklim. Karenanya, Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke harus dihentikan, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dampak sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan hidup.

“Kami meminta kepada korporasi, investor dan institusi keuangan untuk menghormati hak masyarakat adat untuk membuat keputusan bebas dan tanpa memaksa masyarakat menerima proposal dan usaha perusahaan memanfaatkan dan mengembangkan lahan dan hutan adat di wilayah adat,” demikian pernyataan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Pemerintah daerah dimina mengambil langkah efektif dan langkah hukum dalam menghormati dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, hak hidup, hak bebas berpendapat, hak atas tanah, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak mendapatkan informasi publik dan termasuk perizinan, serta melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.