Prabowo menyuarakan ambisi besar: Indonesia mencapai 100% energi terbarukan dalam satu dekade
Di satu panggung, Presiden Prabowo Subianto menyuarakan ambisi besar: Indonesia mencapai 100% energi terbarukan dalam satu dekade, dengan 100 GW pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menerangi desa-desa. Sebuah visi masa depan yang bersih, mandiri, dan modern.
Namun, di panggung lain yang lebih senyap—sebuah dokumen resmi yang dikirimkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—tergambar cerita yang sangat berbeda. Dokumen bernama Second Nationally Determined Contribution (SNDC) itu, yang seharusnya menjadi peta jalan aksi iklim Indonesia, justru dinilai gagal menerjemahkan visi sang presiden. Alih-alih berlari kencang menuju energi bersih, dokumen tersebut seolah memilih untuk berjalan di tempat.
Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga pemikir energi, menyoroti jurang pemisah antara retorika dan realita ini. Menurut mereka, SNDC yang diserahkan ke Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada akhir Oktober 2025 itu tidak menunjukkan percepatan transisi energi yang berarti.
“Sebaliknya, ia masih membuka ruang bagi peningkatan emisi gas rumah kaca hingga tahun-tahun mendatang,” kata CEO IESR, Fabby Tumiwa.
Masalah utamanya, sambung Fabby, terletak pada penundaan. SNDC memproyeksikan puncak emisi dari sektor energi baru akan terjadi pada tahun 2038, tiga tahun lebih lambat dari target sebelumnya. Artinya, Indonesia baru akan benar-benar mulai mengerem laju emisi setelah tahun 2035—sebuah jadwal yang dianggap para ahli sudah sangat terlambat untuk menjawab krisis iklim global.
Strategi yang diandalkan pemerintah dalam dokumen tersebut juga problematis. Untuk mencapai target penurunan emisi, Indonesia masih bersandar pada kemampuan sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) sebagai penyerap karbon utama.
Akibatnya, sektor energi—penyumbang emisi terbesar—justru diberi kelonggaran untuk meningkatkan polusinya hingga 103% pada tahun 2035. Ini seperti menambal lubang di satu sisi perahu, sembari membiarkan lubang yang lebih besar menganga di sisi lainnya.
Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa arah kebijakan ini tidak hanya bertentangan dengan kebutuhan iklim, tetapi juga dengan visi Presiden Prabowo dan realitas ekonomi saat ini.
“Dengan potensi 3.800 GW energi terbarukan dan biaya PLTS serta baterai yang semakin menurun, Indonesia seharusnya bisa mempercepat transisi,” ujar Fabby. “PLTS dan Battery Energy Storage System (BESS) kini lebih kompetitif dibanding PLTU. Jika PLTU tua terus dipertahankan, Indonesia justru kehilangan peluang mendapatkan listrik yang lebih murah.”
Paradoks terbesar, menurut Fabby, terletak pada asumsi ekonomi yang mendasari SNDC. Dokumen tersebut masih mencerminkan kekhawatiran lama bahwa aksi iklim yang ambisius akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal, studi Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang dibuat oleh Bappenas sendiri telah membuktikan sebaliknya: transisi menuju ekonomi hijau justru mampu mendorong pertumbuhan yang lebih berkualitas dan berkelanjutan.
Penundaan ini bukan tanpa konsekuensi. IESR memperingatkan bahwa semakin lama Indonesia menunda transisi, biaya yang harus ditanggung di masa depan akan semakin mahal. Risiko kegagalan memenuhi komitmen dalam Perjanjian Paris pun semakin besar.
Agar tetap sejalan dengan target menahan pemanasan global di angka 1,5°C, emisi absolut Indonesia pada 2035 seharusnya berada di kisaran 720 juta ton COe, jauh di bawah proyeksi yang tertera dalam SNDC saat ini.
Pada akhirnya, SNDC terbaru ini lebih terasa seperti pembaruan administratif ketimbang sebuah terobosan strategis. Ambisi politik untuk membangun 100 GW PLTS di perdesaan dan mencapai 100% bauran energi terbarukan belum tercermin dalam langkah-langkah konkret di dokumen resmi ini.
Kini, Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada jalan yang ditawarkan teknologi dan visi kepemimpinan: percepatan transisi yang tidak hanya baik bagi iklim, tetapi juga bagi ekonomi. Di sisi lain, ada jalur birokrasi yang lamban dan penuh kehati-hatian, yang berisiko membuat Indonesia tertinggal.
“Dengan harga energi terbarukan yang makin kompetitif, pemerintah justru perlu berani memensiunkan PLTU lama dan memperluas PLTS. Ini sejalan dengan visi presiden sekaligus menjaga daya saing ekonomi nasional,” pungkas Fabby.
Pertanyaannya kini adalah, jalan mana yang akan benar-benar ditempuh Indonesia?
- Jelang COP30 di Brazil, visi energi terbarukan Prabowo tersandung SNDC
- Tafsir Ayat-Ayat Ekologi, ikhtiar meyembuhkan luka bumi Indonesia
- Resep kedaulatan pangan Cireundeu di tengah krisis iklim
- Siapa yang mendanai kerusakan lingkungan atas nama transisi hijau?
- Dari kampus ke desa adat: jalan panjang menuju Bali bebas rabies
- Bagaimana persiapan Indonesia menuju COP30 di Brazil?