Yayasan KEHATI dan FDKI mendorong revisi UU Kehutanan yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk mengatasi deforestasi, konflik agraria, dan perlindungan masyarakat adat.
Rencana DPR merevisi Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi peluang untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia. Oleh karena itu, revisi ini harus disusun secara holistik, progresif, dan partisipatif agar dapat menjawab tantangan ekologi, sosial, dan ekonomi saat ini.
Sebagai upaya mendorong revisi yang lebih komprehensif, Yayasan KEHATI dan Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menavigasi Rencana Revisi UU Kehutanan” pada 18 Maret 2025 di Jakarta. FGD ini dihadiri oleh dua anggota Komisi IV DPR, enam pakar hukum dan lingkungan hidup dari berbagai perguruan tinggi, serta lebih dari 200 perwakilan organisasi masyarakat sipil. Diskusi ini membahas kelemahan UU Kehutanan saat ini dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang lebih relevan.
Koordinator FDKI, Muhamad Burhanudin, menekankan bahwa UU No. 41 Tahun 1999 telah menjadi dasar tata kelola hutan selama lebih dari dua dekade, tetapi perlu diperbarui agar sesuai dengan tantangan terbaru. Dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan lebih dari 33,9 juta hektare hutan, dengan deforestasi mencapai 28,04 juta hektare dalam dua dekade terakhir.
Alih fungsi lahan yang masif juga menyebabkan Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di sektor kehutanan, dengan rata-rata 930 juta ton CO₂ per tahun. Sayangnya, lemahnya sanksi hukum membuat banyak pelanggaran kehutanan tidak ditindak secara tegas.
Anggota FDKI dari Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Prayoga, menambahkan bahwa UU Kehutanan telah beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), terutama terkait hak masyarakat adat, legalitas kawasan hutan, dan perlindungan terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan. Putusan MK 35 Tahun 2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, harus menjadi pertimbangan utama dalam revisi UU ini.
Ketidaksesuaian dengan kondisi dan tantangan kehutanan saat ini, termasuk dampak perubahan iklim, deforestasi, degradasi hutan, dan meningkatnya konflik agrarian juga menjadi catatan terkait UU 41 Tahun 1999. Selain itu, tumpang tindih regulasi dengan UU lain, seperti UU Cipta Kerja, juga turut memengaruhi tata kelola kehutanan.
“Belum maksimalnya perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal, yang sering kali kesulitan memperoleh pengakuan atas hak mereka di dalam dan sekitar hutan, bahkan mengalami kriminalisasi, menjadi catatan buruk yang harus dicarikan solusi dalam UU yang baru. Putusan MK 35 Tahun 2012 harus menjadi pertimbangan dalam UU Kehutanan yang baru,” ujar Anggi yang kini menjabat sebagai Juru Kampanye FWI.
Tata kelola kehutanan di Indonesia masih menghadapi tantangan transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam perizinan dan pengawasan. Kasus ilegal logging, perambahan hutan, dan pembakaran lahan terus terjadi akibat lemahnya penegakan hukum. Regulasi yang tidak cukup ketat juga memungkinkan eksploitasi sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan, termasuk ekspansi perkebunan dan pertambangan skala besar.
Dengan revisi UU Kehutanan yang lebih inklusif dan berbasis keberlanjutan, Indonesia dapat melindungi ekosistem hutan, memperkuat hak-hak masyarakat adat, serta memastikan pembangunan yang tidak mengorbankan kelestarian alam. “Revisi ini harus menjadi momentum perbaikan fundamental bagi kebijakan kehutanan Indonesia agar lebih berkeadilan dan berkelanjutan,” tutup Ayut Enggeliah dari Sawit Watch Indonesia.
- Laut, Identitas yang Terancam Tambang Emas di Sangihe
- Menanti keberhasilan rehabilitasi macan tutul
- Menguatkan pemenuhan hak atas tanah warga Sulawesi Tenggara melalui pendidikan
- Persidangan gugatan warga terhadap perusahaan pemicu kabut asap terus bergulir
- Menangkarkan kodok darah: upaya menambah indikator kesehatan lingkungan