Para mantan perambah hutan lindung Bukit Cogong kini berupaya melestarikannya dengan mengembangkan skema produksi hasil hutan bukan kayu dan ekowisata melalui sistem perhutanan sosial.

Kawasan penyangga Tamanan Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), menyentuh dua wilayah adminitrasi, yakni kota Lubuklinggau dan Musi Rawas, Sumatera Selatan. Lanskap Bukit Cogong ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung (HL) pada tahun 2001 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor  76/Menhut-II/2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan seluas 4.416.837 hektare.

Tentu saja, Keputusan Menteri Kehutanan itu keluar setelah masyarakat berada di kawasan hutan tersebut.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas, Kelompok Hutan Lindung Bukit Cogong, atau HLBC, terdiri atas tiga bukit. Bukit Cogong atau Bukit Besar memiliki luas 1.222 ha, Bukit Gatan seluas 567 ha, dan Bukit Botak seluas 53 ha. Adapula Bukit Besak, bukit tertinggi yang masuk wilayah Desa Sukakarya, Kecamatan STL Ulu Terawas, Kabupaten Musi Rawas.

Kerena berbatasan dengan Kota Lubuklinggau, ada tiga kecamatan yang mengelilingi Bukit Cogong, yakni STL Ulu Terawas, Tugumulyo, dan Lubuklinggau Utara 1 Kota Lubuklinggau.

Pada kawasan Bukit Cogong terdapat tiga desa yang masuk wilayah Kabupaten Musi Rawas, yakni Desa Sukakarya, Srimulyo, dan Sukorejo. Kemudian ada empat desa yang masuk wilayah Kecamatan Lubuklinggau Utara I, Kota Lubuklinggau, yakni Margabakti, Margorejo, Tababaru, dan Durian Rampak.

Kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong secara geografis terletak pada 102,870– 102,940 Bujur Timur dan pada 3,120-3,180 Lintang Selatan.

Udara pagi Bukit Cogong yang segar menyapu dedaunan sekaligus menyempurnakan suhu dingin di kaki bukit. Udara yang amat sehat di situasi pandemi seperti saat ini. Pagi itu para petani datang berangsur-angsur ke kamp Nibuansyah. Mereka memarkirkan motor-motor yang dikendarai guna menuju kebunnya.

Sebagian besar, sekitar 70 persen, tutupan di hutan yang diakses masyarakat ialah tanaman yang diambil manfaatnya berupa hasil hutan bukan kayu, seperti getah karet, durian, dan kopi. Tanaman-tanaman ini memang diusahakan masyarakat, namun mereka tidak membawa kayunya keluar hutan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 23/2021 dijelaskan bahwa Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

Artinya, konsep kebijakan tersebut seharusnya menjadi solusi penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat yang terlebih dahulu berada di kawasan hutan, seperti Nibuansyah dan warga lain di kawasan Bukit Cogong. Mereka telah menempati daerah tersebut jauh sebelum akhirnya ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung oleh pemerintah.

Sistem Perhutanan Sosial membuka akses pengelolaan hutan kepada rakyat, sehingga mereka tidak lagi berstatus sebagai perambah.

Pagi itu, Ujang Syahrudin juga mendatangi kamp Nibuansyah. Sama seperti Nibuansyah, ia juga pernah merambah kawasan hutan lindung tersebut, namun kemudian menjadi penjaganya. Bedanya, Ujang memulai dari Bukit Gatan, bukit yang juga berada di lanskapkan Bukit Cogong.

Meski sudah berumur, Ujang masih semangat berbagi kisah masa lalunya merambah Bukit Gatan. Ujang mengaku merambah karena desakan tawaran pembelian kayu dari pihak luar kawasan dan ia juga ingin berkebun kopi.

Meski kurang sehat badan, Ujang semangat mengajak saya mengunjungi Bukit Gantan. Bukit yang dahulu pernah dia rambah, namun kini ia jaga.

Akses dari kamp Nibuansyah ke pintu masuk Bukit Gatan tidak jauh, sekitar 20 menit dengan melewati akses jalan desa beraspal. Perjalanan pun akan ditemani suguhan pemandangan di kaki bukit dengan hamparan sawah dan kolam ikan, yang menjadi petunjuk telah kembalinya ekosistem di ketiga bukit itu.

Bukit Cogong memang terlihat lebih besar dari Bukit Gatan. Sementara Bukit Gantan terlihat lebih tertutup vegetasi dari Bukit Botak.

Asal-usul nama Bukit Botak pun banyak versi ceritanya. Ada kisah nama tersebut disematkan karena tingkat degradasi yang tinggi, sehingga tutupan lahannya menipis. Selain itu, bukit tersebut juga pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena itu, Bukit Botak identik dengan makna harfiah, yang berarti tidak berambut atau tidak bervegetasi.

Akan tetapi, banyak juga yang meyakini bukit itu tampak botak karena topografi bebatuan yang menyelimutinya membuat tanaman sulit tumbuh. Hal itu yang akhirnya menyebabkan Bukit Botak tidak memiliki banyak vegetasi, hanya bebatuan besar.

Menghidupkan ekowisata Bukit Gatan

Pintu masuk Bukit Gatan ini sangat mudah diakses. Bukit dengan ketinggian sekitar 410 mdpl ini kerap menjadi tujuan para pendaki, baik kelompok pendaki atau keluarga.

Ujang semangat sekali mengajak untuk menaiki kawasan Bukit Gatan. Bukit ini berada di Desa Sukorejo dengan luas sekitar 1.261,01 hektare yang terbagi dalam lima dusun.

Di bukit ini ada air terjun yang juga menjadi bagian Daerah Aliran Sungai (DAS) Megang. Air-air ini pun dialirkan ke rumah-rumah warga dengan pipa-pipa. Tentu air yang masih sejuk karena bersumber dari mata air perbukitan.

Menaiki Bukit Gantan tentu ditemani dengan semilir air jernih yang terus mengalir. Banyak pendaki yang memanfaatkan lokasi titik air sebagai titik beristirahat saat akan mendaki atau turun dari pendakian.

Di Bukit Gantan, pengunjung bisa mendaki setiap waktu, dari pagi hingga malam. Namun banyak pengunjung yang memilih waktu sore guna menikmati Matahari tenggelam dari atas bukit tersebut, seraya menikmati air terjunnya.

Kata Ujang, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) yang dipimpinnya, LPHD Sukorejo, sangat ingin mengembangkan ekowisata di Bukit Gantan. Potensinya besar, terutama setelah jalur pendakian Bukit Gatan pernah viral di media sosial dengan sebutan Negeri di Atas Awan Bukit Gatan, pada tahun 2020 lalu.

“Sebelum pandemi, kunjungan lebih banyak. Kami ingin kembangkan wisata yang bisa memberikan nilai edukasi kepada pengunjung, seperti soal jangan meninggalkan sampah, jangan mengotori air, edukasi tentang rehabilitasi, dan tetap menjaga pesan leluhur,” ucap ia.

Status perhutanan sosial di Bukit Gatan baru diberikan pemerintah, dengan konsep Hutan Desa (HD). LPHD Sukorejo diberi hak mengelola lahan atau hutan desa seluas 403 hektare di Bukit Gatan dengan legalitas Hutan Desa Sukorejo berdasarkan SK 6496/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/10/2018 tertanggal 2 Oktober 2018.

Usia perhutanan sosial di Bukit Gatan lebih muda dibandingkan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Bukit Cogong. Status HKm Bukit Cogong ditetapkan pada tahun 2015, dengan wilayah kelola seluas 290 hektare dan didiami sekitar 90 kepala keluarga (KK).

Liputan ini didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam program Fellowship Jurnalis Lingkungan “Build Back Better, Efektivitas Skema Perhutanan Sosial dalam Penyelamatan Hutan”, dan pertama kali terbit di Suara.com pada tanggal 19 Juli 2021.

Baca juga:

About the writer

Tasmalinda is a journalist based in Palembang, South Sumatra. She is currently working as an editor at Suara.com, a news website. Living in a culturally rich city of Palembang makes her loves to write...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.