Pembakaran sampah dengan insinerator di Bandung Raya memiliki dampak buruk bagi lingkungan hidup dan manusia.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama komunitas Ngadaur menggelar diskusi publik bertajuk “TPA Ditutup, Lalu Apa? Mencari Arah Baru Pengelolaan Sampah Bandung Raya” di Hutanika, Bandung, Minggu (20/7/2025). Kegiatan ini menjadi respons atas krisis pengelolaan sampah di Bandung Raya pasca terbitnya Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang penutupan seluruh TPA open dumping dalam 12 bulan.
Salah satu yang terdampak adalah TPA Sarimukti, yang sebelumnya terbakar hebat pada Agustus 2023. Peristiwa tersebut menyebabkan lebih dari 8.000 ton sampah menumpuk dan mengganggu layanan dasar warga, menyorot ketergantungan sistem pengelolaan sampah yang sangat terpusat.
Saat ini, Kota Bandung menghasilkan sampah harian sebesar 1.496 ton, mayoritas berasal dari rumah tangga, dengan komposisi organik mencapai 60%. Namun, hanya 53,5% sampah yang berhasil diangkut ke TPA, sementara 24% tidak terkelola sama sekali.
Kepala Bidang LPB3 DLH Kota Bandung, Salam Faruq, menjelaskan bahwa pengurangan sampah dilakukan melalui penguatan TPST, bank sampah, dan pemberdayaan pemulung. Ia mengakui bahwa baru sekitar 30% RW yang mengelola sampah mandiri, dengan target 800 RW hingga akhir tahun.
“Ke depan harapannya jumlah reduksi sampah bisa berkurang. Kami ada konsep baru, yakni kumpul-angkut-olah-musnah-manfaatkan, dengan catatan residu tetap ke TPA,” kata Salam, diakses dari laman resmi, Selasa (2/8/2025).
Namun, dalam diskusi tersebut, pendekatan pemusnahan melalui teknologi insinerator dan RDF mendapat kritik keras. Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, menilai kedua teknologi tersebut memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan dan lingkungan.
“Standar Technology Readiness Level untuk menilai kesiapan teknologi kini dihilangkan, sementara standar emisi dioxin terus dilonggarkan, dan pengukurannya hanya dilakukan lima tahun sekali,” Yuyun mengingatkan.
Yuyun memaparkan bahwa biaya kesehatan akibat insinerator mencapai 132 dolar per ton, tiga kali lipat dari TPA. Ia juga menyoroti bahaya dioxin yang memicu gangguan hormon, kanker, hingga masalah reproduksi.
“Di Indonesia, limbah abu pembakaran tergolong limbah B3, tapi belum diatur jelas. Bahkan, sampel daging dan jeroan sapi di sekitar TPA terbukti mengandung dioxin,” ujarnya.
Yuyun juga menyatakan bahwa RDF bukan solusi karena tetap menghasilkan emisi beracun. “Membangun insinerator atau RDF di setiap kelurahan hanya akan memperluas paparan racun ke masyarakat,” tegasnya.
Ia mengutip UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menekankan pengurangan dari sumber dan melarang pembakaran yang tidak layak secara teknis.
Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutasurya, menyampaikan bahwa pembangunan insinerator tidak sejalan dengan misi Bandung sebagai kota jasa dan wisata.
“Dari UU pengelolaan sampah tujuannya menghemat sumber daya, menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), karena sampah adalah penyumbang kedua metana setelah pertanian dan pengelolaan sampah dialihkan dari tanggung jawab PU menjadi tanggung jawab LH, tapi LH saat ini mendorong cara yang memboros sumber daya alam,” ujarnya.
David menambahkan bahwa sampah organik bisa diselesaikan secara lokal dan kemasan multilayer perlu didesain ulang agar dapat didaur ulang.
“YPBB dengan sistem semi volunteer dapat mengelola sampah sebanyak 39%-70% sampah yang dikelola di setiap wilayah. Dengan model yang sudah ada, perlu ada dukungan dari pemerintah yang perlu melakukan scale up, yang mereplikasi sistem zero waste city,” tambahnya.
Senada dengan itu, Ainun Naim, dosen Teknik Lingkungan ITENAS, menyebutkan bahwa ketergantungan pada TPA harus segera dikurangi.
“Tantangan utamanya adalah lemahnya kehadiran pemerintah di sektor hulu, terutama dalam pengumpulan dan pemilahan,” jelas Ainum.
Ainun juga menyebut sektor perdagangan dan jasa sebagai penyumbang food waste terbesar dan perlunya sistem akuntabilitas bagi sektor industri dan HOREKA.
Rahyang Nusantara, Co-coordinator AZWI, menambahkan transisi sistem persampahan tidak cukup dengan mengganti TPA dengan insinerator.
“Yang kita butuhkan adalah perubahan sistemik yang berakar dari pengurangan sampah di sumber, pengelolaan organik secara lokal, dan penguatan sistem reuse berbasis komunitas,” ujar Rahyang Nusantara.
Kota Bandung masih memilih insinerator
Meski demikian, Pemerintah Kota Bandung tetap memilih pendekatan insinerator. Dalam siaran persnya (8 Juli 2025), Pemkot menyatakan akan membangun insinerator di TPS Baladewa, Cicendo, untuk mengatasi penumpukan sampah yang terjadi sejak Desember 2024.
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, menyampaikan, “Insyaallah mesin akan ditempatkan di sini, dengan kapasitas minimal 10 ton per hari. Bahkan hasilnya bisa dimanfaatkan menjadi paving block.”
Erwin menegaskan bahwa insinerator menjadi solusi agar sampah tidak perlu dibuang ke luar kota. “Kita punya beban 1.496 ton sampah setiap hari, dan selama ini 1.000 ton masih dibuang ke TPA. Kalau terus seperti ini tidak akan selesai. Karena itu kita ingin ubah pendekatannya: olah sampah di tempat, bukan angkut buang,” ujarnya.
Kepala DLH Kota Bandung, Darto, menyampaikan bahwa keterbatasan alat dan akses menjadi kendala utama penanganan TPS. Ia juga menambahkan bahwa pihaknya sedang mencari investor untuk pengadaan insinerator di titik-titik strategis. “Tujuannya agar sampah tidak perlu dibuang ke luar kota, tapi bisa diolah di tempat,” katanya.
Camat Cicendo, Bira Gumbira, menegaskan pentingnya pemilahan sampah di hulu. “Kunci pengelolaan ada di hulu. Pilah sampah organik dan anorganik, agar lebih mudah ditangani di TPS,” ujarnya.
- Kesadaran kolektif bisa jadi kunci atasi masalah sampah di Kota Sorong
- Krisis Sampah di Kota Pontianak bisa jadi potensi ekonomi
- Bahaya penggunaan insinerator dan RDF dalam mengelola sampah
- Jatiwangi dalam bayangan industri dan mimpi Terakota yang berdaulat lingkungan
- Banjir di tengah musim kemarau, bukti nyata krisis iklim
- Bank sampah, harapan penanganan sampah dari rumah