Meski kampus memiliki jurusan pertambangan, upaya pemberian izin tambang sebagai bentuk korporatisme baru pemerintah kepada pihak kampus.

Perguruan tinggi diusulkan untuk mendapatkan izin tambang. Usulan ini dikemukakan dalam Rapat Pleno Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mineral dan Batubara (minerba) yang diadakan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Usulan pemberian izin usaha pertambangan bagi perguruan tinggi tertera pada Pasal 51A Ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM Gabriel Lele mengatakan sebaiknya kampus tidak membuka ruang untuk mendapat izin usaha pertambangan. Meski kampus tersebut sudah memiliki jurusan pertambangan dan berpotensi besar mendapat ladang sebagai lokasi laboratorium lapangan untuk mempraktekan keilmuan dan teknologi terkini. Menurutnya upaya pemberian izin tambang ini sebagai bentuk korporatisme baru pemerintah kepada pihak kampus.
“Pemberian izin tambang ini sebagai bentuk korporatisasi atau lebih tepatnya bentuk korporatisme baru di lingkungan kampus,” ujarnya, di laman resmi, Sabtu (1/2).
Lebih jauh Gabriel menjelaskan korporatisme ini sebagai strategi negara untuk menutupkan kelompok-kelompok di luar negara termasuk masyarakat sipil seperti kampus memberikan privilege, akan tetapi dengan syarat kemudian suara-suara kritis itu tidak boleh disampaikan.
“Saya justru melihat bahwa hal ini juga merupakan bentuk pembungkaman suara kritis kampus secara halus,” katanya.
Bagi Gabriel, selama ini kampus selalu diminta masukan terkait perumusan kebijakan atau revisi undang-undang. Namun dengan adanya pemberian izin tambang ini menurutnya justru memberikan dampak negatif lebih besar. Ia melihat bahwa adanya potensi korupsi atau paling tidak moral hazard jika kampus diberikan hak mengelola tambang. Sebab, ketika kampus nantinya terjun ke dalam pengelolaan tambang maka logika yang digunakan tidak hanya semata-mata logika akademik, tetapi sebaliknya kampus harus menggunakan logika bisnis untuk hitung-hitungan untung dan rugi. “Lagi-lagi logika bisnis yang dipakai,” terangnya.
Terlepas dari pro-kontranya kampus mengelola tambang, menurutnya kampus perlu berembuk untuk satu suara menyampaikan masukan kepada pemerintah dan DPR. “Kalau ikut misalnya, ya menerima tawaran itu, apa saja yang harus diperhatikan. Kalau tidak ikut, kemudian apa plus minusnya. Jadi yang disebut dengan identifikasi dan manajemen risiko itu harus dilakukan karena itu prinsip dasar dalam setiap kebijakan. Sebab tidak ada satupun kebijakan yang bebas risiko,” pungkasnya.
Peran perguruan tinggi bukan mengelola tambang
Lucas Donny Setijadji selaku Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM menyatakan, UU Minerba yang memberikan peluang bagi kampus mengelola tambang cukup mengejutkan baginya. Pasalnya, peran perguruan tinggi adalah mencetak SDM berkualitas bukan mengelola tambang seperti perusahaan tambang pada umumnya.
“Saya pribadi sebetulnya menolak atau tidak setuju dengan keinginan pemerintah dan DPR agara perguruan tinggi memiliki hak untuk mendapatkan pengelolaan pertambangan,” ucap Donny, dalam keterangan resmi Kamis (30/1/2025).
Menurutnya, universitas sebagai institusi pendidikan tinggi seyogyanya berperan dalam hal penyiapan sumber daya manusia sehingga seharusnya kampus juga harus berhati-hati dalam memposisikan diri dalam situasi ini dan selalu menyikapinya dengan jernih.
Namun seandainya keputusan izin kelola tambang ini akhirnya dimandatkan ke kampus, ujar Donny, beberapa hal perlu ditindaklanjuti oleh masing-masing perguruan tinggi yang ditunjuk adalah menggunakan kesempatan ini untuk berpartisipasi lebih aktif dalam konteks membantu, merealisasikan, atau mencoba mendukung agenda pemerintah seperti program hilirisasi.
Soal hilirisasi tambang, sebagai ahli di bidang eksplorasi sumber daya mineral, Donny menilai Indonesia saat ini perlu melakukan kegiatan penemuan mineral-mineral baru seperti litium, logam tanah jarang, dan grafit diharapkan bisa mendukung akselerasi hilirisasi. “Sayangnya, logam-logam ini belum ditemukan di Indonesia,” paparnya.
Donny menyebut perlu adanya payung hukum guna mewadahi para peneliti yang memiliki ketertarikan terhadap berbagai sumber daya mineral dan energi berbasis pada penelitian yang didanai oleh pemerintah dan juga dengan kolaborasi dari berbagai donor.
“Dengan adanya payung hukum ini, universitas juga memiliki hak kekayaan intelektual atas penemuan yang didapatkan nantinya,” tegasnya.
Selamatkan Bumi Kita, Dukung Jurnalisme Lingkungan Berkualitas Bersama Ekuatorial.Com!
- Jakarta menghadapi bahaya tak terlihat dari kontaminasi mikroplastikPenelitian dari Cornell University menyebutkan Indonesia menjadi negara dengan kontaminasi mikroplastik tertinggi per kapita di dunia. Memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2025, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) beserta anggotanya mengajak para jurnalis untuk mengikuti Media Tour 4.0 bertema “Dari Air ke Rantai Makanan: Mengungkap Ancaman Mikroplastik di Sekitar Kita” pada Sabtu, 22 Februari 2025… Baca selengkapnya: Jakarta menghadapi bahaya tak terlihat dari kontaminasi mikroplastik
- Alih fungsi lahan menjadi akar masalah bencana ekologis di JabodetabekData citra menunjukkan alih fungsi lahan Jabodetabek tak terbendung. Lahan-lahan resapan air terus terdesak.
- Banjir Jabodetabek bukti nyata rentannya Indonesia dalam ancaman krisis iklimPenyebab banjir Jabodetabek adalah perubahan fungsi lahan serta lambatnya respons pemerintah daerah atas peringatan dini cuaca ekstrem.
- Sikap hemat energi berperan vital mengurangi emisiTransformasi menuju peralatan yang lebih hemat energi perlu dukungan semua pihak. Produsen mesti didorong membuat peralatan hemat energi.
- Posko Curhat Buruh diluncurkan bersamaan dengan momentum peringatan International Women’s Day Di BandungPembentukan Posko Curhat Buruh melibatkan organisasi masyarakat sipil KSN, PBHI Jabar, LBH Bandung, SEBUMI, Trimurti.id, dan AJI Bandung.
- Banjir menerjang tiga kecamatan di Bandung SelatanHujan deras sepekan terakhir menyebabkan banjir yang menerjang tiga kecamatan di Bandung selatan: Bojongsoang, Baleendah, dan Dayeuhkolot.