Konsorsium Pembaruan Agraria mendesak negara mempercepat redistribusi tanah untuk mencegah konflik agraria.

Yola Nifta Rompas, petani anggota Serikat Petani Minahasa Selatan (SPMS), ditetapkan sebagai tersangka, Selasa, 20 Mei 2025. Ia dituduh melakukan pencurian di atas lahan yang telah digarap masyarakat selama puluhan tahun. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), penetapan tersangka ini menandai kriminalisasi lanjutan terkait konflik agraria di Pakuweru yang telah berulang sejak 2022.
Kriminalisasi terhadap petani di Desa Pakuweru, Kecamatan Tengah, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi, telah berlangsung sejak 23 Juni 2022. Saat itu, Yola Nifta Rompas bersama 13 petani lainnya dilaporkan oleh perusahaan. Mereka dituduh mencuri hasil dari tanah yang telah dikuasai dan digarap masyarakat sejak 1970-an, meskipun tidak disertai bukti yang jelas.
Tanah seluas 94 hektar yang disengketakan merupakan bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang masa berlakunya telah berakhir pada tahun 2008. Setelah ditelantarkan perusahaan sejak dekade 1970-an, masyarakat mulai menggarap lahan tersebut secara lebih luas sejak 1990-an. Tanah ini menjadi sumber penghidupan bagi petani SPMS selama tiga generasi.
Data kriminalisasi terkait konflik agraria
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, tindakan kriminalisasi terhadap petani semakin menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menyelesaikan konflik agraria. KPA mencatat selama periode 2018–2024, terdapat 531 kasus kriminalisasi, 89 penganiayaan, 5 penembakan, dan 9 korban tewas di wilayah konflik agraria, khususnya sektor perkebunan.
KPA menyoroti bahwa kasus HGU di Minahasa Selatan telah berakhir sejak 2008, sehingga tidak ada dasar hukum bagi klaim perusahaan atau pihak yang mengaku sebagai ahli waris. Selain itu, masyarakat telah menetap dan mengelola lahan tersebut sejak 1970-an, dan lokasi ini telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
Penetapan tersangka dinilai sebagai bentuk intimidasi, tanpa memeriksa latar belakang konflik secara menyeluruh dan tanpa bukti yang sah. KPA menyebut tindakan ini sebagai bentuk kriminalisasi yang berulang terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah.
KPA juga menyampaikan bahwa konflik seperti ini dapat dicegah jika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan lahan bekas HGU sebagai tanah terlantar untuk kemudian diredistribusikan kepada petani. Saat ini, terdapat 7,14 juta hektar tanah terlantar yang belum ditertibkan oleh pemerintah, memberi ruang bagi mantan pemilik HGU untuk terus melakukan intimidasi.
Pernyataan dan tuntutan KPA
Konsorsium Pembaruan Agraria menyampaikan pernyataan sikap tertanggal 3 Juni 2025 yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Dewi Kartika. KPA mendesak: bebaskan petani Minahasa dari riminalisasi; menuntut Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan Gubernur Sulawesi Utara mengawal proses penyelesaian konflik agraria di LPRA Pakuweru, dan mendesak Kementerian ATR/BPN segera mempercepat redistribusi tanah dan pengakuan hak atas tanah masyarakat Pakuweru.