Inisiatif koeksistensi harmonis antara masyarakat dengan gajah sumatera di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Sumatera Selatan
Populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) berada di titik kritis. Angka-angka statistik melukiskan gambaran suram. Dari perkiraan 2.800 hingga 4.800 individu di era 1980-an, data terakhir pada 2019 menunjukkan jumlahnya di alam liar mungkin hanya tersisa 928 hingga 1.379 individu.
Mereka kini terdesak, tersebar di 23 “kantong” populasi yang terisolasi satu sama lain di Pulau Andalas.
Di balik penurunan drastis ini, ada tiga pemicu utama: kehilangan habitat akibat alih fungsi hutan, perburuan liar, dan konflik yang tak kunjung usai dengan manusia. Interaksi negatif antara manusia dan gajah, yang semakin intens dalam satu dekade terakhir, menjadi ganjalan serius bagi upaya konservasi.
Namun, di tengah tantangan itu, sebuah gagasan didorong kuat di panggung global: koeksistensi. Pada forum internasional IUCN World Conservation Congress di Abu Dhabi, UEA, 11 Oktober 2025, Belantara Foundation bersama Universitas Pakuan menyuarakan pendekatan ini.
Dalam panel diskusi yang diinisiasi oleh Conservation Allies, mereka mempresentasikan paparan bertajuk “Mengupayakan Koeksistensi: Dari Konflik Gajah menuju Sebuah Harmoni di Lanskap Industri”.
Fokus utama presentasi itu tertuju pada Lanskap Sugihan-Simpang Heran di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kawasan ini adalah rumah bagi salah satu kantong populasi terpenting, dengan sekitar 100-120 individu gajah liar yang bertahan hidup. Tantangannya masif.
Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation yang juga dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, menjelaskan bahwa lanskap ini adalah sebuah “kawasan mosaik”.
“Dari total luas 600.000 hingga 700.000 hektar, hanya sekitar 75.000 hektar (sekitar 10-12%) yang berstatus Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Sisanya adalah bentang alam yang didominasi oleh hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, sawah-ladang, dan pemukiman masyarakat,” paparnya.
Di lanskap yang terfragmentasi inilah gajah-gajah hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah. Konflik pun nyaris tak terhindarkan. “Saat gajah memasuki lahan masyarakat untuk mencari makan, kerugian ekonomi yang ditimbulkan dapat menurunkan level toleransi warga terhadap kehadiran satwa bongsor tersebut,” imbuh Dolly.
Merajut solusi harmoni
Di sinilah konsep koeksistensi ditawarkan sebagai solusi inovatif. Ini bukan sekadar upaya memisahkan, tetapi mencari cara agar manusia dan gajah dapat hidup berdampingan secara harmonis.
“Selain mengoptimalkan fungsi koridor ekologis yang telah disepakati para pemangku kepentingan untuk mengakomodasi terjadinya interaksi gajah antar kelompok, diperlukan upaya jitu untuk solusi terbaik atas semakin seringnya rombongan gajah liar masuk desa dan memakan tanaman padi masyarakat,” ujar Dolly.
Dolly percaya, meski tidak mudah, harmoni bisa dicapai. Kuncinya adalah sinergi semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, para pelaku usaha, lembaga konservasi, akademisi, hingga media, untuk bahu-membahu membangun strategi bersama.
“Diperlukan adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak agar hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan gajah sumatra yang kita impikan bersama dapat terwujud,” lanjutnya.
Upaya konkret pun telah dirintis di lapangan. Menurut Dolly, untuk mendukung upaya tersebut, sejauh ini upaya yang kami lakukan bersama para mitra berfokus pada beberapa aspek prioritas, antara lain peningkatan kapasitas bagi kelompok mitigasi konflik manusia-gajah. Mendukung infrastruktur mitigasi konflik seperti menyediakan menara pemantauan, kegiatan penyadartahuan dan edukasi bagi anak-anak usia dini, serta pengayaan pakan gajah.
“Dan menyediakan “artificial saltlicks” (tempat menggaram buatan) di dalam kawasan hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan mineral yang menjadi nutrisi tambahan bagi gajah,” pungkas Dolly.
Dukungan lintas batas
Inisiatif untuk mencari jalan tengah ini mendapat dukungan kuat dari mitra internasional. Dr. Paul Salaman, President of Conservation Allies, menegaskan komitmen mereka untuk menggalang dukungan global.
“Kami berkomitmen kuat untuk mendukung program konservasi gajah sumatra yang dijalankan Belantara Foundation di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan melalui hibah, penggalangan dana publik, serta peningkatan kapasitas yang dibutuhkan. Dana yang terkumpul akan dikelola secara transparan dan dialokasikan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan di lapangan,” tegas Paul.
Dukungan serupa datang dari Pemerintah Indonesia. Dirjen KSDAE Kemenhut RI, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Agr.Sc., yang turut mengikuti panel diskusi, mengapresiasi kemitraan tersebut.
Prof. Satyawan menekankan status gajah sumatra yang sangat dilindungi, baik oleh Peraturan Menteri LHK P.106/2018, status Critically Endangered (Kritis) di IUCN Red List, maupun larangan perdagangan internasional melalui CITES Appendix 1.
“Inisiatif ini sangat bagus. Kami berharap bahwa program ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam meminimalkan interaksi negatif manusia-gajah. Dapat mengubahnya menjadi sebuah koeksistensi yang harmonis antara masyarakat dengan gajah sumatra di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan,” pungkas Satyawan.
Jalan menuju harmoni di lanskap yang kian terdesak ini masih panjang. Namun, kolaborasi multi-pihak yang didorong di forum global ini setidaknya menyalakan asa baru bagi masa depan sang raksasa Andalas.
- Gajah Sumatera di ujung tanduk. Mampukah koeksistensi menjawab konflik di lanskap industri?
- Kemitraan global menjawab konflik gajah dan manusia di Sumatera Selatan
- Macan tutul tersesat ke hotel di Bandung, populasi di alam kian menyusut
- Rahayu Oktaviani, perawat nyanyian Owa Jawa
- Yayasan Kolase ajak jurnalis pertajam liputan isu trenggiling
- Menanti keberhasilan rehabilitasi macan tutul