Kematian manusia akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan 55.000 orang per tahun. Di Indonesia dilaporkan rata-rata 125 kematian manusia setiap tahun.

Bali bebas rabies https://buleleng.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/72_bahaya-penyakit-rabies
Ilustrasi anjing rabies (buleleng.bulelengkab.go.id)

Rabies masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat, keamanan, dan citra pariwisata Bali. Dalam upaya memperkuat langkah eliminasi penyakit zoonosis ini, Universitas Udayana melalui Fakultas Kedokteran Hewan menegaskan kembali komitmen menuju “Bali Bebas Rabies 2030”.

Komitmen itu disampaikan dalam Seminar Nasional dan Workshop Veteriner III Tahun 2025 bertema “Bersama Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Hewan dan Zoonosis: Menuju Bali Bebas Rabies 2030” yang digelar di Inna Sindu Beach Hotel, Sanur, Denpasar, 17 Oktober 2025.
https://www.unud.ac.id/in/berita7697-Universitas-Udayana-Tegaskan-Komitmen-Menuju-Bali-Bebas-Rabies-2030-melalui-Seminar-Nasional-dan-Workshop-Veteriner-III-2025.html

Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai unsur, termasuk Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian RI I Ketut Wirata; Ketua Kelompok Ahli Provinsi Bali I Made Damriyasa; Bandesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet; serta akademisi, peneliti, organisasi profesi, dan perwakilan lembaga pemerintah dan NGO.

Perwakilan dari 12 Fakultas Kedokteran Hewan di seluruh Indonesia, seperti UGM, IPB, UNAIR, Hasanuddin, Andalas, Brawijaya, Unpad, Undana, dan Warmadewa, juga hadir memperkuat kerja sama lintas sektor dalam upaya eliminasi rabies.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Udayana Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya menegaskan bahwa rabies bukan sekadar masalah teknis veteriner.

“Kita berkumpul bukan sekadar memenuhi kewajiban akademik, tetapi menyalakan kembali api perjuangan yang lahir dari keprihatinan mendalam. Rabies bukan hanya data statistik, ia adalah jeritan dan kehilangan,” ujarnya.

Ia menilai misi “Bali Zero Rabies by 2030” merupakan deklarasi perang terhadap penyakit zoonosis yang sebenarnya dapat dicegah. Universitas Udayana, katanya, siap berada di garis depan melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

Sementara Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana I Gusti Ngurah Sudisma menekankan bahwa kegiatan ini merupakan wujud nyata komitmen perguruan tinggi dalam berkontribusi pada kesehatan masyarakat dan kesejahteraan hewan.

“Kegiatan ini bukan sekadar forum akademik, tetapi momentum untuk menyatukan semangat dan tujuan besar: berkontribusi nyata terhadap penanganan rabies dan mewujudkan semangat Kampus Berdampak,” ujarnya.

Sudisma menjelaskan bahwa seminar ini diharapkan menghasilkan Pedoman Operasional Penanganan Rabies sebagai dokumen kolaboratif antara riset ilmiah, pengalaman lapangan, dan kebijakan lintas sektor.

“Kami ingin memastikan hasil forum ini bukan sekadar laporan kegiatan atau publikasi ilmiah, tetapi menjadi dokumen rujukan nasional yang bisa diterapkan dan disempurnakan bersama,” tambahnya.

Seminar terbagi dalam dua sesi pleno yang dipandu I.B. Windia Adnyana, dokter hewan dari dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pleno pertama menampilkan paparan dari Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI dengan topik “Situasi Rabies dan Kebijakan Pengendalian Penyakit Rabies pada Hewan.”

Paparan selanjutnya oleh Koordinator Kelompok Ahli Pembangunan Provinsi Bali membahas “Estafet Regulasi dan Penegakan Hukum dalam Pengendalian Rabies di Bali.”

Pada pleno kedua, Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali memaparkan *“Peran Adat dan Budaya dalam Mendukung Program Bali Bebas Rabies.” Sesi dilanjutkan dengan paparan akademik oleh I.B. Windia Adnyanadengan topik “Menuju Bali Bebas Rabies 2030: Strategi Terpadu untuk Zero by 30.”

Faktor Risiko Rabies pada Anjing di Bali Masih Tinggi

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus rabies dan bersifat sangat fatal. Secara global, kematian manusia akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun, sementara di Indonesia dilaporkan rata-rata 125 kematian manusia setiap tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh I Nyoman Dibia, Bambang Sumiarto, Heru Susetya, Anak Agung Gde Putra, dan Helen Scott-Orr dalam Buletin Veteriner BBVet Denpasar Vol. XXVII No. 86 Juni 2015 mengidentifikasi sejumlah faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian rabies pada anjing di Bali.

Kasus rabies pertama kali dilaporkan di Bali pada November 2008 di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung. Sejak itu, wabah menyebar ke seluruh kabupaten dan kota di provinsi ini. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan melalui penerapan prosedur Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia (Kiatvetindo) Rabies, namun setelah lebih dari tiga tahun berjalan, kasus rabies pada hewan masih ditemukan setiap bulan.

Hewan yang dikonfirmasi tertular rabies di Bali mencakup anjing, kucing, babi, kambing, dan sapi. Namun, hingga kini hanya anjing yang diketahui berperan sebagai pelestari siklus rabies di Bali. Kondisi ini menunjukkan penyebaran penyakit yang luas dan berkelanjutan, sehingga faktor-faktor risiko pada anjing perlu dikaji secara mendalam.

Vaksinasi Massal dan Risiko Infeksi

Vaksinasi massal dikenal sebagai metode paling efektif untuk mengendalikan rabies sejak tahun 1920-an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status vaksinasi memiliki asosiasi sangat kuat dengan kejadian rabies pada anjing di Bali. Artinya, anjing yang tidak divaksin memiliki risiko terinfeksi rabies 19,13 kali lebih besar dibandingkan dengan anjing yang telah divaksinasi.

Penelitian ini sejalan dengan hasil di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, yang melaporkan risiko infeksi meningkat 121 kali pada anjing yang tidak divaksin. Vaksin rabies terbukti efektif menstimulasi antibodi netralisasi dengan durasi kekebalan protektif hingga 5 bulan (Faizah et al., 2012), dan hingga 9 bulan dalam kondisi lapangan (Dartini et al., 2012).

WHO merekomendasikan minimal 70% populasi anjing di daerah tertular harus divaksin untuk membentuk herd immunity yang mampu mencegah penyebaran penyakit.

Kontak Antar Anjing Tingkatkan Penularan

Penularan rabies umumnya terjadi melalui gigitan atau luka yang terkontaminasi virus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat kontak antar anjing berasosiasi kuat dengan kejadian rabies. Anjing yang pernah kontak dengan anjing lain berisiko 12,55 kali lebih besar terinfeksi dibandingkan anjing yang tidak memiliki riwayat kontak.

Tingginya kasus rabies pada anjing yang dilepasliarkan (81%) dibandingkan dengan anjing yang diikat atau dikandangkan (2%) menunjukkan bahwa kebiasaan masyarakat Bali yang memelihara anjing secara bebas meningkatkan peluang kontak dan penularan.

Menghindari kontak antara anjing peliharaan dan anjing lain di daerah endemis menjadi langkah biosekuriti penting untuk mencegah rabies.

Jumlah Kepemilikan Anjing

Penelitian juga menunjukkan bahwa jumlah anjing yang dipelihara berpengaruh terhadap risiko rabies. Sebanyak 51% pemilik anjing kasus dan 75,5% pemilik anjing kontrol hanya memelihara satu ekor anjing.

Analisis menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan berasosiasi signifikan dengan kejadian rabies. Anjing yang dipelihara oleh pemilik dengan lebih dari satu anjing memiliki risiko 2,96 kali lebih besar tertular rabies dibandingkan dengan anjing dari pemilik yang hanya memelihara satu ekor.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa perhatian terhadap kesehatan hewan peliharaan cenderung lebih baik jika pemilik hanya memiliki satu anjing.

Penelitian ini menegaskan bahwa pengendalian rabies pada manusia sangat bergantung pada pengendalian rabies pada anjing. Vaksinasi massal yang berkelanjutan, pembatasan kontak antar anjing, dan peningkatan kesadaran pemilik menjadi kunci utama untuk menekan risiko penyebaran rabies di Bali.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses