Lebih dari satu dekade warga Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, berjuang melawan dampak buruk peternakan ayam.

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengecam keras penangkapan terhadap masyarakat dan santri (anak) di Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Banten. Penangkapan terjadi Jumat, 7 Februari 2025 sekitar pukul 00.30 WIB dini hari.
Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat, delapan orang ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan dengan rincian 2 laki-laki dewasa atas nama Samsul Ma’arif dan Cecep, 1 perempuan atas nama Hj. Yayat dan 5 santri yang berstatus anak-anak.
Tim Advokasi untuk Demokrasi terdiri dari LBH Jakarta, WALHI, KontraS, dan LBH Pijar menuntut pembebasan warga Padarincang. Tuntutan lengkap Tim Advokasi untuk Demokrasi dalam tautan berikut ini.
Latar belakang peristiwa ini memiliki riwayat panjang. Selama lebih dari satu dekade, warga Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, telah berjuang melawan dampak buruk yang ditimbulkan oleh korporasi peternakan ayam dan pakan. Sejak perusahaan mulai beroperasi, lingkungan di sekitar kampung mengalami perubahan drastis akibat pencemaran yang ditimbulkan oleh usaha peternakan ayam berskala besar ini.
Warga telah berulang kali menyampaikan keluhan terkait pencemaran udara, bau menyengat dari limbah peternakan, serta meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang menyerang banyak penduduk, termasuk anak-anak dan lansia.
Mereka telah berusaha mencari keadilan melalui berbagai jalur, mulai dari audiensi dengan pemerintah daerah, pengaduan ke dinas terkait, hingga aksi protes damai. Namun, respons yang diberikan sangat lamban dan tidak memadai, sementara penderitaan mereka terus berlanjut.
Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, warga justru menyaksikan bagaimana aparat penegak hukum lebih berpihak kepada kepentingan korporasi. Selama bertahun-tahun, perusahaan tetap beroperasi tanpa tindakan hukum yang berarti, meskipun dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan semakin nyata.
Frustrasi dan kemarahan yang terus menumpuk akhirnya memicu peristiwa pembakaran kandang ayam milik perusahaan. Insiden ini bukanlah aksi kriminal tanpa sebab, tetapi puncak dari akumulasi ketidakadilan yang dirasakan warga selama bertahun-tahun.
Sayangnya, setelah insiden tersebut, sebagaian narasi yang berkembang di media arus utama cenderung menyudutkan warga, menggambarkan mereka sebagai pelaku kekerasan, tanpa melihat akar masalah yang lebih dalam—yaitu kegagalan negara dalam melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara.
Tulisan lebih lanjut mengenai masalah lingkungan yang dihadapi warga dapat diakses dalam tautan ini.
Selamatkan Bumi Kita, Dukung Jurnalisme Lingkungan Berkualitas Bersama Ekuatorial.Com!
- Jelang COP30 di Brazil, visi energi terbarukan Prabowo tersandung SNDC
Prabowo menyuarakan ambisi besar: Indonesia mencapai 100% energi terbarukan dalam satu dekade - Tafsir Ayat-Ayat Ekologi, ikhtiar meyembuhkan luka bumi Indonesia
Mampukah Tafsir Ayat-Ayat Ekologi mengubah arah kerusakan lingkungan yang telah digerakkan oleh mesin ekonomi dan politik yang begitu perkasa? - Resep kedaulatan pangan Cireundeu di tengah krisis iklim
Sejarah perlawanan Cireundeu adalah model hidup tentang kedaulatan pangan yang jadi fondasi bagi kemerdekaan yang sesungguhnya. - Siapa yang mendanai kerusakan lingkungan atas nama transisi hijau?
Di balik setiap truk yang mengangkut bijih nikel dan setiap cerobong asap smelter yang mengepul, ada jejak aliran dana rumit dibungkus transisi hijau - Dari kampus ke desa adat: jalan panjang menuju Bali bebas rabies
Kematian manusia akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan 55.000 orang per tahun. Di Indonesia dilaporkan rata-rata 125 kematian manusia setiap tahun. - Bagaimana persiapan Indonesia menuju COP30 di Brazil?
Delegasi Indonesia pada CO30 di Brazil mempersiapkan kertas posisi nasional yang mencakup 20 kelompok kerja tematik dan diklastering jadi 13 agenda negosiasi utama.





