Pelestarian lanskap hutan Bukit Cogong, Gatan, dan Botak masih menghadapi tantangan. Setelah mendapatkan akses kelola hutan, masyarakat perlu menguatkan program pemberdayaan.

Kini, dua sosok penjaga hutan lanskap Bukit Cogong, Nibuansyah dan Ujang itu tidak lagi muda. Meski pernah menjadi bagian yang merusak lanskap Bukit Cogong, namun asa mereka kini adalah menjaga nilai-nilai pelestarian Bukit Congong bagi anak cucu kelak.

Mereka merekam jejak sebuah lanskap hutan Sumatera yang pernah hilang dan berusaha mengembalikannya. Mereka ingin kisah ini dibagikan agar semakin banyak yang menjaga dan melestarikan hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal.

Saat saya berada di kamp Bukit Cogong, masyarakat yang datang tidak segan saling menyapa. Mereka berbagi kisah tentang kekayaan Bukit Cogong yang masih tersimpan.

Ujang mengakui bahwa ia sangat senang banyak wisatawan yang berkunjung ke Bukit Gatan. Seiring dengan itu, perlu adanya edukasi kepada para pengunjung. Edukasi agar mereka tidak hanya menikmati keindahan hutan, tetapi lebih mengetahui bagaimana hutan bisa dihidupkan kembali serta bermanfaat bagi masyarakat desa, termasuk pengunjung. Bentuk edukasi wisata seperti ini yang ingin dikembangkan, seeraya menambah wahana wisata lainnya.

Jalur pendaki terpendek bisa melalui Dusun III. Pada Januari tahun lalu, objek wisata ini dibuka untuk umum dengan jumlah kunjungan masih fluktuatif. “Sebelum pandemi, ramai. Bisa sampai ratusan pengunjung karena juga viral di medsos. Saat pendemi ini, kita batasi karena pemberlakuan pembatasan aktivitas masyarakat,” ujar Ujang.

Pelestarian lanskap hutan Bukit Cogong, Gatan, Botak, diakui Kepala KPH Lakitan Bukit Cogong, Edi Cahyono, masih menghadapi tantangan. Setelah mendapatkan akses kelola hutan, masyarakat perlu menguatkan program pemberdayaan agar tetap menjaga kawasan hutan.

Esensinya, kata Edi, harus menjaga kawasan hutan dan “pintu” hutannya.

Jika kawasan muka hutan rusak, tentu akan berpengaruh pada hutannya

Edi Cahyono, Kepala KPH Lakitan Bukit Cogong

Karena itu, masyarakat kerap diikutkan dalam sosialisasi peran penting hutan sembari memaksimalkan agroforestry yang telah dijalankan. Saat ini warga setempat telah menghasilkan produk agroforesty berupa madu, bandrek jahe merah, hingga minyak sirih. Ke depan, mungkin juga akan hadir komoditas lain, seperti bonsai dan rotan.

“Untuk agrowisata memang tengah digarap beberapa tahun ini. Sayangnya, situasi pandemi mengharuskan penutupan dan pembatasan kunjungan, sehingga masih belum optimal,” jelas Edi.

Pemerintah kabupaten sebenarnya mengajukan lima program perhutanan sosial dengan penyesuaian. Seperti perhutanan sosial Bukit Congong yang berbentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Bukit Gantan berbentuk Hutan Desa (HD) dan Bukit Botak diusulkan program Hutan Kemitraan.

Namun untuk perhutanan sosial Bukit Botak masih dievaluasi mengingat terdapat aturan yang belum terpenuhi. “Belum lama ini, kami pun telah menyelesaikan kajian bersama Puslitbag menghitung sosial ekonomi, emisi karbon, dan perubahan tutupan lahan, namun hasilnya belum selesai,” terang Edi.

Tantangan mengelola Perhutanan Sosial

Koordinator Program Perhutanan Sosial Hutan Kita Institut (HaKI), Bejo Dewangga, mengungkapkan bahwa tantangan dalam pemberdayaan masyarakat setelah izin kelola dimiliki adalah bagaimana mempertahankan manfaat perhutanan sosial tersebut. Di Bukit Cogong misalnya, pernah didirikan kebun binatang dengan fungsi menciptakan ekosistem in situ untuk satwa di Sumatera Selatan, namun sayangnya tidak mampu dipertahankan.

“Sejak HaKI mendampingi di tahun 2016, ada sempat penangkaran binatang, namun tidak berumur lama. Hal ini kemudian menjadi perhatian saat ini,” ujar Bejo.

Ia memaparkan, perwujudan perhutanan sosial lanskap Bukit Congong yang berkelanjutan tidak mudah diwujudkan. Misalnya, sempat adanya konflik pendistribusian air, baik untuk pertanian maupun budidaya perikanan.

“Perhutanan sosial tidak cukup hanya berbicara mengenai ekologi saat izin kelola didapat, namun juga menyelesaikan konflik yang muncul menyertai, seperti konflik manajemen kelola, konflik ego sektoral, konflik pemberdayaan masyarakat. Ini tantangannya,” kata Bejo.

Selain sempat ada penangkaran hewan, kunjungan di Bukit Cogong pada lima tahun yang lalu cendrung lebih banyak. Namun memang manajemen pengelolaannya belum ideal. Padahal pemerintah daerah pada saat itu telah menarik pendapatan dari jasa lingkungan saat Bukit Cogong mulai dikenalkan dan dikembangkan.

Bejo menyinggung persepsi masyarakat yang perlu dipupuk guna memahami perhutanan sosial lebih dari upaya menguasai, memiliki, atau mengambil manfaat langsung dari hutan.

“Bukit Cogong itu punya historis bencana. Persepsi agar bencana tidak terulang, seperti ini yang dibina. Bagaimana Kelompok Usaha Perhutanan Sosial, atau KUPS, mampu menghubungkan semua kepentingan dan kebutuhan masyarakat tani,” ungkapnya.

Untuk regulasi perhutanan sosial, Bejo mengatakan, ada pembaharuan yang lebih menguntungkan. Misalnya, pada Permen nomor 9 tahun 2021, mengenai izin Pengelolaan Perhutanan Sosial, muncul hak persetujuan yang secara makna lebih baik dari hak kelola.

“Ada juga kemajuan soal (peraturan) itu. Sebagai pendamping, saya kerap dihadapkan pada upaya menerangkan, karena ada juga KPH yang tidak punya banyak penyuluh lapangan. Sehingga, kerja mengajak warga memahami perhutanan sosial harus lebih sering dilakukan,” jelas Edi.

Ketimpangan dan konflik

Akademisi dari Fakultas Perhutanan Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Lulu Yuningsih mengungkapkan banyak hal mengenai perjalanan perhutanan sosial di Sumatera Selatan.

Awalnya, ia menceritakan bagaimana munculnya inisiatif perhutanan sosial sebagai cara menyelesaikan permasalahan ketimpangan akses lahan di Indonesia. Misalnya, akademisi yang fokus pada perhutanan sosial ini menjelaskan, perbandingan antara akses masyarakat tani di Sumatera Selatan atas lahan dengan akses korporasi, terutama korporasi besar.

Ketimpangan ini, jelas Lulu, mengakibatkan bermunculan konflik, terutama di kawasan penting yang kaya kandungan flora dan fauna.

Jauh dari progress (perkembangan) saat ini. Saya menilai ada tantangan perhutanan sosial yang mesti melibatkan banyak pihak, terutama pengambil kebijakan

Lulu Yuningsih, dosen Fakultas Perhutanan Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP)

Pemerintah daerah, kata Lulu, cenderung masih belum paham memanfaatkan sistem perhutanan sosial sebagai solusi konflik. Padahal, akses programnya sangat banyak, bisa berasal dari bidang perkebunan, perhutanan, pariwisata, dan bidang ekonomi kreatif lainnya.

“Saya menyebutnya bukan permasalahan, namun pekerjaan bersama ke depan. Butuh pemahaman dan kolaborasi bersama atas perhutanan sosial di Sumsel ini,” ujar Lulu.

Di tingkat tapak, Lulu menyebutkan bahwa menumbuhkan kesadaran masyarakat tani agar bersedia menjadikan perhutanan sosial sebagai solusi juga butuh proses dan waktu. Masyarakat tani butuh keahlian teknis, adminitrasi, kesadaran berkelompok, hingga persepsi kolektif.

“Pekerjaan di tingkat tapak juga perlu dijawab. Misalnya kajian saya itu, menemukan masih banyak masyarakat inginnya memiliki hutan, persepsi hutan untuk diwariskan, bagaimana hak kelola bisa berumur lebih dari 30 tahun itu,” kata Lulu di akhir wawancara.

Liputan ini didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam program Fellowship Jurnalis Lingkungan “Build Back Better, Efektivitas Skema Perhutanan Sosial dalam Penyelamatan Hutan”, dan pertama kali terbit di Suara.com pada tanggal 19 Juli 2021.

Baca juga:

About the writer

Tasmalinda is a journalist based in Palembang, South Sumatra. She is currently working as an editor at Suara.com, a news website. Living in a culturally rich city of Palembang makes her loves to write...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.