Kisah dari Sulawesi dan Maluku Utara ini menyingkap kontradiksi fundamental narasi global transisi energi lewat kendaraan listrik

Kendaraan listrik (EV) semakin mendominasi percakapan global tentang masa depan transportasi yang berkelanjutan. Dipromosikan sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan udara perkotaan yang lebih bersih, citra “hijau” kendaraan listrik begitu memikat. Namun, di balik narasi kemajuan teknologi dan energi bersih ini, tersembunyi sebuah realitas yang jauh lebih kelam. Realitas ini berpusat di Indonesia, negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, logam krusial untuk baterai EV. 

Di pulau Sulawesi dan kepulauan Maluku Utara, jantung industri nikel Indonesia, penambangan besar-besaran untuk memenuhi permintaan global ini meninggalkan jejak kehancuran lingkungan dan penderitaan manusia yang mendalam. 

Demam kendaraan listrik global telah memicu lonjakan permintaan nikel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Nikel, terutama nikel kelas 1 dengan kemurnian tinggi, adalah komponen vital dalam baterai lithium-ion jenis NCA (nickel cobalt aluminium) dan NMC (nickel manganese cobalt) yang menggerakkan sebagian besar EV saat ini. 

Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar, Indonesia menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global. Pemerintah Indonesia, dengan ambisi menjadikan negara ini pusat industri baterai kendaraan listrik dunia, mendorong kebijakan hilirisasi – mewajibkan pengolahan bijih nikel mentah di dalam negeri sebelum diekspor, melalui larangan ekspor bijih mentah sejak Januari 2020.

Kebijakan ini memicu gelombang investasi besar-besaran dalam pembangunan pabrik pengolahan (smelter) dan perluasan area pertambangan, terutama di Sulawesi dan Maluku Utara.1 Kala itu, Presiden Joko Widodo mengklaim peningkatan jumlah smelter ini membuka peluang kerja yang signifikan.2 Skala ekspansi ini terlihat jelas dari data perizinan. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat, hingga akhir 2021 saja, di tiga provinsi utama Sulawesi (Selatan, Tengah, Tenggara), telah diterbitkan 295 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dengan total luas mencapai 690.442 hektar. Angka ini menunjukkan betapa masifnya alokasi lahan untuk industri ekstraktif ini. Namun, ledakan tambang dan industri pengolahan ini membawa konsekuensi pahit yang ironisnya bertolak belakang dengan narasi “energi bersih” yang digaungkan.

Lingkungan yang terluka parah

Janji masa depan yang lebih hijau melalui mobil listrik tampak suram jika melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di hulu rantai pasoknya. Ekspansi industri nikel di Sulawesi dan Maluku Utara telah menimbulkan luka mendalam pada ekosistem darat dan laut.

Hutan hujan tropis di Sulawesi dan Maluku Utara, yang merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati endemik dan berfungsi sebagai paru-paru bumi, menjadi korban utama. Aktivitas penambangan nikel, yang seringkali dimulai dengan pembukaan lahan skala besar, telah menyebabkan deforestasi yang mengkhawatirkan. Analisis Auriga Nusantara menunjukkan tren peningkatan luas lubang tambang nikel sejak 2011.

Secara kumulatif antara tahun 2000 dan 2022, pertambangan nikel telah menyebabkan hilangnya sekitar 24.811 hektar hutan di Indonesia, dengan deforestasi terbesar terjadi pada tahun 2012 yang mencapai hampir 4.000 hektar. Laporan terbaru Auriga pada tahun 2024 mengindikasikan bahwa deforestasi terus berlanjut, bahkan terjadi di dalam kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi hukum dan di pulau-pulau kecil yang rentan.

Aliansi Sulawesi, sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil, mengamini temuan ini. Mereka menyatakan bahwa aktivitas tambang nikel yang “brutal” untuk memasok ore ke smelter telah secara langsung menghancurkan hutan dan habitat flora fauna endemik Sulawesi. Lebih jauh, mereka menyoroti bagaimana pemerintah justru memfasilitasi perusakan ini dengan menerbitkan izin tambang di dalam kawasan hutan. 

Berdasarkan catatan mereka, terdapat 188 IUP nikel yang tumpang tindih dengan kawasan hutan seluas 372.428 hektar di Luwu Timur (Sulsel), Konawe dan Konawe Utara (Sultra), serta Morowali dan Morowali Utara (Sulteng). Pernyataan Aliansi Sulawesi menegaskan, “Akibatnya, hutan dirusak… habitat flora dan fauna sulawesi dihancurkan.”.

Contoh spesifik terjadi di Pulau Gebe, Maluku Utara, sebuah pulau kecil seluas sekitar 22.000 hektar, di mana lebih dari 1.065 hektar hutan telah hilang antara 2001-2023, sementara luas konsesi nikel mencapai 5.225 hektar, sebagian tumpang tindih dengan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.

Kerusakan hutan ini tidak hanya berarti hilangnya keanekaragaman hayati yang tak ternilai, tetapi juga melemahkan kemampuan bumi menyerap karbon dioksida, ironisnya memperburuk krisis iklim yang coba diatasi oleh transisi energi. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa deforestasi ini bukanlah kecelakaan, melainkan konsekuensi sistemik dari kebijakan yang memprioritaskan ekstraksi nikel di atas kelestarian lingkungan, bahkan di kawasan yang seharusnya dilindungi. 

Kerentanan pulau-pulau kecil seperti Gebe terhadap dampak pertambangan skala besar juga menjadi perhatian khusus, mengingat kapasitas ekosistemnya yang terbatas untuk pulih, membuat kerusakan yang terjadi berpotensi permanen dan dampaknya jauh lebih parah dibandingkan di daratan yang lebih luas.

Air sungai dan laut menjerit

Dampak destruktif industri nikel tidak berhenti di daratan; ia mengalir bersama air, mencemari sungai, danau, hingga lautan luas, menghancurkan sumber kehidupan masyarakat. Aktivitas penambangan, terutama yang dilakukan di daerah perbukitan atau lereng curam, menghasilkan sejumlah besar material galian dan lumpur. Ketika hujan turun, material ini dengan mudah terbawa aliran air, mencemari sungai-sungai yang menjadi sumber air minum dan kebutuhan domestik warga.

Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, WALHI Sulsel mendokumentasikan bagaimana aktivitas PT Citra Lampia Mandiri (CLM) telah mencemari Sungai Laoili, Pongkeru, hingga Sungai Malili. Air sungai berubah warna menjadi coklat pekat dan berlumpur. 

Menurut kesaksian warga Desa Lampia, pencemaran ini mulai terjadi sejak perusahaan mulai menambang nikel di hutan, dan mereka tidak pernah diajak berkonsultasi atau diberi informasi mengenai pengelolaan lingkungan perusahaan. Protes warga pada tahun 2019 menuntut penghentian aktivitas tambang di hutan akibat pencemaran sungai yang mereka manfaatkan. Pencemaran ini tidak hanya terjadi karena aliran permukaan, tetapi juga akibat jebolnya kolam pengendapan (settling pond) perusahaan saat curah hujan tinggi.

Lumpur pencemar ini tidak berhenti di sungai; ia terus mengalir hingga ke laut. Investigasi WALHI Sulsel menemukan pencemaran parah di pesisir Laut Lampia, Luwu Timur, yang juga berada di area konsesi PT CLM. Endapan lumpur tambang telah merusak ekosistem pesisir yang vital. Para nelayan Lampia melaporkan bahwa terumbu karang dan biota laut seperti spongia banyak yang mati akibat tertimbun lumpur. Ekosistem mangrove di Pesisir Lampia juga mengalami penurunan kualitas, merusak habitat kepiting dan ikan baronang, yang kini semakin sulit ditemukan nelayan.

Pola serupa terjadi di wilayah lain. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, warga melaporkan bagaimana aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, telah menyebabkan air laut di pesisir Desa Roko-roko menjadi keruh kecoklatan setiap kali hujan turun. 

Wawan, seorang warga, menyatakan, “Setiap hujan, pasti keruh karena air bercampur lumpur dari sungai dibawa hingga ke laut. Berulang-ulang terus, jadi ada endapan lumpur di laut.”. Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan. 

Darson, warga lainnya, bersaksi tentang hilangnya jenis ikan lokal bernama ‘Lompa’ dari Sungai Roko-roko sejak tambang beroperasi. Gudang penyimpanan ore nikel PT GKP yang terletak tepat di bibir pantai juga dilaporkan merusak area budidaya rumput laut warga karena tumpahan ore ke laut.

Di Sulawesi Tengah, WALHI menemukan kerusakan hutan mangrove sedalam 2 hingga 6 meter akibat endapan lumpur di Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, yang berimplikasi pada hilangnya fungsi ekologis mangrove. Aliansi Sulawesi bahkan melaporkan temuan adanya pencemaran logam berat jenis Kromium Heksavalen yang melebihi ambang batas baku mutu di beberapa sungai dan danau di Sulawesi, menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan.

Di Maluku Utara, situasinya tidak kalah memprihatinkan. Di Pulau Obi, aktivis lingkungan Upiawan Umar melaporkan bahwa sumber air warga Kawasi, termasuk Air Terjun dan Sungai Toduku, tercemar limpahan ore nikel. Magdalena Johanes, seorang perempuan warga Kawasi, menguatkan hal ini: “Sekarang, so tara bisa [minum]. Aer itu so kotor.”. Sungai Toduku yang dulu jernih kini dipenuhi sedimentasi, dan upaya perusahaan menyedot sedimen justru mengubah bentuk alami sungai. 

Di Halmahera, Sungai Sangaji di Maba dan perairan Teluk Weda serta Teluk Buli juga dilaporkan tercemar. Pada akhir 2023, laut di Halmahera Timur berubah warna menjadi kuning kecoklatan akibat material ore nikel, membuat nelayan setempat tidak bisa lagi menangkap ikan. Sungai Sagea di Halmahera Tengah juga mengalami nasib serupa, berubah warna kuning kecoklatan sejak Juli 2023. 

Kesaksian nelayan dari Pulau Obi, Sanusi, menggambarkan dampak langsungnya: “Tong pe jaring buang kalao [ke pesisir laut] bukan dapa ikan, tapi dapa lumpur.”. Pencemaran ini begitu parah hingga warga seperti Mardani Legayelol di Teluk Weda merasa khawatir mengonsumsi ikan tangkapan lokal.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan hilangnya kawasan perikanan penting seperti Tanjung Uli dan Teluk Gemaf di Halmahera Tengah akibat limbah tambang.

Rangkaian bukti dari berbagai lokasi ini menunjukkan pola yang konsisten: aktivitas penambangan nikel secara sistematis mencemari aliran air dari hulu hingga ke hilir. Kegagalan dalam pengelolaan limbah dan sedimen di lokasi tambang, seperti jebolnya kolam pengendapan atau penempatan stok ore yang tidak aman, menyebabkan polutan mengalir bebas ke sungai dan akhirnya ke laut. 

Proses ini secara langsung menghancurkan layanan ekosistem vital yang menjadi sandaran hidup masyarakat lokal: sumber air bersih untuk minum dan kebutuhan sehari-hari, lahan subur di bantaran sungai, serta perairan pesisir dan laut yang menjadi lumbung ikan dan biota laut lainnya. Kehancuran ekosistem ini adalah kehancuran fondasi kehidupan masyarakat.

Kontradiksi revolusi ‘hijau’

Kisah dari Sulawesi dan Maluku Utara ini pada akhirnya menyingkap sebuah kontradiksi fundamental dalam narasi global tentang transisi menuju energi bersih. Dorongan masif untuk mengadopsi kendaraan listrik sebagai solusi perubahan iklim ternyata memicu praktik-praktik kotor di hulu rantai pasoknya, merusak lingkungan secara parah dan menimbulkan ketidakadilan sosial yang mendalam di negara-negara sumber bahan baku seperti Indonesia.

Ironi pertama terletak pada jejak karbon industri nikel itu sendiri. Meskipun mobil listrik bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, proses produksi baterainya, khususnya peleburan nikel di Indonesia, sangat bergantung pada energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara captive. PLTU-PLTU ini dibangun khusus untuk menyuplai listrik ke smelter-smelter nikel. 

Laporan PRAKARSA menyebutkan total kapasitas PLTU Captive untuk smelter nikel mencapai 7,2 GW pada tahun 2023, dengan tambahan 10 GW lagi dalam tahap pembangunan atau pra-pembangunan. Penggunaan batubara secara masif ini – bahan bakar fosil paling kotor – untuk memproduksi komponen kunci ‘energi bersih’ adalah sebuah paradoks yang mencolok. Hal ini menciptakan ‘celah karbon’ yang signifikan dalam siklus hidup kendaraan listrik, menggerus klaim keberlanjutannya dan sekadar memindahkan beban emisi dari jalan raya ke cerobong asap pabrik di negara lain.

Ironi kedua adalah kontras antara citra ‘hijau’ dan dampak sosial-lingkungan yang nyata di lapangan. Seperti yang telah dipaparkan secara rinci, ambisi hilirisasi nikel untuk mendukung transisi energi telah dibayar mahal dengan deforestasi skala besar, pencemaran air dan laut yang merusak ekosistem dan mata pencaharian, konflik lahan yang sengit, penggusuran masyarakat adat dari tanah leluhur mereka, serta krisis kesehatan akibat polusi. Narasi indah tentang transisi ‘hijau’ global seolah mengabaikan atau sengaja menutup mata terhadap penderitaan dan kehancuran yang terjadi di tingkat lokal, di tempat bahan baku itu digali.

Lebih jauh, relevansi strategi hilirisasi nikel Indonesia dalam konteks transisi energi global juga mulai dipertanyakan. Sebagian besar produk nikel Indonesia saat ini masih berupa Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferro Nickel (FeNi) yang digunakan untuk industri baja tahan karat, bukan nikel kelas 1 yang dibutuhkan untuk baterai EV. Sementara itu, tren global menunjukkan pergeseran menuju jenis baterai lain seperti Lithium Ferro Phosphate (LFP) yang tidak memerlukan nikel sama sekali, berpotensi menekan permintaan nikel kelas baterai di masa depan. Produksi nikel Indonesia yang masif juga telah menyebabkan oversupply di pasar global, menekan harga nikel dan berpotensi mengurangi keuntungan ekonomi yang diharapkan.

Semua ini menunjukkan bahwa model transisi energi yang saat ini berjalan cenderung melakukan ‘pemindahan masalah’ (problem shifting) ketimbang ‘penyelesaian masalah’ (problem solving). Beban lingkungan dan sosial dari konsumsi energi ‘bersih’ di negara-negara maju dieksternalisasi ke negara-negara produsen di Selatan Global seperti Indonesia. Kelompok masyarakat yang paling rentan – masyarakat adat, petani kecil, nelayan, perempuan – adalah pihak yang menanggung beban terberat: ruang hidup mereka hancur, sumber daya vital mereka tercemar, kesehatan mereka terancam, dan ketidaksetaraan semakin dalam. Ini memunculkan dilema etika dan lingkungan yang kompleks: apakah kita rela membangun masa depan ‘bersih’ dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat di belahan bumi lain?

Kilau mobil listrik yang menjanjikan masa depan lebih hijau ternyata menyimpan sisi gelap yang tersembunyi di tanah nikel Indonesia. Laporan ini, diperkuat oleh suara-suara dari para pegiat lingkungan dan kesaksian langsung warga terdampak di Sulawesi dan Maluku Utara, mengungkap sebuah realitas pahit di balik ambisi transisi energi global. Ledakan penambangan nikel untuk memenuhi permintaan baterai dunia telah memicu kerusakan lingkungan yang parah: hutan-hutan lenyap, sungai dan laut tercemar berat oleh limbah tambang, ekosistem vital hancur.

Manusia di lingkar tambang pun menjadi korban. Konflik lahan merajalela, penggusuran paksa terjadi, dan perlawanan warga tak jarang dihadapi dengan kriminalisasi. Masyarakat adat, yang hidupnya menyatu dengan tanah leluhur, menghadapi ancaman kehilangan identitas dan budaya. Kesehatan warga terganggu oleh polusi udara, dengan lonjakan kasus penyakit pernapasan seperti ISPA menjadi bukti nyata. Ironisnya, kekayaan sumber daya alam yang melimpah ini gagal menyejahterakan masyarakat lokal; paradoks ekonomi menunjukkan pertumbuhan regional yang tinggi berjalan seiring dengan kemiskinan yang menetap atau bahkan meningkat.

Semua ini terjadi dalam konteks tata kelola yang lemah, di mana pengawasan pemerintah dipertanyakan, akuntabilitas perusahaan minim, dan kerangka hukum seperti UU Minerba justru dinilai semakin melemahkan posisi masyarakat dan lingkungan. Kontradiksi paling mendasar terletak pada kenyataan bahwa revolusi ‘hijau’ ini ditenagai oleh praktik ekstraksi yang kotor, bahkan bergantung pada energi batubara yang intensif karbon, serta mengorbankan hak dan kesejahteraan kelompok masyarakat yang paling rentan.

Kisah dari tanah nikel Indonesia ini adalah pengingat keras bahwa transisi energi tidak boleh hanya berfokus pada solusi teknologi di hilir. Ia harus dilihat secara holistik, dari hulu hingga hilir, dengan mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia di setiap mata rantainya. Diperlukan perubahan paradigma mendasar: penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan adat termasuk hak atas persetujuan tanpa paksaan (FPIC), penerapan standar Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) yang ketat bagi perusahaan, serta evaluasi ulang kebijakan hilirisasi agar benar-benar membawa manfaat yang adil dan berkelanjutan bagi rakyat Indonesia. 

Konsumen dan pembuat kebijakan global juga memiliki tanggung jawab untuk menuntut transparansi dan etika dalam rantai pasok baterai, memastikan bahwa perjalanan menuju masa depan yang lebih bersih tidak dibangun di atas penderitaan dan kehancuran di tempat lain. Hanya dengan demikian, transisi energi dapat benar-benar disebut adil dan berkelanjutan untuk semua.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.