Kisah dari Sulawesi dan Maluku Utara ini menyingkap kontradiksi fundamental narasi global transisi energi lewat kendaraan listrik
Kendaraan listrik (EV) semakin mendominasi percakapan global tentang masa depan transportasi yang berkelanjutan. Dipromosikan sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan udara perkotaan yang lebih bersih, citra “hijau” kendaraan listrik begitu memikat. Namun, di balik narasi kemajuan teknologi dan energi bersih ini, tersembunyi sebuah realitas yang jauh lebih kelam. Realitas ini berpusat di Indonesia, negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, logam krusial untuk baterai EV.
Di pulau Sulawesi dan kepulauan Maluku Utara, jantung industri nikel Indonesia, penambangan besar-besaran untuk memenuhi permintaan global ini meninggalkan jejak kehancuran lingkungan dan penderitaan manusia yang mendalam.
Demam kendaraan listrik global telah memicu lonjakan permintaan nikel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Nikel, terutama nikel kelas 1 dengan kemurnian tinggi, adalah komponen vital dalam baterai lithium-ion jenis NCA (nickel cobalt aluminium) dan NMC (nickel manganese cobalt) yang menggerakkan sebagian besar EV saat ini.
Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar, Indonesia menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global. Pemerintah Indonesia, dengan ambisi menjadikan negara ini pusat industri baterai kendaraan listrik dunia, mendorong kebijakan hilirisasi – mewajibkan pengolahan bijih nikel mentah di dalam negeri sebelum diekspor, melalui larangan ekspor bijih mentah sejak Januari 2020.
Kebijakan ini memicu gelombang investasi besar-besaran dalam pembangunan pabrik pengolahan (smelter) dan perluasan area pertambangan, terutama di Sulawesi dan Maluku Utara.1 Kala itu, Presiden Joko Widodo mengklaim peningkatan jumlah smelter ini membuka peluang kerja yang signifikan.2 Skala ekspansi ini terlihat jelas dari data perizinan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat, hingga akhir 2021 saja, di tiga provinsi utama Sulawesi (Selatan, Tengah, Tenggara), telah diterbitkan 295 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dengan total luas mencapai 690.442 hektar. Angka ini menunjukkan betapa masifnya alokasi lahan untuk industri ekstraktif ini. Namun, ledakan tambang dan industri pengolahan ini membawa konsekuensi pahit yang ironisnya bertolak belakang dengan narasi “energi bersih” yang digaungkan.
Lingkungan yang terluka parah
Janji masa depan yang lebih hijau melalui mobil listrik tampak suram jika melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di hulu rantai pasoknya. Ekspansi industri nikel di Sulawesi dan Maluku Utara telah menimbulkan luka mendalam pada ekosistem darat dan laut.
Hutan hujan tropis di Sulawesi dan Maluku Utara, yang merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati endemik dan berfungsi sebagai paru-paru bumi, menjadi korban utama. Aktivitas penambangan nikel, yang seringkali dimulai dengan pembukaan lahan skala besar, telah menyebabkan deforestasi yang mengkhawatirkan. Analisis Auriga Nusantara menunjukkan tren peningkatan luas lubang tambang nikel sejak 2011.
Secara kumulatif antara tahun 2000 dan 2022, pertambangan nikel telah menyebabkan hilangnya sekitar 24.811 hektar hutan di Indonesia, dengan deforestasi terbesar terjadi pada tahun 2012 yang mencapai hampir 4.000 hektar. Laporan terbaru Auriga pada tahun 2024 mengindikasikan bahwa deforestasi terus berlanjut, bahkan terjadi di dalam kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi hukum dan di pulau-pulau kecil yang rentan.
Aliansi Sulawesi, sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil, mengamini temuan ini. Mereka menyatakan bahwa aktivitas tambang nikel yang “brutal” untuk memasok ore ke smelter telah secara langsung menghancurkan hutan dan habitat flora fauna endemik Sulawesi. Lebih jauh, mereka menyoroti bagaimana pemerintah justru memfasilitasi perusakan ini dengan menerbitkan izin tambang di dalam kawasan hutan.
Berdasarkan catatan mereka, terdapat 188 IUP nikel yang tumpang tindih dengan kawasan hutan seluas 372.428 hektar di Luwu Timur (Sulsel), Konawe dan Konawe Utara (Sultra), serta Morowali dan Morowali Utara (Sulteng). Pernyataan Aliansi Sulawesi menegaskan, “Akibatnya, hutan dirusak… habitat flora dan fauna sulawesi dihancurkan.”.
Contoh spesifik terjadi di Pulau Gebe, Maluku Utara, sebuah pulau kecil seluas sekitar 22.000 hektar, di mana lebih dari 1.065 hektar hutan telah hilang antara 2001-2023, sementara luas konsesi nikel mencapai 5.225 hektar, sebagian tumpang tindih dengan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.
Kerusakan hutan ini tidak hanya berarti hilangnya keanekaragaman hayati yang tak ternilai, tetapi juga melemahkan kemampuan bumi menyerap karbon dioksida, ironisnya memperburuk krisis iklim yang coba diatasi oleh transisi energi. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa deforestasi ini bukanlah kecelakaan, melainkan konsekuensi sistemik dari kebijakan yang memprioritaskan ekstraksi nikel di atas kelestarian lingkungan, bahkan di kawasan yang seharusnya dilindungi.
Kerentanan pulau-pulau kecil seperti Gebe terhadap dampak pertambangan skala besar juga menjadi perhatian khusus, mengingat kapasitas ekosistemnya yang terbatas untuk pulih, membuat kerusakan yang terjadi berpotensi permanen dan dampaknya jauh lebih parah dibandingkan di daratan yang lebih luas.
Air sungai dan laut menjerit
Dampak destruktif industri nikel tidak berhenti di daratan; ia mengalir bersama air, mencemari sungai, danau, hingga lautan luas, menghancurkan sumber kehidupan masyarakat. Aktivitas penambangan, terutama yang dilakukan di daerah perbukitan atau lereng curam, menghasilkan sejumlah besar material galian dan lumpur. Ketika hujan turun, material ini dengan mudah terbawa aliran air, mencemari sungai-sungai yang menjadi sumber air minum dan kebutuhan domestik warga.
Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, WALHI Sulsel mendokumentasikan bagaimana aktivitas PT Citra Lampia Mandiri (CLM) telah mencemari Sungai Laoili, Pongkeru, hingga Sungai Malili. Air sungai berubah warna menjadi coklat pekat dan berlumpur.
Menurut kesaksian warga Desa Lampia, pencemaran ini mulai terjadi sejak perusahaan mulai menambang nikel di hutan, dan mereka tidak pernah diajak berkonsultasi atau diberi informasi mengenai pengelolaan lingkungan perusahaan. Protes warga pada tahun 2019 menuntut penghentian aktivitas tambang di hutan akibat pencemaran sungai yang mereka manfaatkan. Pencemaran ini tidak hanya terjadi karena aliran permukaan, tetapi juga akibat jebolnya kolam pengendapan (settling pond) perusahaan saat curah hujan tinggi.
Lumpur pencemar ini tidak berhenti di sungai; ia terus mengalir hingga ke laut. Investigasi WALHI Sulsel menemukan pencemaran parah di pesisir Laut Lampia, Luwu Timur, yang juga berada di area konsesi PT CLM. Endapan lumpur tambang telah merusak ekosistem pesisir yang vital. Para nelayan Lampia melaporkan bahwa terumbu karang dan biota laut seperti spongia banyak yang mati akibat tertimbun lumpur. Ekosistem mangrove di Pesisir Lampia juga mengalami penurunan kualitas, merusak habitat kepiting dan ikan baronang, yang kini semakin sulit ditemukan nelayan.
Pola serupa terjadi di wilayah lain. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, warga melaporkan bagaimana aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, telah menyebabkan air laut di pesisir Desa Roko-roko menjadi keruh kecoklatan setiap kali hujan turun.
Wawan, seorang warga, menyatakan, “Setiap hujan, pasti keruh karena air bercampur lumpur dari sungai dibawa hingga ke laut. Berulang-ulang terus, jadi ada endapan lumpur di laut.”. Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan.
Darson, warga lainnya, bersaksi tentang hilangnya jenis ikan lokal bernama ‘Lompa’ dari Sungai Roko-roko sejak tambang beroperasi. Gudang penyimpanan ore nikel PT GKP yang terletak tepat di bibir pantai juga dilaporkan merusak area budidaya rumput laut warga karena tumpahan ore ke laut.
Di Sulawesi Tengah, WALHI menemukan kerusakan hutan mangrove sedalam 2 hingga 6 meter akibat endapan lumpur di Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, yang berimplikasi pada hilangnya fungsi ekologis mangrove. Aliansi Sulawesi bahkan melaporkan temuan adanya pencemaran logam berat jenis Kromium Heksavalen yang melebihi ambang batas baku mutu di beberapa sungai dan danau di Sulawesi, menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan.
Di Maluku Utara, situasinya tidak kalah memprihatinkan. Di Pulau Obi, aktivis lingkungan Upiawan Umar melaporkan bahwa sumber air warga Kawasi, termasuk Air Terjun dan Sungai Toduku, tercemar limpahan ore nikel. Magdalena Johanes, seorang perempuan warga Kawasi, menguatkan hal ini: “Sekarang, so tara bisa [minum]. Aer itu so kotor.”. Sungai Toduku yang dulu jernih kini dipenuhi sedimentasi, dan upaya perusahaan menyedot sedimen justru mengubah bentuk alami sungai.
Di Halmahera, Sungai Sangaji di Maba dan perairan Teluk Weda serta Teluk Buli juga dilaporkan tercemar. Pada akhir 2023, laut di Halmahera Timur berubah warna menjadi kuning kecoklatan akibat material ore nikel, membuat nelayan setempat tidak bisa lagi menangkap ikan. Sungai Sagea di Halmahera Tengah juga mengalami nasib serupa, berubah warna kuning kecoklatan sejak Juli 2023.
Kesaksian nelayan dari Pulau Obi, Sanusi, menggambarkan dampak langsungnya: “Tong pe jaring buang kalao [ke pesisir laut] bukan dapa ikan, tapi dapa lumpur.”. Pencemaran ini begitu parah hingga warga seperti Mardani Legayelol di Teluk Weda merasa khawatir mengonsumsi ikan tangkapan lokal.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan hilangnya kawasan perikanan penting seperti Tanjung Uli dan Teluk Gemaf di Halmahera Tengah akibat limbah tambang.
Rangkaian bukti dari berbagai lokasi ini menunjukkan pola yang konsisten: aktivitas penambangan nikel secara sistematis mencemari aliran air dari hulu hingga ke hilir. Kegagalan dalam pengelolaan limbah dan sedimen di lokasi tambang, seperti jebolnya kolam pengendapan atau penempatan stok ore yang tidak aman, menyebabkan polutan mengalir bebas ke sungai dan akhirnya ke laut.
Proses ini secara langsung menghancurkan layanan ekosistem vital yang menjadi sandaran hidup masyarakat lokal: sumber air bersih untuk minum dan kebutuhan sehari-hari, lahan subur di bantaran sungai, serta perairan pesisir dan laut yang menjadi lumbung ikan dan biota laut lainnya. Kehancuran ekosistem ini adalah kehancuran fondasi kehidupan masyarakat.
Kontradiksi revolusi ‘hijau’
Kisah dari Sulawesi dan Maluku Utara ini pada akhirnya menyingkap sebuah kontradiksi fundamental dalam narasi global tentang transisi menuju energi bersih. Dorongan masif untuk mengadopsi kendaraan listrik sebagai solusi perubahan iklim ternyata memicu praktik-praktik kotor di hulu rantai pasoknya, merusak lingkungan secara parah dan menimbulkan ketidakadilan sosial yang mendalam di negara-negara sumber bahan baku seperti Indonesia.
Ironi pertama terletak pada jejak karbon industri nikel itu sendiri. Meskipun mobil listrik bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, proses produksi baterainya, khususnya peleburan nikel di Indonesia, sangat bergantung pada energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara captive. PLTU-PLTU ini dibangun khusus untuk menyuplai listrik ke smelter-smelter nikel.
Laporan PRAKARSA menyebutkan total kapasitas PLTU Captive untuk smelter nikel mencapai 7,2 GW pada tahun 2023, dengan tambahan 10 GW lagi dalam tahap pembangunan atau pra-pembangunan. Penggunaan batubara secara masif ini – bahan bakar fosil paling kotor – untuk memproduksi komponen kunci ‘energi bersih’ adalah sebuah paradoks yang mencolok. Hal ini menciptakan ‘celah karbon’ yang signifikan dalam siklus hidup kendaraan listrik, menggerus klaim keberlanjutannya dan sekadar memindahkan beban emisi dari jalan raya ke cerobong asap pabrik di negara lain.
Ironi kedua adalah kontras antara citra ‘hijau’ dan dampak sosial-lingkungan yang nyata di lapangan. Seperti yang telah dipaparkan secara rinci, ambisi hilirisasi nikel untuk mendukung transisi energi telah dibayar mahal dengan deforestasi skala besar, pencemaran air dan laut yang merusak ekosistem dan mata pencaharian, konflik lahan yang sengit, penggusuran masyarakat adat dari tanah leluhur mereka, serta krisis kesehatan akibat polusi. Narasi indah tentang transisi ‘hijau’ global seolah mengabaikan atau sengaja menutup mata terhadap penderitaan dan kehancuran yang terjadi di tingkat lokal, di tempat bahan baku itu digali.
Lebih jauh, relevansi strategi hilirisasi nikel Indonesia dalam konteks transisi energi global juga mulai dipertanyakan. Sebagian besar produk nikel Indonesia saat ini masih berupa Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferro Nickel (FeNi) yang digunakan untuk industri baja tahan karat, bukan nikel kelas 1 yang dibutuhkan untuk baterai EV. Sementara itu, tren global menunjukkan pergeseran menuju jenis baterai lain seperti Lithium Ferro Phosphate (LFP) yang tidak memerlukan nikel sama sekali, berpotensi menekan permintaan nikel kelas baterai di masa depan. Produksi nikel Indonesia yang masif juga telah menyebabkan oversupply di pasar global, menekan harga nikel dan berpotensi mengurangi keuntungan ekonomi yang diharapkan.
Semua ini menunjukkan bahwa model transisi energi yang saat ini berjalan cenderung melakukan ‘pemindahan masalah’ (problem shifting) ketimbang ‘penyelesaian masalah’ (problem solving). Beban lingkungan dan sosial dari konsumsi energi ‘bersih’ di negara-negara maju dieksternalisasi ke negara-negara produsen di Selatan Global seperti Indonesia. Kelompok masyarakat yang paling rentan – masyarakat adat, petani kecil, nelayan, perempuan – adalah pihak yang menanggung beban terberat: ruang hidup mereka hancur, sumber daya vital mereka tercemar, kesehatan mereka terancam, dan ketidaksetaraan semakin dalam. Ini memunculkan dilema etika dan lingkungan yang kompleks: apakah kita rela membangun masa depan ‘bersih’ dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat di belahan bumi lain?
Kilau mobil listrik yang menjanjikan masa depan lebih hijau ternyata menyimpan sisi gelap yang tersembunyi di tanah nikel Indonesia. Laporan ini, diperkuat oleh suara-suara dari para pegiat lingkungan dan kesaksian langsung warga terdampak di Sulawesi dan Maluku Utara, mengungkap sebuah realitas pahit di balik ambisi transisi energi global. Ledakan penambangan nikel untuk memenuhi permintaan baterai dunia telah memicu kerusakan lingkungan yang parah: hutan-hutan lenyap, sungai dan laut tercemar berat oleh limbah tambang, ekosistem vital hancur.
Manusia di lingkar tambang pun menjadi korban. Konflik lahan merajalela, penggusuran paksa terjadi, dan perlawanan warga tak jarang dihadapi dengan kriminalisasi. Masyarakat adat, yang hidupnya menyatu dengan tanah leluhur, menghadapi ancaman kehilangan identitas dan budaya. Kesehatan warga terganggu oleh polusi udara, dengan lonjakan kasus penyakit pernapasan seperti ISPA menjadi bukti nyata. Ironisnya, kekayaan sumber daya alam yang melimpah ini gagal menyejahterakan masyarakat lokal; paradoks ekonomi menunjukkan pertumbuhan regional yang tinggi berjalan seiring dengan kemiskinan yang menetap atau bahkan meningkat.
Semua ini terjadi dalam konteks tata kelola yang lemah, di mana pengawasan pemerintah dipertanyakan, akuntabilitas perusahaan minim, dan kerangka hukum seperti UU Minerba justru dinilai semakin melemahkan posisi masyarakat dan lingkungan. Kontradiksi paling mendasar terletak pada kenyataan bahwa revolusi ‘hijau’ ini ditenagai oleh praktik ekstraksi yang kotor, bahkan bergantung pada energi batubara yang intensif karbon, serta mengorbankan hak dan kesejahteraan kelompok masyarakat yang paling rentan.
Kisah dari tanah nikel Indonesia ini adalah pengingat keras bahwa transisi energi tidak boleh hanya berfokus pada solusi teknologi di hilir. Ia harus dilihat secara holistik, dari hulu hingga hilir, dengan mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia di setiap mata rantainya. Diperlukan perubahan paradigma mendasar: penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan adat termasuk hak atas persetujuan tanpa paksaan (FPIC), penerapan standar Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) yang ketat bagi perusahaan, serta evaluasi ulang kebijakan hilirisasi agar benar-benar membawa manfaat yang adil dan berkelanjutan bagi rakyat Indonesia.
Konsumen dan pembuat kebijakan global juga memiliki tanggung jawab untuk menuntut transparansi dan etika dalam rantai pasok baterai, memastikan bahwa perjalanan menuju masa depan yang lebih bersih tidak dibangun di atas penderitaan dan kehancuran di tempat lain. Hanya dengan demikian, transisi energi dapat benar-benar disebut adil dan berkelanjutan untuk semua.
- COP 30 menghadapi pertarungan sengit soal uang, minyak, dan keadilan iklim
Saat negosiasi COP 30 di Belém memasuki minggu kedua yang genting, pertarungan triliunan dolar untuk pendanaan iklim publik dan paradoks bahan bakar fosil - Senyum petani perempuan Bengkulu di kebun kopi tangguh iklim
Kebun kopi tangguh iklim jadi ekosistem, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan menghadapi krisis iklim - Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu”
Di tengah gemerlap Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP 30) di Belém, Brasil, delegasi Indonesia hadir dengan kekuatan besar. Sebanyak 450 orang, dipimpin langsung oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusuma, membawa isu utama Transisi Energi dan perdagangan karbon. Komitmen untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan digaungkan oleh delegasi yang dipimpin adik… Baca Selengkapnya: Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu” - Krisis air di lumbung nikel, warga Kawasi blokade jalur produksi Harita
Warga Kawasi di Halmahera Selatan kembali menuntut PT. Harita Group memenuhi hak dasar atas air bersih dan listrik. - Ngaseuk, cara Sarongge mengamalkan apa yang dinegosiasikan di Belém
Saat dunia menanti kesepakatan COP 30 dari Belém, di Sarongge, doa dan tembang bergema di antara hamparan hijau - Sandiwara hijau dari Indonesia di panggung COP 30
Pemerintah Indonesia mengklaim komitmen mengurangi batubara sambil memperluas energi terbarukan di panggung COP 30

![Jumat pagi di Belém, 14 November 2025. Udara di luar Hangar Convention Centre sudah terasa panas dan tegang, bukan hanya karena kelembaban Amazon. Di pintu masuk utama Blue Zone—area steril yang disediakan untuk para negosiator berjas—obrolan diplomatik yang biasa terdengar telah digantikan oleh nyanyian dan tuntutan. Sekitar 90 pengunjuk rasa dari masyarakat adat Munduruku memblokir akses, mengubah diri mereka dari sekadar penonton menjadi inti cerita. Ini bukan side event yang terjadwal; ini adalah intervensi. Masyarakat Munduruku, yang tanah leluhurnya di negara bagian Pará, Amazonas, dan Mato Grosso terancam, tidak datang untuk berfoto. Mereka menuntut satu hal yang mendasar: "diakhirinya proyek dan kegiatan ekstraktif yang mengancam wilayah adat," terutama di cekungan Sungai Tapajós dan Xingu. Adegan ini adalah ironi pertama dan paling tajam dari KTT iklim PBB ke-30 ini. Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, telah dengan lantang menjanjikan KTT ini sebagai "COP of Truth" ("COP Kebenaran"). Namun, ketika "kebenaran" dari garis depan krisis iklim tiba di gerbangnya, respons resmi bukanlah dialog, melainkan pemanggilan tentara untuk memperkuat keamanan. Di dalam, di balik barikade, dunianya terasa berbeda. Joni Aswira Putra Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalist), melaporkan untuk Ekuatorial dari Belém. Ia menggambarkan negosiasi minggu pertama, yang berakhir pada Sabtu, 15 November 2025 , sebagai "cukup dinamis". "Dinamis" adalah kata yang sopan untuk "penuh konflik". Di balik "banyak side event" dan "pertemuan-pertemuan presidensi" yang diamati Joni, dua pertarungan fundamental sedang berkecamuk. Pertarungan pertama adalah soal uang: pertarungan triliunan dolar mengenai siapa yang membayar untuk transisi iklim. Pertarungan kedua adalah soal kredibilitas: pertarungan eksistensial mengenai integritas tuan rumah yang menjanjikan penyelamatan Amazon sambil berencana mengebor minyak di muaranya. Direktur Eksekutif COP30, Ana Toni, berusaha meredakan ketegangan, menyebut protes Munduruku sebagai "sah" dan meyakinkan media bahwa pemerintah "mendengarkan". Namun, tindakan memanggil tentara menceritakan kisah yang berbeda. Ini mengungkap adanya dua COP yang berjalan paralel di Belém: COP di dalam Blue Zone, dengan negosiasi steril dan bahasa teknis; dan COP di luar di jalanan, tempat "kebenaran" yang dituntut Lula sedang diperjuangkan secara fisik. Fakta bahwa masyarakat Munduruku harus memblokir pintu masuk hanya untuk diarahkan bertemu dengan menteri Sônia Guajajara dan Marina Silva membuktikan satu hal: mereka, pada awalnya, tidak didengar sama sekali. Pahlawan Iklim dan rencana pengeboran minyak Presiden Lula adalah pusat gravitasi dari COP30. Di panggung global, dia adalah pahlawan iklim. Dia membuka KTT Pemimpin dengan seruan penuh semangat untuk "kekalahan telak bagi penyangkal iklim". Seperti yang dicatat oleh Joni Aswira Putra, tuan rumah Brasil dan "Presiden Lula sendiri yang mendorong koalisi besar" untuk mengakhiri ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Ada "kabar baik" yang nyata untuk mendukung retorikanya. Pemerintahannya telah mencapai kemajuan yang mengesankan dalam menekan laju perusakan hutan. Angka deforestasi di Amazon Brasil telah turun sebesar 50% selama tiga tahun masa jabatannya. Ini adalah pencapaian signifikan yang dipamerkan di KTT. Inisiatif utamanya adalah 'Tropical Forest Forever Facility' (TFFF), sebuah mekanisme pendanaan baru yang dirancang untuk membuat "hutan yang berdiri lebih berharga daripada lahan yang gundul". TFFF bertujuan mengumpulkan $125 miliar untuk perlindungan hutan, dan telah mendapatkan komitmen awal $5,5 miliar, termasuk dari Norwegia dan kontribusi dari Brasil sendiri. Namun, seperti yang diakui Lula sendiri dalam pidatonya, ada "kesulitan dan kontradiksi". Kontradiksi-kontradiksi ini begitu mencolok sehingga mengancam kredibilitas seluruh KTT. Kontradiksi Minyak. Hanya beberapa minggu sebelum COP30 dimulai, pemerintahannya menyetujui lisensi pengeboran minyak dan gas di Foz do Amazonas, sebuah wilayah sensitif di lepas pantai muara Sungai Amazon. Ini adalah langkah yang dikecam para kritikus sebagai kemunafikan yang mencengangkan. Kontradiksi Infrastruktur: Secara bersamaan, pemerintahannya mendorong "peningkatan" jalan raya BR-319, sebuah proyek yang akan membelah wilayah barat Amazon yang masih utuh. Para ilmuwan memperingatkan ini akan memberikan "tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya" dari agribisnis dan ekstraktivisme. Ada pula rencana untuk "de-statise" (privatisasi) sungai-sungai utama seperti Tapajós untuk menciptakan "hydrovia" (jalur air) bagi pengiriman kedelai. Kontradiksi Politik Lula harus melakukan "tindakan penyeimbangan" politik yang berbahaya. Untuk memerintah, ia bergantung pada dukungan lobi "Ruralista" (agribisnis) yang kuat, yang mendominasi Kongres dan mendorong agenda ekstraktif yang berlawanan langsung dengan konservasi. Kontradiksi Ambisi Brasil, yang memposisikan diri sebagai pemimpin iklim global, secara bersamaan adalah salah satu emiten teratas dunia dan secara aktif mempertimbangkan untuk bergabung dengan OPEC+, aliansi negara-negara produsen minyak. Ini bukan sekadar "tindakan penyeimbangan"; ini adalah strategi ganda yang terkompartementalisasi. Lula tidak sedang menyeimbangkan; dia sedang mencoba memiliki keduanya. Di satu sisi, dia memperlakukan Amazon sebagai aset karbon global yang bisa dijual (melalui TFFF) kepada donor internasional untuk pendanaan iklim. Di sisi lain, dia memperlakukannya sebagai aset sumber daya domestik (minyak, tanah, jalur sungai) yang bisa dijual kepada sekutu politik (Ruralista, industri minyak) untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi "abad ke-20". Paradoks Lula bukanlah kegagalan pribadi; ini adalah model bisnis "Ekstraktivisme Hijau". "COP Kebenaran" adalah panggung global untuk memasarkan kedua strategi yang saling bertentangan ini secara bersamaan. Ini adalah preseden berbahaya yang menunjukkan bahwa perlindungan iklim dan ekstraktivisme dapat berjalan beriringan, padahal kenyataannya keduanya saling meniadakan. Keuangan transisi Di jantung "dinamika" minggu pertama yang dilaporkan Joni Aswira Putra untuk Ekuatorial adalah satu isu yang selalu menjadi kunci: "keuangan transisi". Ini adalah medan pertempuran utama yang memecah belah Global Utara dan Global Selatan, dan di Belém, pertarungan ini berpusat pada dua mekanisme yang saling terkait: "Pasal 9 dari Perjanjian Paris" dan "Peta Jalan Baku-Belem" yang baru. Pasal 9 adalah inti dari ketidakpercayaan. Secara hukum, pasal ini mewajibkan negara-negara maju untuk menyediakan sumber daya keuangan bagi negara-negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi. Kata kerja yang digunakan adalah "shall provide" (harus menyediakan), sebuah kewajiban, bukan saran. Konflik teknis yang sangat politis terjadi pada perbedaan antara Pasal 9.1 dan 9.3. Negara-negara berkembang, yang dipimpin oleh blok G77 dan Tiongkok, berargumen bahwa COP29 di Baku tahun lalu gagal total. Mengapa? Karena kesepakatan di Baku hanya berfokus pada Pasal 9.3: "mobilisasi" keuangan, sebuah istilah yang memungkinkan negara maju menghitung pinjaman swasta dan modal komersial sebagai bagian dari kontribusi mereka. Negara-negara berkembang berargumen bahwa kewajiban inti Pasal 9.1—"penyediaan" dana publik (yaitu, hibah, bukan pinjaman) dari kas negara maju—telah diabaikan dan "masih terutang". Negara-negara maju, khususnya Uni Eropa (UE), diidentifikasi sebagai "penghalang utama" kemajuan dalam perdebatan ini, menghalangi fokus khusus pada pendanaan publik Pasal 9.1. Ke dalam kekacauan inilah "Peta Jalan Baku-Belém" diluncurkan. Ini adalah proposal besar di atas meja: sebuah rencana untuk memobilisasi $1,3 triliun USD per tahun pada tahun 2035. Seperti yang dicatat Joni, tujuannya ambisius: "reformasi arsitektur keuangan dan penghapusan subsidi fosil". Peta jalan ini memang menyerukan "perombakan" sistem keuangan dan "penyaluran kembali" subsidi bahan bakar fosil, yang menurut IMF mencapai angka mengejutkan $7 TRILIUN pada tahun 2022. Namun, peta jalan ini segera dilihat melalui dua lensa yang sangat berbeda. Bagi lembaga-lembaga seperti World Resources Institute (WRI), ini adalah "strategi holistik yang cerdas". WRI memuji "kombinasi pragmatisme dengan fokus pada skala dan perubahan sistem" dan memujinya karena "secara tepat menggeser lensa" dari dana publik yang "sederhana" untuk "membuka aliran yang jauh lebih besar dari investor swasta". Bagi negara-negara Global Selatan, pernyataan WRI adalah perwujudan dari ketakutan terbesar mereka. "Pergeseran lensa" ini, bagi mereka, adalah pengkhianatan terhadap kewajiban hukum Pasal 9.1. Mereka melihatnya sebagai "melemahkan" kewajiban negara maju dan mengganti hibah publik yang mereka butuhkan dengan pinjaman swasta yang hanya akan memperburuk krisis utang. Ini adalah perangkap utang iklim. Negara-negara berkembang, yang sudah menghabiskan 20-30% dari PDB mereka hanya untuk membayar utang, kini dipaksa masuk ke dalam skema di mana mereka harus meminjam uang (modal swasta 9.3) dari negara-negara Utara yang menyebabkan krisis iklim, untuk memperbaiki masalah yang disebabkan oleh negara-negara Utara tersebut, alih-alih menerima dana kewajiban (hibah publik 9.1). Ini adalah bentuk baru kolonialisme iklim. Tanpa penyelesaian kewajiban Pasal 9.1, Peta Jalan $1,3 Triliun berisiko menjadi "laporan yang tidak mengikat dengan dampak terbatas". Ambisi di atas kertas Pertarungan soal uang secara langsung terkait dengan pertarungan soal aksi. Joni Aswira Putra menyoroti fokus utama pada "transition away from fossil fuel" (transisi meninggalkan bahan bakar fosil) dan "peningkatan ambisi NDC" (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional). COP30 adalah tenggat waktu krusial bagi negara-negara untuk menyerahkan rencana iklim baru mereka (dikenal sebagai NDC 3.0) yang akan menentukan nasib target 1,5°C. Kebutuhan akan ambisi ini sangat mendesak. Laporan PBB sebelum KTT telah mengkonfirmasi adanya "jurang ambisi yang luas" antara janji-janji saat ini dan apa yang diperlukan. Menanggapi hal ini, sebuah "koalisi yang berkemauan" telah terbentuk. Joni menyebutkan adanya "Belém declaration on fossil fuel" yang didukung oleh 62 negara. Ini merujuk pada "koalisi yang berkembang pesat" dari 62 negara yang kini mendukung "peta jalan transisi bahan bakar fosil (TAFF) yang terstruktur". Ini adalah "koalisi besar" yang didorong oleh Lula, dan cakupannya luas: mencakup Brasil, negara-negara Eropa seperti Prancis dan Jerman, Kenya, dan blok-blok negosiasi penting seperti Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Namun, koalisi 62 negara ini menghadapi kekuatan penentang yang masif. Secara formal, mereka menghadapi perlawanan dari negara-negara seperti Arab Saudi 29 dan produsen batu bara besar seperti Tiongkok dan India, yang menentang bahasa spesifik tentang penghapusan bahan bakar fosil. Namun, perlawanan yang lebih kuat dan lebih meresap bersifat informal. Sebuah analisis baru dari koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) menemukan bahwa lebih dari 1.600 pelobi bahan bakar fosil telah diberikan akses resmi ke COP30. Angka ini sangat mengejutkan: itu berarti satu dari setiap 25 peserta di Belém adalah seorang pelobi industri fosil. Jumlah mereka jauh melampaui delegasi negara mana pun selain tuan rumah Brasil. Selama lima tahun terakhir, 7.000 pelobi fosil telah menghadiri KTT iklim. Konteks ini menjelaskan mengapa peluncuran "Deklarasi Belém tentang Integritas Informasi tentang Perubahan Iklim" menjadi begitu penting. Deklarasi ini, yang didukung oleh 12 negara termasuk Brasil, Prancis, dan Jerman, adalah pengakuan resmi di tingkat COP bahwa negosiasi tidak hanya dirusak oleh lobi, tetapi juga oleh kampanye "disinformasi, pelecehan terhadap suara ahli, [dan] ruang gema yang terpolarisasi". Kampanye ini dirancang khusus untuk "mengulur dan menyabotase aksi" iklim. Pertarungan di Belém bukan lagi sekadar negosiasi kebijakan; ini adalah perang informasi. Para pelobi tidak hanya hadir untuk memengaruhi teks; mereka hadir untuk menciptakan kabut keraguan yang membenarkan kelambanan. Seperti yang dikatakan oleh Lien Vandamme dari Center for International Environmental Law (CIEL), ini bukanlah tata kelola iklim. "Ini adalah penangkapan korporat, bukan tata kelola iklim," tegasnya. Koalisi 62 negara mungkin memiliki otoritas moral, tetapi 1.600 pelobi memiliki anggaran untuk membeli narasi. Indonesia dan dilema 'solusi palsu' Di tengah pertarungan antara Global Utara dan Selatan ini, dalam laporanya kepada Ekuatorial, Joni secara spesifik menyebut Indonesia sebagai negara "Selatan-Selatan" yang, seperti Brasil, berada di posisi kunci untuk menerima pendanaan iklim yang diperdebatkan di bawah Pasal 9. Indonesia datang ke Belém dengan proposal andalannya: "Kebijakan Industri Hijau". Sebagai bagian dari kebijakan ini, pemerintah mempresentasikan 14 proyek pengurangan emisi, yang bertujuan untuk menarik investasi internasional di bawah mekanisme Perjanjian Paris. Namun, para pengamat yang mengikuti kampanye COP Indonesia sebelumnya mencatat adanya "pola yang berulang". Proyek-proyek yang dipresentasikan "seringkali kurang transparan, tidak memiliki jadwal yang jelas, atau strategi implementasi yang terperinci". Kritik paling tajam datang dari dalam negeri. Siaran pers dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 11 November 2025, yang berjudul "Pemerintah Indonesia Gagal Membawa Kepentingan Rakyat Indonesia di COP 30", memberikan analisis yang memberatkan. WALHI mengecam paviliun Indonesia yang baru dibuka sebagai sesuatu yang menyerupai "pasar dagang untuk hutan Indonesia dan sumber daya alamnya". Kritik utamanya ditujukan pada dua pilar strategi Indonesia. Perdagangan karbon sebagai perampasan lahan, dan dekarbonisasi beracun. Analisis WALHI menyimpulkan bahwa komitmen iklim Indonesia (SNDC) "ditakdirkan untuk gagal sejak awal" karena seluruh strukturnya dibangun di atas "skema ekstraktif". Ironisnya, saat Indonesia mempromosikan "solusi" berbasis lahan yang kontroversial, sebuah janji besar lainnya di COP30 menuai kritik serupa. "Belém 4X Pledge on Sustainable Fuels"—sebuah janji yang didukung oleh tuan rumah Brasil, India, Italia, dan Jepang untuk melipatgandakan penggunaan "bahan bakar berkelanjutan" seperti biofuel dan biogas—ditolak mentah-mentah oleh jaringan masyarakat sipil. Climate Action Network (CAN) dan Greenpeace secara eksplisit "Menolak Ikrar Belém 4X". Mereka memperingatkan bahwa ini adalah "distraksi berbahaya" yang akan memicu gelombang baru "penghancuran hutan" global untuk memenuhi permintaan bioenergi. Di sini, Indonesia dan Brasil terlihat sebagai cerminan satu sama lain. Keduanya mempraktikkan model "Ekstraktivisme Hijau". Keduanya menggunakan bahasa "hijau"—baik itu 'Kebijakan Industri Hijau', perdagangan karbon, atau 'Bahan Bakar Berkelanjutan'—untuk menarik pendanaan iklim internasional. Namun, pendanaan tersebut kemudian digunakan untuk melanggengkan model ekonomi ekstraktif yang sama (gas, pertambangan, perkebunan) yang menjadi akar penyebab krisis, dan yang secara konsisten mengorbankan masyarakat adat dan lokal, baik itu Suku Anak Dalam di Jambi maupun masyarakat Munduruku di Belém. Minggu pertama COP30 ditutup dengan "tekanan yang meningkat". Seperti yang dilaporkan Joni Aswira Putra, negosiasinya "dinamis", tetapi para ahli di lapangan, seperti Dr. Rachel Cleetus dari Union of Concerned Scientists (UCS), memperingatkan bahwa "terobosan besar pada topik-topik kritis belum terwujud". Para menteri yang kini tiba di Belém untuk negosiasi tingkat tinggi di minggu kedua mewarisi beban untuk menyelesaikan serangkaian pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana cara menutup "jurang ambisi" emisi untuk menjaga target 1,5°C tetap hidup? Bagaimana cara menyepakati penghapusan bahan bakar fosil yang adil dan didanai—bukan sekadar retorika? Bagaimana cara mengatasi kebuntuan fundamental antara pendanaan publik (Pasal 9.1) dan mobilisasi swasta (Pasal 9.3)? Ada ketakutan yang nyata bahwa proses COP itu sendiri "rusak" dan "tidak lagi sesuai dengan tujuannya". Kekecewaan negara-negara berkembang terhadap hasil tahun lalu di Baku digambarkan sebagai "pengkhianatan yang mengejutkan". Di tengah krisis kredibilitas inilah, Kepala Iklim PBB Simon Stiell memberikan pidato pembukaan yang tajam. Dia memohon kepada para delegasi: "Pekerjaan Anda di sini bukan untuk bertarung satu sama lain – pekerjaan Anda di sini adalah untuk melawan krisis iklim ini, bersama-sama". Saat para menteri mengambil alih negosiasi, "COP Kebenaran" dihadapkan pada pilihan terakhirnya. Kebenaran siapa yang akan mereka wujudkan? Kebenaran yang nyaman dari para pelobi dan solusi palsu mereka? Kebenaran yang dikompromikan dari tuan rumah mereka yang paradoksal? Atau kebenaran yang tidak nyaman dari masyarakat adat Munduruku, yang tuntutannya—jika benar-benar didengarkan—akan memaksa perubahan sistemik yang sebenarnya? Jawabannya akan menentukan apakah Belém dikenang sebagai titik balik, atau hanya sebagai "pasar dagang" lain untuk masa depan planet ini.](https://www.ekuatorial.com/wp-content/uploads/2025/11/COP-30-Brasil-COP-Kebenaran-150x150.avif)




