Rakernas AMAN VIII di Desa Kedang Ipil, Kaltim, fokus pada penguatan resiliensi Masyarakat Adat di tengah ancaman pembangunan seperti IKN dan ekspansi sawit.

Ratusan perwakilan Masyarakat Adat dari berbagai penjuru Nusantara telah berkumpul di Desa Kedang Ipil, jantung wilayah adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang. Mereka hadir untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) VIII Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang berlangsung pada 14-16 April 2025. Mengusung tema krusial, “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak,” Rakernas kali ini menjadi momentum penting konsolidasi gerakan.
Pembukaan Rakernas AMAN VIII pada Senin (14/4/2025) ditandai dengan pawai budaya yang semarak. Ratusan peserta mengenakan pakaian adat khas daerah masing-masing, menciptakan lautan warna dan keberagaman. Pawai ini bukan sekadar seremoni; ia menjadi simbol perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 2025, peringatan 26 tahun AMAN, sekaligus penegasan keteguhan Masyarakat Adat dalam menjaga identitas dan budayanya di tengah arus pembangunan yang kerap mengancam eksistensi mereka.
Kedang Ipil: Tuan rumah di garis depan perjuangan
Pemilihan Desa Kedang Ipil sebagai lokasi Rakernas AMAN memiliki makna strategis. Seperti ditegaskan Ketua Panitia Pelaksana, Yoga Saeful Rizal, lokasi ini berada di garis depan ancaman nyata: ekspansi perkebunan kelapa sawit dan mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). “Seluruh kekuatan AMAN berkumpul di sini untuk memperkuat solidaritas dan merumuskan strategi perjuangan bersama,” ujar Yoga.
Keresahan juga disuarakan Kepala Desa Kedang Ipil, Kuspawansyah. Ia menyoroti stigma negatif yang sering dialamatkan kepada Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang sebagai penyebab kebakaran hutan. “Padahal, praktik berladang kami turun-temurun dan tidak pernah memicu kebakaran,” tegasnya.
Represi meningkat, wilayah adat terancam
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, memberikan gambaran suram mengenai situasi yang dihadapi Masyarakat Adat secara nasional. Ia mengungkapkan data mengkhawatirkan:
- 110 kasus yang melibatkan komunitas adat tercatat hanya dalam periode Januari–Maret 2025.
- Sepanjang 2024, terjadi 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat seluas lebih dari 2,8 juta hektare, menimpa 140 komunitas adat.
Kalimantan Timur sendiri menjadi contoh nyata situasi genting ini:
- Kekerasan di Muara Kate: Dua warga adat menjadi korban (satu meninggal) saat memprotes penggunaan jalan umum oleh truk tambang PT Mantimin Coal Mining (MCM).
- Ancaman IKN di Sepaku: Komunitas Suku Balik kian terdesak oleh pembangunan Ibu Kota Nusantara.
- Perusakan Mangrove di Paser: Hutan mangrove Masyarakat Adat Rangan diuruk untuk stockpile batubara.
- Ancaman Sawit di Kedang Ipil: Masyarakat setempat terus berjuang mempertahankan hutan adat dari ekspansi sawit.
Rukka Sombolinggi memperingatkan bahwa kondisi ini berpotensi memburuk dengan penetapan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru dan pengesahan revisi UU TNI yang dinilai memperkuat pendekatan militeristik dan melegalkan perampasan wilayah adat. “Konstitusi memang mengakui hak Masyarakat Adat, tapi implementasinya nihil. Aturan tercerai-berai di banyak UU, tak terkoordinasi,” kritiknya. Ia juga menekankan bahwa legalitas hukum perampasan wilayah adat tidak serta merta memberikannya legitimasi (“Legal, but not legitimate”).
Kecaman keras juga ditujukan pada praktik kriminalisasi pejuang adat dan regulasi yang mendukung model pembangunan eksploitatif seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, dan kebijakan nilai ekonomi karbon. “Kami yang menjaga hutan, tapi pihak lain yang mengambil untung,” tandasnya.
RUU Masyarakat Adat
Di tengah tekanan hebat, Rukka menegaskan semangat resiliensi Masyarakat Adat. “Resiliensi adalah bangkit dari trauma dengan kesadaran politik, sejarah, dan spiritualitas. Dunia mengakui peran vital Masyarakat Adat untuk keberlanjutan lingkungan,” ujarnya, seraya mengingatkan sejarah lahirnya AMAN sebagai perlawanan terhadap Orde Baru.
Dalam Dialog Umum, Yance Arizona akademisi UGM menambahkan perspektif kritis. Ia menilai Indonesia cenderung bergerak menuju otoritarianisme, bukan demokratisasi. “Masyarakat Adat tidak anti pembangunan, tapi menolak pembangunan yang merampas tanah, karena tanah adalah identitas. Menggusur tanah berarti menghapus identitas,” jelasnya.
Yance juga menyoroti ketidaksinkronan antar kementerian dalam pengakuan Masyarakat Adat. “Solusinya hanya satu dan mendesak: segera sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat!” tegasnya.
Rakernas AMAN VIII yang diikuti sekitar 500 peserta ini akan menjadi forum vital untuk evaluasi, refleksi, dan perumusan strategi politik gerakan Masyarakat Adat Nusantara dalam menghadapi tantangan zaman yang kian kompleks.
- Laut, Identitas yang Terancam Tambang Emas di SangiheAktivitas tambang emas yang mulai beroperasi di pulau kecil Sangihe mengubah kehidupan masyarakat. Pola hidup warga terganggu.
- Menanti keberhasilan rehabilitasi macan tutulPredator terbesar di Pulau Jawa, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) masih dalam status ‘terancam punah’
- Menguatkan pemenuhan hak atas tanah warga Sulawesi Tenggara melalui pendidikanKPA dan ForSDa Gelar Pendidikan Kader di Kolaka, Sulawesi Tenggara di tengah ketimpangan kepemilikan tanah.
- Persidangan gugatan warga terhadap perusahaan pemicu kabut asap terus bergulirHakim persidangan didesak tidak hanya menghukum para tergugat, tetapi memerintahkan pemulihan lahan gambut yang rusak karena terbakar.
- Menangkarkan kodok darah: upaya menambah indikator kesehatan lingkunganTaman Safari Indonesia menangkarkan kodok darah. Amfibi ini masuk dalam kategori kritis atau critically endangered menurut lembaga konservasi alam internasional, IUCN.
- Pergerakan magma dan kaitannya dengan bencana vulkanikDiperlukan metode analisis kimia beresolusi tinggi untuk memahami pergerakan magma dari dalam bumi hingga menimbulkan bencana vulkanik.