Kriminalisasi terhadap Pembela Masyarakat Adat dan Petani sebagai upaya pelemahan perjuangan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban.

Setelah digusur kini limabelas Masyarakat Adat di Desa Nangahale, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memperjuangkan tanah adatnya menjadi target kriminalisasi Keuskupan Maumere dan Kepolisian Daerah NTT. Tidak hanya itu bahkan penasihat hukum para masyarakat adat juga hendak dipenjarakan. Upaya kriminalisasi ini dilakukan demi memuluskan perampasan tanah adat yang diklaim oleh Keuskupan Maumere melalui PT. Kristus Raja Maumere (PT Krisrama).
Pada 21 Maret 2025, John Bala selaku Penasihat Hukum para Masyarakat Adat telah dilaporkan ke Ditkrimum Polda NTT atas dugaan tindak penyerobotan tanah tanpa izin sebagaimana dalam surat penerimaan laporan Polda NTT STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT. Pelaporan ini dilakukan oleh Ephivanus Markus Nale Rimo – Dosen dan Kuasa Hukum PT. Krisrama.
Laporan oleh Kuasa Hukum PT. Krisrama. terhadap John Bala merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap Pembela Masyarakat Adat dan Petani sebagai upaya pelemahan perjuangan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban dan perlawanan hukum terhadap Putusan Pengadilan Negeri Maumere dengan Nomor Perkara 1/Pid.B/2025/PN.Mme yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap 8 (delapan) orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut, dimana John Balla sebagai kuasa hukumnya.
“Dilaporkannya John Bala sebagai Kuasa Hukum Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut adalah bentuk upaya kriminalisasi kepada Advokat Pembela Masyarakat Adat. Jika kapolda NTT benar-benar memahami hukum, harusnya dia tidak memproses laporan dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kementerian ATR/BPN RI adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas konflik yang terjadi antara Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge dan PT. Krisrama. Sebab, selama konflik ini tidak diselesaikan, selama itu juga akan banyak Masyarakat Adat yang akan menjadi korban kriminalisasi, bahkan kekerasan,” ungkap Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam keterangan resmi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa seorang Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Sebagai informasi, konflik antara Masyarakat Adat dengan PT. Krisrama telah lama terjadi. Kasus ini bermula ketika perusahaan Belanda yaitu Amsterdam Soenda Compagni memperoleh Hak Erfpacht melalui perampasan tanah, namun dilegitimasi oleh Surat Keputusan Residen Timor en Onder Hoorigheden tertanggal 11 September 1912 No. 264, seluas ± 1.483 Ha untuk penanaman kapas dan kelapa, yang sesuai ketentuan saat itu berlaku hingga 1987 atau berlaku selama 75 tahun.
Perkebunan yang diperoleh dari penggusuran wilayah adat oleh perusahaan Belanda ini dijual sepihak kepada Aposttholishe Vicariaad van de Klaine Soenda Ellanden (Perwakilan Gereja Katolik Roma di wilayah misionaris dan negara yang belum memiliki keuskupan). Apostolik Vikariat mengembalikan sebagian tanah kepada pemerintah karena tidak produktif. Lantas Vikariat Apostolik Ende melalui Surat No. 981/V/56, tertanggal 16 Desember 1956, mengajukan permohonan kepada Pemerintah Swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian Hak Erpacht di Nangahale seluas ± 783 Ha. Permohonan tersebut disetujui oleh Pemerintah Swapraja Sikka dengan Surat Keputusan tanggal 18 Desember 1956, No. 63/DPDS. Alasan pengembalian ialah karena bagian tersebut diperuntukan bagi pemukiman masyarakat dan diusahakan oleh masyarakat yakni dari batas sekarang di sebelah timur sampe dengan Kantor Camat Talibura. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Kampung Baru Watubaing Talibura.
Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah pada saat itu sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Dimana dalam Pasal 4, diatur bahwa: Tanah- tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh Rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada Rakyat yang mendudukinya.
Dari fakta hukum di atas, sesungguhnya Kementerian ATR/BPN tidak cermat ketika menerbitkan (Hak Guna Usaha) pada tahun 1989 seluas 879 hektar yang habis masa berlakunya pada Desember 2013 silam. Karena sejak tahun 2011 hingga 2019 Kementerian ATR/BPN sendiri sudah memasukannya ke dalam database tanah terlantar. Seharusnya segera ditindaklanjuti dengan menetapkannya sebagai tanah yang akan dikembalikan kepada Masyarakat Adat.
“Bahkan penerbitan HGU pada tahun 2023 lalu pun sengaja dilakukan dengan melanggar pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri. Penguasaan tanah adalah salah satu syarat memperoleh HGU, meski PT. Krisrama tidak menguasai tanah BPN tetap mengeluarkan HGU. Lebih parahnya BPN sendiri tidak pernah berhasil melakukan pengukuran ulang atas bekas HGU PT. Krisrama. Sehingga sepuluh bidang HGU PT. Krisrama sebenarnya dapat dicabut oleh Kementerian ATR/BPN,“ Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA).
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, Kami Konsorsium Pembaruan Agraria dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mendesak agar:
Kapolda NTT untuk tidak menindaklanjuti laporan No.STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT yang dilaporkan Ephivanus Markus Nale Rimo dan Kuasa Hukum PT. Krisrama;
Kapolda NTT beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut;
Bupati Kabupaten Sikka untuk tegas memimpin penyelesaian konflik agraria dan menjaga keamanan para masyarakat adat di Desa Nangahale;
Menteri ATR/BPN RI untuk segera membatalkan pemberian HGU PT. Krisrama yang diterbitkan dengan cara-cara yang melanggar hukum sekaligus mengembalikan tanah kepada Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge; dan
Menteri ATR/BPN segera meredistribusikan tanah-tanah terlantar yang mencapai 7 juta hektar untuk petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
- Laut, Identitas yang Terancam Tambang Emas di SangiheAktivitas tambang emas yang mulai beroperasi di pulau kecil Sangihe mengubah kehidupan masyarakat. Pola hidup warga terganggu.
- Menanti keberhasilan rehabilitasi macan tutulPredator terbesar di Pulau Jawa, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) masih dalam status ‘terancam punah’
- Menguatkan pemenuhan hak atas tanah warga Sulawesi Tenggara melalui pendidikanKPA dan ForSDa Gelar Pendidikan Kader di Kolaka, Sulawesi Tenggara di tengah ketimpangan kepemilikan tanah.
- Persidangan gugatan warga terhadap perusahaan pemicu kabut asap terus bergulirHakim persidangan didesak tidak hanya menghukum para tergugat, tetapi memerintahkan pemulihan lahan gambut yang rusak karena terbakar.
- Menangkarkan kodok darah: upaya menambah indikator kesehatan lingkunganTaman Safari Indonesia menangkarkan kodok darah. Amfibi ini masuk dalam kategori kritis atau critically endangered menurut lembaga konservasi alam internasional, IUCN.
- Pergerakan magma dan kaitannya dengan bencana vulkanikDiperlukan metode analisis kimia beresolusi tinggi untuk memahami pergerakan magma dari dalam bumi hingga menimbulkan bencana vulkanik.