Selami disertasi Radius Setiyawan yang meneliti bias gender dan ekologi dalam materi pendidikan dasar dan konsekuensinya.

bias gender dan ekologi
Ilustrasi. (AI)

Disertasi Radius Setiyawan, yang baru saja meraih gelar Doktor Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), menyoroti persoalan serius dalam dunia pendidikan dasar: bias gender dan bias ekologi yang masih mengakar dalam buku teks Sekolah Dasar.

Dalam sidang terbuka promosi doktor yang digelar di FISIP Unair, Selasa (24/6/2025), Radius mempertahankan disertasinya berjudul “Ideologi Gender dan Ekologi dalam Buku Teks Kurikulum Merdeka: Kajian Ekofeminisme”. Temuannya menunjukkan bahwa buku-buku teks di Sekolah Penggerak masih sarat dengan stereotip gender dan sudut pandang antroposentris.

“Dalam analisis saya, perempuan masih ditampilkan dalam posisi subordinatif dan peran pengasuhan, sedangkan laki-laki mendominasi ruang publik, termasuk dalam ilustrasi kegiatan upacara,” ujar Radius, diakses dari laman resmi, Jumat, 27 Juni 2025.

Melalui pendekatan analisis wacana ala Sara Mills, Radius membongkar cara teks buku menyusun relasi ideologis antara manusia dan alam serta antara laki-laki dan perempuan. Ia menggarisbawahi lemahnya proses seleksi penulis buku teks, yang cenderung mengandalkan narasi dan ilustrasi generik tanpa kepekaan terhadap isu-isu struktural.

“Beberapa konten hanya mengalami perubahan istilah, bukan pembaruan substansi. Ini menunjukkan adanya kekosongan refleksi kritis dalam produksi materi ajar,” tegas Radius, yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya).

Disertasinya juga menelusuri keberlanjutan bias tersebut dari era Orde Baru hingga kini. Radius menempatkan buku teks dalam konteks “Ideological State Apparatus (ISA)”, yakni perangkat institusional yang berfungsi melanggengkan dominasi ideologis negara.

Temuan ini menjadi kritik tajam terhadap sistem pendidikan dasar yang seharusnya membentuk karakter anak secara adil dan berkesadaran lingkungan. Radius menyatakan bahwa buku teks SD memainkan peran krusial karena anak-anak belajar melalui pengamatan, pembacaan, dan peniruan.

“Kalau buku yang dipakai anak-anak sejak dini saja masih menanamkan stereotip gender dan eksploitasi alam, maka kita sedang menanam benih ketimpangan sejak awal,” katanya.

Alih-alih menyerukan penghapusan buku, Radius mendorong evaluasi menyeluruh terhadap isi, narasi, dan aktor-aktor di balik produksi buku ajar, termasuk penulis, penerbit, dan lembaga pendukung. Ia menilai negara harus mengambil peran aktif dalam kurasi dan pengawasan buku teks.

“Pemerintah bisa mengambil peran lebih aktif dalam proses kurasi dan pengawasan, agar nilai-nilai keadilan gender dan kelestarian lingkungan menjadi bagian integral dari materi pembelajaran,” jelasnya.

Radius juga menyebut bahwa analisisnya bisa menjadi masukan penting bagi pengembangan dan evaluasi Kurikulum Merdeka, karena buku teks masih menjadi instrumen utama pembelajaran di mayoritas sekolah dasar.

Dengan kritik yang tajam dan berbasis riset, Radius berharap disertasinya dapat memicu diskusi lebih luas tentang kebutuhan mendesak akan pendidikan dasar yang lebih inklusif, adil secara gender, dan berorientasi ekologis.

Sidang terbuka Radius dipimpin oleh Bagong Suyanto (ketua), dengan delapan anggota, yakni Yuyun Wahyu Izzati, Aribowo; Moh. Adib, Biyanto, Emy Susanti, Sartika Soesilowati, Fitri Mutia, Imam Yuadi.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.