Revisi UU Minerba yang baru disahkan oleh DPR RI menuai kecaman dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang menilai proses legislasi tersebut terburu-buru, tidak transparan, dan hanya mengakomodasi kepentingan bisnis pertambangan.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali menuai kritik tajam setelah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) pada Rapat Paripurna ke-13, Selasa (18/02). Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengecam pengesahan revisi UU Minerba ini sebagai bukti bahwa Senayan, sebutan lain untuk gedung DPR, hanyalah “panggung sirkus” bagi para pebisnis untuk melegitimasi kepentingan mereka dalam industri sumber daya alam.
Pengesahan revisi UU Minerba ini dilakukan dengan cepat dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Seluruh fraksi di DPR, bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemerintah, menyetujui revisi ini dalam waktu singkat. JATAM menilai bahwa tidak ada anggota DPR yang benar-benar mewakili suara rakyat, terutama mereka yang telah lama menjadi korban dampak buruk pertambangan.
Proses Kilat dan Kangkangi Hukum
JATAM menyoroti proses revisi yang terkesan terburu-buru, tidak transparan, dan sembrono. “Revisi ini sangat ugal-ugalan. Bagaimana mungkin undang-undang sepenting ini dibahas dan disahkan dalam waktu kurang dari sebulan, tanpa melibatkan partisipasi publik, dan bahkan tidak masuk dalam agenda prioritas legislasi?” ujar Alfarhat Kasman, narahubung JATAM, dalam keterangan pers yang diterima redaksi.
Menurut pantauan JATAM, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hingga penyempurnaan redaksional RUU Minerba dilakukan secara tertutup, bahkan hingga larut malam, pada tanggal 12 hingga 15 Februari 2025. RUU ini pertama kali dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 20 Januari 2025, juga secara tertutup saat masa reses. Keesokan harinya, RUU ini ditetapkan sebagai usulan inisiatif DPR. Kurang dari sebulan, RUU ini disahkan menjadi undang-undang.
“Rapat-rapat yang dilakukan secara tertutup antara DPR, pemerintah, dan DPD jelas menunjukkan bahwa undang-undang ini dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan para oligarki tambang,” tegas Alfarhat. JATAM juga menyoroti pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjamin adanya keterbukaan dalam proses legislasi.
Akomodasi PP dan Kebohongan Publik
Lebih lanjut, JATAM menilai bahwa revisi UU Minerba ini sarat dengan upaya untuk melegitimasi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur pemberian jatah konsesi tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Pasal 60 dalam revisi ini kemudian memperluas penerima WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) batu bara kepada koperasi, perusahaan perorangan, serta badan usaha kecil dan menengah (UMKM), dengan dalih pemberdayaan ekonomi. Pasal 51 juga membuka ruang bagi entitas bisnis ini untuk mengelola tambang mineral.
“Ini jelas pelanggaran asas hukum lex superior derogat legi inferiori. Undang-undang seharusnya lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah, bukan sebaliknya. DPR dan pemerintah telah mengangkangi hukum demi memuluskan kepentingan bisnis tambang,” kata Alfarhat.
JATAM juga menyoroti kebohongan terkait pelibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang. Meskipun Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa konsesi untuk perguruan tinggi dibatalkan, revisi UU Minerba justru menggeser peran kampus menjadi penerima manfaat melalui skema perjanjian kerja sama dengan badan usaha yang mendapatkan WIUP.
“Kampus hanya dijadikan stempel legitimasi moral dan intelektual agar bisnis tambang terlihat bersih dan berkelanjutan. Ini adalah jebakan bagi kampus yang selama ini mengusung nilai-nilai keberlanjutan,” ungkap Alfarhat.
Pengesahan revisi UU Minerba ini semakin menguatkan kekhawatiran JATAM bahwa DPR RI telah menjadi “panggung sirkus” bagi para pebisnis tambang. Revisi ini dinilai hanya akan memperparah kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang selama ini diakibatkan oleh industri pertambangan, serta menguntungkan segelintir elit politik dan bisnis.
“Kami menilai revisi UU Minerba ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat dan lingkungan. Ini adalah bukti bahwa Senayan lebih memilih menjadi panggung sirkus untuk bisnis, daripada menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya,” pungkas Alfarhat.
- Pengesahan Revisi UU Minerba, langkah mundur bagi keadilan lingkunganProses kilat dan ugal-ugalan UU Minerba mencerminkan rakusnya kepentingan jangka pendek segelintir elit, mengabaikan bencana krisis iklim.
- Dampak revisi UU Minerba yang ugal-ugalan terhadap lingkungan hidup di IndonesiaRevisi UU Minerba yang disahkan pada 18 Februari 2025 di DPR menuai kontroversi. Posesnya cepat serta memungkinkan ormas dan kampus mengelola tambang, dengan potensi dampak negatif bagi lingkungan dan sosial.
- Revisi UU Minerba disahkan, JATAM sebut DPR panggung sirkus bisnisRevisi UU Minerba yang baru disahkan oleh DPR RI menuai kecaman dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang menilai proses legislasi tersebut terburu-buru, tidak transparan, dan hanya mengakomodasi kepentingan bisnis pertambangan.
- Potensi korupsi atau moral hazard jika kampus diberikan izin tambangMeski kampus memiliki jurusan pertambangan, upaya pemberian izin tambang sebagai bentuk korporatisme baru pemerintah kepada pihak kampus.
- Kampus garap tambang, risiko tinggi bagi intelektualitasKampus bisa dianggap menyimpang dari tujuan awalnya sebagai institusi pendidikan dan penelitian.
- Tuntutan akses air bersih di Makassar terus bergulirKoalisi GEMAH dan Departemen Ilmu Administrasi UNHAS seminar bahas krisis dan ketidakadilan atas akses air bersih di utara Kota Makassar.