Posted inOpini / Sumber daya

Dampak revisi UU Minerba yang ugal-ugalan terhadap lingkungan hidup di Indonesia

Revisi UU Minerba yang disahkan pada 18 Februari 2025 di DPR menuai kontroversi. Posesnya cepat serta memungkinkan ormas dan kampus mengelola tambang, dengan potensi dampak negatif bagi lingkungan dan sosial.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 18 Februari 2025. Revisi UU Minerba ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, terutama karena dianggap memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap lingkungan hidup di Indonesia.  

Revisi UU Minerba diajukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 20 Januari 2025. Proses pembahasan berlangsung cepat dan diwarnai kontroversi karena dilakukan secara tertutup dan terkesan terburu-buru. Pemerintah memiliki tenggat waktu paling lambat 6 (enam) bulan untuk menyelesaikan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini.

Hanya dalam waktu kurang dari sebulan, RUU Minerba disetujui sebagai inisiatif DPR pada 22 Januari 2025 melalui rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Kontroversi ini dipicu oleh proses pengusulan hingga revisi yang dilakukan kurang dari sebulan.  

Pada 12 Februari 2025, Baleg membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba. Pembahasan DIM dilakukan secara intensif pada 12-15 Februari 2025. Selanjutnya, Baleg membentuk tim perumus dan tim sinkronisasi. Akhirnya, RUU Minerba disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna pada 17 Februari 2025 dan disahkan pada 18 Februari 2025.  

Proses Pembahasan dan Pengesahan

Proses pembahasan dan pengesahan revisi UU Minerba di DPR menuai kritik dari berbagai kalangan. Beberapa catatan kritis terhadap proses tersebut antara lain,

kurangnya transparansi. Rapat pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup, sehingga membatasi partisipasi publik dan menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan tertentu di balik revisi tersebut. Koalisi masyarakat sipil menilai proses revisi yang dilakukan oleh Baleg DPR RI ini sangat kilat dan tidak transparan.  

Proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba berlangsung sangat cepat, kurang dari sebulan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pembahasan substansi RUU tidak dilakukan secara mendalam dan komprehensif. Meskipun terdapat beberapa konsultasi publik, namun secara umum partisipasi publik dalam proses revisi UU Minerba dinilai masih minim.  

Kemudian UU Minerba juga mengalihkan kewenangan perizinan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Hal ini dinilai dapat menurunkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengawasan pertambangan. Sebelumnya, pemerintah daerah memiliki peran dalam pembinaan, penyelesaian konflik, dan pengawasan. Dengan pengalihan kewenangan ini, pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan untuk menghentikan atau mencabut izin pertambangan, meskipun terdapat konflik dengan masyarakat atau kerusakan lingkungan.  

Meskipun UU Minerba seharusnya mengatur perizinan untuk “merusak” lingkungan (dalam hal ini, menambang), proses perizinan justru dipermudah . Hal ini bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan pemerintah dalam melindungi lingkungan.  

Terdapat pandangan bahwa pelibatan ormas dan perguruan tinggi dalam UU Minerba merupakan taktik untuk membungkam kritik dan mempertahankan kendali atas sektor pertambangan. Ormas dan perguruan tinggi dianggap akan lebih menguntungkan jika mendukung pemerintah dan perusahaan tambang.  

Pihak-pihak yang Terlibat dan Kepentingannya

StakeholderInterest
Pemerintah (Kementerian ESDM, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretaris Negara)Meningkatkan tata kelola pertambangan, memberikan kepastian hukum dan berusaha, mendorong hilirisasi, meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan negara, mewujudkan kesejahteraan rakyat
DPR (Baleg DPR)Mengusulkan, membahas, dan mengesahkan RUU Minerba
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) KeagamaanMendapatkan kesempatan untuk mengelola tambang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)Mendapatkan kesempatan untuk mengelola tambang di wilayah masing-masing
KoperasiMendapatkan kesempatan untuk mengelola tambang
Perguruan TinggiMendapatkan pendanaan dari BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta yang mengelola WIUP/WIUPK di wilayahnya

Substansi Perubahan dalam UU Minerba

Revisi UU Minerba memuat sejumlah perubahan signifikan, antara lain:  

  • Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi.
    Revisi UU Minerba menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi dengan melakukan penyesuaian dalam undang-undang terkait interpretasi jaminan ruang dan perpanjangan kontrak . Hal ini menunjukkan bahwa revisi UU Minerba juga didorong oleh kebutuhan untuk menyesuaikan undang-undang dengan putusan Mahkamah Konstitusi.  
  • Perubahan Skema Perizinan
    Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) diubah dari mekanisme lelang penuh menjadi skema prioritas melalui mekanisme lelang. Skema ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada UMKM, koperasi, dan ormas keagamaan untuk mengelola tambang . Perubahan ini menuai kritik karena dianggap berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan memudahkan pemberian izin kepada pihak-pihak tertentu.  
  • Penguatan Hilirisasi
    UU Minerba mendorong hilirisasi industri mineral dan batubara untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Pemegang IUP dan IUPK diwajibkan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Ketentuan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan mengurangi ekspor bahan mentah. Namun, perlu dipastikan bahwa proses hilirisasi dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan.  
  • Kewenangan Pemerintah Pusat
    Kewenangan perizinan pertambangan minerba menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, kecuali jenis kewenangan perizinan tertentu yang dapat didelegasikan kepada Pemerintah Daerah. Perubahan ini dikhawatirkan akan mengurangi partisipasi masyarakat dalam pengawasan pertambangan dan meningkatkan potensi kerusakan lingkungan.  
  • Perpanjangan Kontrak
    Diatur mengenai perpanjangan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi. Perlu diperhatikan bahwa perpanjangan kontrak harus dilakukan dengan ketat dan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial.
  • Pengelolaan Wilayah
    WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi penetapan tata ruang dan kawasan. Tidak ada perubahan tata ruang dan kawasan bagi pelaku usaha yang telah mendapatkan IUP, IUPK, atau IPR. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha, namun perlu dipastikan bahwa penetapan tata ruang dan kawasan telah mempertimbangkan aspek lingkungan dan kepentingan masyarakat.  
  • Domestic Market Obligation (DMO)
    UU Minerba memprioritaskan pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri sebelum dilakukan ekspor. Kebijakan ini diharapkan dapat menjamin ketersediaan energi dalam negeri dengan harga yang terjangkau.  
  • Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat
    UU Minerba meningkatkan komitmen terhadap pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, serta perlindungan hak masyarakat dan masyarakat adat di sekitar wilayah pertambangan . Hal ini penting untuk memastikan bahwa masyarakat lokal mendapatkan manfaat dari kegiatan pertambangan dan terlindungi dari dampak negatifnya.  

Dampak UU Minerba terhadap Lingkungan Hidup

Revisi UU Minerba memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap lingkungan hidup di Indonesia.

  • Peningkatan Kerusakan Lingkungan
    Perubahan skema perizinan dan penguatan hilirisasi dikhawatirkan akan memicu peningkatan aktivitas pertambangan yang berpotensi memperluas kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Hal ini dapat terjadi karena semakin banyak wilayah yang dibuka untuk pertambangan dan semakin intensifnya eksploitasi sumber daya alam.  
  • Konflik Sosial
    Pemberian izin kepada perusahaan tambang di wilayah yang berdekatan dengan pemukiman warga berpotensi meningkatkan konflik sosial, terutama terkait sengketa lahan dan dampak lingkungan . Konflik sosial dapat menimbulkan kerugian ekonomi, kerusakan sosial, dan bahkan korban jiwa.  
  • Kerentanan Wilayah
    Eksploitasi sumber daya mineral dan batubara dapat meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan . Hal ini terjadi karena aktivitas pertambangan dapat merusak struktur tanah dan vegetasi yang berfungsi sebagai penahan air dan pencegah erosi.  
  • Kriminalisasi Masyarakat
    Pasal 162 UU Minerba mengatur bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu aktivitas pertambangan dapat dipidana . Ketentuan ini dikhawatirkan akan digunakan untuk mengintimidasi dan menkriminalisasi masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan di wilayahnya.  
  • Over-produksi Batubara
    UU Minerba dikhawatirkan akan mendorong over-produksi batubara, sementara permintaan batubara dunia diprediksi akan menurun seiring dengan transisi energi menuju energi terbarukan. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan harga batubara dan merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Selain itu, over-produksi batubara juga akan meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memperparah perubahan iklim.  

Beberapa kasus yang menunjukkan potensi dampak negatif UU Minerba. Antara lain, kasus tambang pasir besi di Jember, tambang emas di Silo, tambang fosfat di Sumenep, dan rencana tambang emas di Trenggalek yang ditolak oleh warga karena dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.  

Kasus tambang emas PT. Trio Kencana di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, yang menimbulkan konflik sosial dan bahkan mengakibatkan kematian warga. Kemudian kasus penambangan batubara ilegal di Taman Hutan Raya (TAHURA) Bukit Soeharto, Samboja, Kalimantan Timur, yang merusak kawasan yang seharusnya dilindungi.  

Rekomendasi Mitigasi

Untuk meminimalkan dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif UU Minerba, diperlukan langkah-langkah mitigasi sebagai berikut:

  • Penegakan Hukum yang Ketat
    Pemerintah harus menegakkan hukum secara ketat terhadap pelanggaran di sektor pertambangan, termasuk penambangan ilegal dan kerusakan lingkungan. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pelanggaran di kemudian hari.
  • Pengawasan yang Efektif
    Diperlukan sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan kepatuhan perusahaan tambang terhadap peraturan lingkungan. Pengawasan dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga independen.
  • Partisipasi Publik
    Pemerintah perlu meningkatkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait pertambangan, termasuk dalam proses penyusunan AMDAL dan pengawasan. Partisipasi publik akan menjamin bahwa kepentingan masyarakat terakomodasi dalam pengelolaan pertambangan.
  • Reklamasi dan Pascatambang
    Perusahaan tambang harus melaksanakan reklamasi dan pascatambang secara bertanggung jawab untuk memulihkan fungsi lingkungan. Reklamasi dan pascatambang yang baik akan meminimalkan dampak negatif pertambangan terhadap lingkungan.
  • Pengembangan Energi Terbarukan
    Pemerintah perlu mempercepat pengembangan energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada batubara. Transisi energi menuju energi terbarukan akan mengurangi dampak negatif pertambangan batubara terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Revisi UU Minerba merupakan langkah penting dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batubara di Indonesia. Namun, proses revisi yang terkesan terburu-buru dan kurang transparan, serta beberapa ketentuan yang kontroversial, menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi dampak negatifnya, terutama terhadap lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.

Pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi UU Minerba dilakukan secara bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi secara berkelanjutan. Langkah-langkah mitigasi yang komprehensif diperlukan untuk meminimalkan dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif UU Minerba.

Keberhasilan UU Minerba dalam mewujudkan tujuannya akan bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menegakkan hukum, melakukan pengawasan, dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pertambangan.

Penting untuk diingat bahwa sumber daya mineral dan batubara merupakan aset negara yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjamin bahwa sektor pertambangan memberikan kontribusi yang optimal bagi kemajuan Indonesia tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.