Krisis sampah Kota Sorong menjadikannya sebagai salah satu dari lima kota terkotor di Indonesia untuk kategori kota sedang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan Kota Sorong sebagai salah satu dari lima kota terkotor di Indonesia untuk kategori kota sedang. Predikat ini sebagian besar disebabkan oleh kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sorong yang saat itu dinilai tidak memadai dalam pengelolaan sampah secara komprehensif.

TPA Kota Sorong yang terletak di Jalan Sorong-Makbon, Kelurahan Matalamagi, Distrik Sorong Utara, Kota Sorong Papua Barat Daya, menampung lebih dari 60 ton sampah setiap harinya. Aroma menyengat dan pemandangan sampah yang bertebaran di sepanjang jalan menuju lokasi menjadi gambaran nyata masalah sampah di kota ini.

Berjarak sekitar 10 kilometer dari Bandara DEO Sorong, tempat ini menjadi tujuan akhir dari puluhan ton sampah yang diproduksi warga kota setiap harinya.

Tumpukan sampah di TPA Kota Sorong. (Foto:Mega/TN)

Perjalanan menuju TPA sudah bisa ditebak hanya dari ciri khas aroma menyengat yang terbawa angin, bersamaan dengan lalu-lalang truk-truk sampah yang penuh sesak membawa “muatan kotor” dari seluruh penjuru kota.

Sepanjang jalan nasional menuju lokasi, sampah berceceran di sisi kiri dan kanan jalan, menjadi penanda tak resmi bahwa TPA sudah dekat.

Dahulu, sistem pembuangan di TPA Sorong tergolong seadanya. Sampah hanya ditumpuk di pinggir jalan, mencemari pemandangan sekaligus berpotensi merusak kualitas udara dan tanah di sekitarnya. Situasi ini menjadi salah satu indikator utama yang membuat Sorong mendapat sorotan dari KLHK.

Awal 2024 membawa angin perubahan. Pada 2 Februari 2024, Pj. Wali Kota Sorong saat itu, Septinus Lobat (kini Wali Kota definitif), meresmikan TPA baru yang dibangun lebih jauh dari badan jalan dengan sistem yang lebih terkelola. TPA ini berdiri di atas lahan seluas 10 hektare dan dilengkapi satu sel landfill aktif.

Pembangunan TPA ini merupakan hasil kolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah Papua Barat dengan anggaran tahun 2023. Sistem pembuangan di TPA kini lebih teratur. Setiap lapisan sampah setinggi satu meter langsung dipadatkan dengan alat berat, kemudian air lindi dialirkan ke kolam instalasi pengolahan untuk menetralkan pH agar tidak mencemari lingkungan.

Air lindi, atau leachate, adalah limbah cair yang terbentuk ketika air hujan atau cairan lain merembes melalui timbunan sampah padat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pantauan media ini menunjukkan aktivitas di TPA Sorong sangat padat. Truk-truk sampah dari berbagai penjuru kota, termasuk dari hotel dan sektor usaha, datang silih berganti. Proses pembuangan dilakukan dengan pengawasan ketat petugas dan bantuan operator alat berat untuk mengarahkan sampah ke kolam pembuangan utama.

Meski TPA Sorong kini lebih modern, masalah utama tetap ada, volume sampah yang terus meningkat. Setiap hari lebih dari 60 ton sampah masuk, sebagian besar merupakan sampah rumah tangga yang bercampur tanpa dipilah.

Sejumlah warga sejak pagi memulung sampah yang masih bisa dimanfaatkan. (Foto:Mega/TN)Paket liburan keluarga

TPA Makbon tak hanya menjadi tempat akhir limbah kota, tetapi juga menjadi ladang pencarian nafkah bagi sejumlah warga. Sejak pagi hingga sore, terlihat warga yang memulung kaleng, botol plastik, hingga sisa makanan dari pasar untuk pakan ternak seperti babi.

Predikat sebagai salah satu kota terkotor di Indonesia menjadi cambuk sekaligus tantangan serius bagi Kota Sorong. Namun menurut Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Sorong, Ahmad Yani, hal ini bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Seluruh lapisan masyarakat, katanya, harus ikut andil mengembalikan citra Sorong sebagai kota yang bersih dan tertib.

“Jangan sampai kita terbawa persepsi bahwa Sorong itu kota kotor. Mari kita koreksi diri kita masing-masing. Bisa jadi, kebiasaan buruk kita sendiri yang menyumbang masalah ini,” tegas Ahmad Yani.

Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan pengelolaan sampah di Kota Sorong belum optimal. Yang paling mendasar adalah soal mindset dan kesadaran masyarakat.

“Masyarakat masih terbiasa membuang sampah sembarangan. Bahkan menganggap tempat sampah itu tempat kotor. Padahal, tempat sampah justru harus dijaga kebersihannya,” jelasnya.

Dari data DLH, jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Sorong saat ini mencapai sekitar 60 ton per hari, dengan limbah rumah tangga sebagai penyumbang terbesar.

Pemerintah Kota Sorong, katanya, sudah mendapat sejumlah tawaran untuk membangun TPS terpadu, namun masih dalam tahap pertimbangan. Fokus utama saat ini adalah membangun kesadaran dari lingkup terkecil, yaitu keluarga.

“Kita akan programkan agar setiap rumah memiliki tempat sampah terpilah, untuk organik dan non-organik. Tujuannya agar dari hulu, sampah sudah bisa dikelola dengan benar,” ungkap Ahmad Yani.

Sebagai pejabat baru yang diangkat sejak Juni 2025, Ahmad Yani menargetkan akan aktif turun ke masyarakat, sekolah, dan kelurahan untuk melakukan sosialisasi langsung.

“Setidaknya, kita mulai dari lingkungan terdekat. Misalnya, RT bisa menggelar lomba kebersihan lingkungan agar semangat gotong royong tumbuh,” usulnya.

Sistem Operasional TPA

Setiap hari, ratusan petugas kebersihan sudah bersiap. Mereka mengoperasikan 18 dump truck dan 4 arm roll, membagi kota ke dalam tiga zona kerja: Kampung Baru, tengah kota, dan daerah kilo.

Menurut Yehezkiel Adi, Pengawas Kebersihan DLH Sorong, sistem ini sudah berjalan bertahun-tahun dengan disiplin tinggi. Armada pengangkut bisa melakukan 2–4 kali ritase per hari, tergantung kondisi lapangan. Tercatat ada 21 kontainer yang tersebar di berbagai titik kota

“Kalau hari raya atau banjir, kita bisa angkut empat kali. Kami juga patroli setelah jam kerja karena banyak TPS penuh kembali dalam hitungan jam,” katanya.

Yehezkiel mengungkapkan, tidak semua TPS memiliki frekuensi pengangkutan yang sama. Kontainer di tempat seperti rumah sakit, toko-toko, dan hotel biasanya hanya penuh dalam waktu satu hingga dua hari. Tapi kondisi berbeda ditemukan di TPS yang terletak di titik-titik padat aktivitas penduduk.

“TPS di Klabala, Arteri, Pal Putih, dan area Mangrove, itu harus diangkat tiap hari. Kadang baru saja diangkut pagi, sore sudah penuh lagi,” tutur Yehezkiel.

Meski beroperasi dalam tekanan waktu dan volume sampah yang kadang tak menentu, Yehezkiel menyebut tidak ada tantangan berat yang menghambat kerja lapangan. Semua berjalan karena kekompakan tim dan kesiapan teknis yang baik.

“Kalau ada sopir yang absen atau kendaraan rusak, kami cepat atasi. Kami nggak nunggu lama. Intinya semua petugas tahu peran dan tanggung jawabnya,” tegasnya.

Jam kerja resmi dimulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 15.00 sore. Namun, sebagian besar jalur biasanya rampung hingga pukul 12.00. Setelah itu, petugas diberi waktu istirahat dan makan siang, lalu dilanjutkan dengan patroli ke titik-titik rawan tumpukan sampah.

“Kami tidak hanya angkut lalu selesai. Ada pengawasan setelahnya. Apalagi titik rawan itu kadang muncul lagi sampah hanya dalam hitungan jam,” imbuh Yehezkiel.

Sayangnya, tantangan terbesar justru datang bukan dari teknis atau cuaca ekstrem. Tantangan yang paling sulit diatasi justru adalah perilaku masyarakat itu sendiri.

“Kami sudah pasang papan informasi soal jam buang sampah di TPS. Tapi banyak masyarakat yang buang di luar jam, bahkan sembarangan. Sampai kami angkut pun masih ada warga datang buang seenaknya,” kata Yehezkiel, lirih.

Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, menurutnya, masih belum merata di kalangan warga. Padahal, jika masyarakat mengikuti aturan waktu dan tempat buang sampah, pekerjaan para petugas akan lebih efisien dan lingkungan kota bisa lebih tertata.

Yehezkiel menambahkan, hingga saat ini belum ada alat timbang khusus yang digunakan untuk mengukur volume sampah yang diangkut tiap truk. Karena itu, penghitungan hanya menggunakan satuan ritase, yakni satu rit dianggap sebagai satu kali pengangkutan penuh truk.

Di balik semua itu, ada 141 orang yang menjalankan sistem ini, mulai dari sopir, helper, operator, mekanik, petugas jaga hingga staf pendukung. Merekalah garda terdepan yang memastikan kota tidak tenggelam dalam tumpukan sampah.

Dari Lorong-lorong Permukiman, Gerakan Warga Dimulai

Di tengah hiruk-pikuk Kota Sorong yang terus berkembang, suara perubahan diam-diam datang dari lorong-lorong permukiman. Bukan dari gedung pemerintahan, tapi dari seorang pegiat lingkungan yang lebih dikenal warga dengan sapaan hangat: Mas Lingkungan. 

Nama aslinya Eko Rianto. Dari rumah sederhananya di Komplek Melati Raya, Eko memulai langkah kecil yang kini telah menggerakkan ribuan warga untuk lebih peduli terhadap lingkungan, khususnya persoalan sampah.

Dari Forum ke Yayasan

Perjalanan ini dimulai pada tahun 2010, ketika Eko bersama sejumlah relawan membentuk Forum Komunikasi Gerakan Aksi Lingkungan. Awalnya digagas oleh Pemerintah Kota Sorong, namun sejak 2013 mereka memutuskan untuk berdiri secara mandiri dan menamakan diri Komunitas Peduli Lingkungan.

“Kami ingin bergerak lebih bebas. Lebih leluasa menyampaikan dan mengeksekusi ide-ide,” tutur Eko.

Tahun 2019, komunitas ini resmi berbadan hukum sebagai Yayasan Sorong Peduli Lingkungan dengan SK dari Kemenkumham RI, dan kini tercatat di Kesbangpol Kota Sorong.

Yayasan ini bekerja di lima bidang utama, yakni sampah, air, penghijauan, pengawasan, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar. Namun, isu sampah menjadi prioritas utama.

“Masalah sampah ini bukan cuma soal tumpukan. Ini tentang kesadaran. Tentang perubahan budaya,” tegas Eko.

Motivasi Eko sederhana, menjadi jembatan solusi bagi masyarakat. Mulai dari edukasi, pembentukan dan penataan TPS, hingga pengolahan sampah berbasis rumah tangga.

Salah satu pendekatan yayasan adalah edukasi lingkungan yang menyasar berbagai lapisan masyarakat dari anak usia dini, pelajar, mahasiswa, hingga warga umum. Mereka mengajarkan praktik pemilahan sampah, membuat ecobrick, dan mendaur ulang sampah plastik menjadi barang bermanfaat.

anak-anak diajarkan membuat ecobrick menjadi barang bermanfaat. Doc: Yayasan Sorong Peduli Lingkungan

“Di TPQ Al-Fatah, adik-adik kami ajarkan membuat ecobrick. Di Malasom dan Malawei kami edukasi warga soal pengelolaan sampah rumah tangga. Semua dilakukan bertahap dan konsisten,” ujar Eko.

Untuk sekolah, program sudah berjalan di MAN Insan Cendekia Kabupaten Sorong, SD di dekat Tugu Pawbili, Al-Izzah, dan SMP Alam Inspirasi. Bahkan, mereka mendorong sekolah binaannya mengikuti Proklim—Program Kampung Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Selain edukasi, Eko juga menjalankan Bank Sampah Unit Melati Raya, di rumahnya sendiri. Di tempat ini, masyarakat bisa menabung sampah seperti botol plastik, kardus, dan kertas, yang kemudian dikumpulkan dan dijual ke pengepul. Hasilnya, warga tidak hanya membantu menjaga lingkungan, tetapi juga mendapatkan penghasilan tambahan.

“Kami tidak punya armada angkut atau gudang, semua serba terbatas. Tapi kami yakin, selama semangat ada, jalan akan terbuka,” katanya dengan senyum.

Perubahan nyata mulai tampak. TPS di Kelurahan Klasabi dan Kladufuk yang dulu kotor dan tidak terurus kini sudah rapi, tidak bau, dan bahkan membuka lapangan kerja. Di Melati Raya, jumlah penjaga TPS bertambah dari satu menjadi empat orang, dengan pendapatan harian sekitar Rp150 ribu.

Namun Eko tak mau cepat puas. “Tantangan kami sekarang adalah bagaimana sistem seperti ini bisa diterapkan di seluruh Kota Sorong. Tapi kami sadar, semua itu proses dan butuh kolaborasi,”katanya.

Di balik semua pencapaian, tantangan terbesar tetap sama, yakni minimnya pendanaan dan kesadaran masyarakat. Hingga kini, yayasan belum memiliki donor tetap. Semua kegiatan berjalan secara swadaya.

Menurutnya, kesadaran warga pun belum sepenuhnya tumbuh. Ajakan tidak membuang sampah sembarangan, kadang tidak diindahkan. Bahkan di bantaran kali, masih ada warga yang membuang sampah meski sudah diberi himbauan.

“Bukan tidak peduli. Kadang mereka hanya belum terbiasa. Di sinilah kami hadir, bukan untuk menggurui, tapi mendampingi,” tegas Eko.

Di tengah segala keterbatasan, Eko dan tim tidak kehilangan harapan. Ia bermimpi Sorong punya sistem persampahan yang rapi, TPS-TPS yang bersih dan produktif, serta warga yang sadar memilah sampah dari rumah.

“Kami ingin, tak perlu jauh-jauh. Dari rumah saja warga sudah bisa memilah. Jangan buang sampah ke kali. Jangan bakar sampah di pekarangan. Kalau punya mobil bagus, masa buang sampah di jalan? Bawa saja ke TPS.”

Ia juga berharap lebih banyak pihak ikut mendukung, dari masyarakat, komunitas, hingga stakeholder yang bisa memberikan dukungan nyata.

“Bagi kami, semangat harus jalan dulu. Kalau sudah bergerak, Tuhan pasti bukakan jalan dan mempertemukan dengan orang-orang baik yang punya visi yang sama,”tutupnya.

Akademisi dan Aksi Nyata: Saat Kampus Turun Tangan

Kaprodi Teknik Lingkungan Universitas Al-Amin (Unamin) Sorong, Nurbiah, mengungkapkan kondisi pengelolaan sampah di Kota Sorong yang dinilainya masih belum terpadu dan jauh dari prinsip pengelolaan berkelanjutan.

Ia menyampaikan bahwa data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Sorong tahun 2023 menunjukkan bahwa mayoritas sampah yang dihasilkan adalah sampah organik.

“Sampah organik mendominasi dengan persentase sekitar 55 persen dari total timbulan sampah,” ungkap Nurbiah.

“Setelah itu diikuti oleh sampah plastik sebanyak 28 persen, kertas 5 persen, logam 5 persen, dan sampah B3 rumah tangga sekitar 3 persen,”tambahnya.

Tumpukan sampah di TPA Kota Sorong . (Foto:Mega/TN)

Sumber utama sampah pun disebut berasal dari rumah tangga, yang menyumbang hingga 60 persen dari total timbulan sampah. Disusul oleh pasar dan pusat perbelanjaan (20 persen), sekolah dan perkantoran (10 persen), serta kawasan wisata dan pelabuhan (5 persen) dan industri kecil (5 persen).

Menurut Nurbiah, permasalahan terbesar dalam pengelolaan sampah di Kota Sorong adalah tidaknya adanya sistem yang terpadu dan terstruktur. Ia menyoroti beberapa isu utama yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah maupun masyarakat, di mana masih banyak pembakaran sampah secara sembarangan, rendahnya tingkat daur ulang di rumah tangga, minimnya edukasi dan kampanye pengelolaan sampah kepada masyarakat, banyaknya TPS liar yang tidak ditangani serius.

“Di rumah-rumah pun, belum tentu ada kemauan untuk memilah sampah. Banyak warga belum sadar pentingnya pemilahan dan daur ulang,” tambahnya.

Sebagai akademisi, pihaknya juga telah melakukan riset terhadap pengelolaan sampah di Pasar Remu, menggunakan acuan SNI 192454:2022. Hasilnya menunjukkan bahwa pasar tersebut belum memenuhi standar nasional dalam pengelolaan sampah.

“Temuan kami menunjukkan bahwa sistem di Pasar Remu masih jauh dari standar nasional. Hal ini harus menjadi perhatian serius, mengingat pasar adalah salah satu penghasil sampah terbesar setelah rumah tangga,” ujarnya.

Dalam pandangan Nurbiah, pengelolaan sampah yang efektif bisa dimulai dari langkah-langkah yang sederhana namun strategis. Adapun beberapa solusi yang ia tawarkan yakni pemetaan dan Penertiban TPS Liar. Di mana Lokasi TPS ilegal harus diidentifikasi dan segera ditertibkan. Pemerintah perlu melegalkan dan memperkuat keberadaan TPS resmi, disertai sanksi tegas bagi pelanggar.

Selanjutnya kampanye edukasi lingkungan berupa sosialisasi intensif perlu dilakukan ke sekolah, kampus, serta RT/RW guna membangun kesadaran kolektif masyarakat sejak dini.
Kemudian program satu rumah, satu tempat sampah terpilah, dengan mendorong setiap rumah tangga untuk memilah sampah sejak dari sumbernya.

Menurutnya, program ini dapat mengurangi timbulan sampah sembarangan dan mendorong budaya daur ulang.

Sebagai bagian dari tanggung jawab akademik, Fakultas Teknik Unamin telah menjalankan program Work Clean Day. Kegiatan ini melibatkan mahasiswa dalam pelatihan, sosialisasi, dan aksi bersih-bersih lingkungan langsung di tengah masyarakat.

“Kami bekali mahasiswa dengan pemahaman dan keterampilan, lalu mereka terjun langsung mengedukasi masyarakat serta melakukan aksi nyata,” jelasnya.

Menurut Nurbiah, kondisi pengelolaan sampah saat ini masih belum memungkinkan Kota Sorong untuk menerapkan konsep zero waste secara penuh. Ia menilai bahwa praktik dasar seperti pemilahan sampah di rumah bahkan belum dijalankan secara konsisten.

“Kalau kita lihat, bahkan di pusat perbelanjaan masih menggunakan kantong plastik. Padahal, upaya menuju zero waste bisa dimulai dari hal sederhana seperti membawa tas belanja sendiri dan menghindari plastik sekali pakai,” tutupnya.

Ketika Warga Memilih Tidak Menunggu Pemerintah

Tepat di belakang taman kota tua yang menjadi saksi sejarah berdirinya Kota Sorong, berdiri sebuah tumpukan sampah yang perlahan menjadi simbol ironi. Taman Moses, tugu yang dibangun sejak tahun 1960-an bersebelahan langsung dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang kini menjadi titik krisis lingkungan di Kelurahan Klabala, Distrik Sorong Kota.

Di tengah keterbatasan pengawasan, seorang warga seperti Elisa Urath memilih untuk bertindak. Elisa Urath, adalah seorang pemuda asli kelurahan Klabala, telah lebih dari dua tahun menjadi penjaga tak resmi TPS tersebut.

Tanpa digaji, tanpa seragam, tanpa jabatan formal. Namun tekadnya satu, yakni menjaga lingkungan tempat ia dilahirkan agar tak terus tercemar oleh ketidakpedulian baik dari warga maupun dari pemerintah.

Elisa kerap berdiri di sekitar TPS untuk menegur setiap warga yang membuang sampah sembarangan. (Foto:Mega/TN)

“Kami ini anak-anak muda yang peduli lingkungan, bukan karena ada anggaran, tapi karena ini kelurahan kami. Saya sudah dari tahun 2022 di sini. Ini taman kota pertama di Sorong, tapi kondisinya sangat menyedihkan,” ujar Elisa kepada Teropong News, saat ditemui di sekitar area TPS yang kini dipalang sebagian oleh warga.

Ironisnya, hanya beberapa meter dari taman yang harusnya menjadi ruang publik yang nyaman, tumpukan sampah menggunung, berserakan bahkan ke badan jalan.

TPS tersebut, menurut Elisa, bukan hanya menampung sampah dari warga Klabala, tetapi juga dari kelurahan sekitar. Ditambah lagi, kawasan tersebut termasuk zona komersial berjejer hotel, rumah makan, tempat hiburan malam yang sampahnya dibuang secara masif terutama saat malam hari, setelah aktivitas usaha berakhir.

“Paling banyak dibuang larut malam. Sampah dari warung, tempat hiburan, rumah makan, semua larinya ke sini. Apalagi kalau hujan, baunya menyengat, dan sampah mengalir sampai ke depan jalan,” keluh Elisa.

Penempatan kontainer oleh dinas juga dianggap tidak strategis. Bahkan, armada pengangkut sampah kerap terkendala karena adanya pemalangan dari warga yang menurut Elisa justru dilakukan untuk mengatur lalu lintas pembuangan.

Aktivitas warga membuang sampah di TPS Klabala. (Foto:Mega/TN)

“Kalau akses jalan ke TPS dibuka, maka warga yang lewat hanya lempar sampah begitu saja. Kadang tidak masuk ke kontainer, akhirnya berserakan ke jalan. Jadi kami palang agar kendaraan tidak sembarangan buang,” ujarnya.

Namun di sisi lain, pemalangan tersebut justru membuat truk pengangkut sulit masuk. Akibatnya, sampah menumpuk dan tak diangkut selama berhari-hari. Sebuah lingkaran setan yang tak kunjung diputus. Elisa juga menyayangkan sikap kelurahan yang menurutnya sangat dekat secara geografis, namun sangat jauh dari segi tanggung jawab.

“Padahal jaraknya dari kelurahan ke TPS tidak sampai satu kilometer, tapi tidak ada pengawasan. Tidak ada tanggapan. Padahal ini wajah kota,”ungkapnya.

Ia menekankan bahwa sebagai pintu masuk ke Papua, Sorong seharusnya tampil bersih dan rapi, bukan justru menyuguhkan pemandangan gunungan sampah kepada para tamu yang datang dari luar kota.

“Coba bayangkan, ini dekat hotel. Kalau pejabat atau tamu luar kota datang, mereka pasti lihat. Bagaimana nama baik kita? Ini TPS paling brutal dan terburuk,” katanya tegas.

Elisa bersama rekan-rekannya memilih bertindak. Ia kerap berdiri di tepi jalan, menegur setiap warga yang membuang sampah sembarangan. “Om, maju sedikit. Jangan buang di situ,” katanya menirukan suaranya saat menegur.

Di akhir wawancara, Elisa menyerukan satu hal yakni pemerintah harus datang langsung melihat.

“Tinjau langsung ke lapangan, jangan cuma duduk di belakang meja. Kita butuh sistem pengelolaan sampah yang teratur. Kontainer harus diletakkan di tempat yang bisa dijangkau truk. Akses jalan harus disesuaikan agar warga tidak buang sembarangan,” pungkasnya.

Reportase ini didukung oleh Ekuatorial.Com bersama Earth Journalism Network – Internews. Pertama kali terbit di TeropongNews.Com

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses