SNDC Indonesia mengakui pentingnya restorasi dan mencantumkan moratorium izin baru konversi hutan primer. Tapi, proyek skala luas terus mengubah area esensial termasuk ekosistem gambut
Setelah menuai banyak kritik, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akhirnya menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) pada Senin (27/10/2025). Dokumen ini hadir dengan target ambisius: menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% pada tahun 2024 dan memproyeksikan mencapai 8% pada tahun 2029 untuk mengurangi tingkat kemiskinan menjadi 4,5-5%. Bahkan, skenario paling ambisius (LCCP-H) SNDC mengasumsikan pertumbuhan 7,0% pada 2030 dan 8,3% pada 2035.
Namun, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diiringi keraguan serius dari aktivis lingkungan dan ekonomi. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, meragukan implementasi dokumen tersebut, khususnya terkait solusi yang dinilai belum berkelanjutan.
“Penyelenggaraan COP30 yang dilaksanakan di Brasil, tidak lebih dari negosiasi antar negara dalam mempromosikan hutan, energi, dan sumber daya alam kepada perusahaan penghasil emisi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai solusi yang tidak berkelanjutan yang diinisiasi melalui program Prabowo dalam menekan laju emisi. Misalnya, skema pasar karbon. Ini bukan solusi mengurangi emisi, melainkan perilaku dan kebijakan pemerintah yang memberikan ruang pada sektor penghasil emisi tinggi,” ungkap Bhima Yudhistira, Rabu (19/11/2025).
Salah satu sorotan utama adalah tidak adanya komitmen pensiun PLTU batubara dan coal phase out dalam SNDC. Bhima menjelaskan dampak emisi karbon dari 20 PLTU paling berisiko bagi target iklim Indonesia. Emisi ini tidak hanya berdampak pada iklim, tetapi juga kesehatan dan ekonomi masyarakat.
“Selain emisi karbon, polutan PM2.5 ikut menambah risiko beban ekonomi. Kerugian dari sisi kesehatan akan mencapai 1.813 triliun rupiah,” jelas Bhima.
Dampak kerugian juga akan dirasakan langsung oleh masyarakat akar rumput. “Emisi karbon dari 20 PLTU paling toxic akan menyebabkan kerugian pendapatan masyarakat hingga 48,4 triliun rupiah per tahunnya. Hingga saat ini, tidak ada komitmen pemerintah untuk mempercepat pensiun PLTU batubara,” pungkas Bhima.
Ancaman nyata di ekosistem gambut dan laut
Sementara fokus beralih ke energi, kawasan esensial ekosistem gambut justru minim mendapatkan perhatian. Padahal, sebagian besar emisi Indonesia (63%) disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dan kebakaran gambut serta hutan, sementara pembakaran bahan bakar fosil berkontribusi sekitar 19% dari total emisi. Laporan BUR ketiga bahkan menegaskan peningkatan emisi didominasi oleh Land Use Change and Forestry (LUCF) termasuk kebakaran gambut (50,13%).
Meskipun SNDC memuat target ambisius, termasuk restorasi lahan gambut sekitar 2 juta hektar dan rehabilitasi seluas 8,3 juta hektar melalui rewetting dan revegetasi, kebijakan nasional lainnya justru menghadirkan ancaman serius.
Syafiq Gumilang, Manajer Riset Pantau Gambut, melihat adanya paradoks antara janji di atas kertas dan realitas di lapangan. SNDC telah mencantumkan aksi mitigasi seperti moratorium izin baru untuk konversi hutan primer serta target restorasi lahan gambut.
“Situasi ini paradoks dengan realita yang terjadi, ini dibuktikan dengan banyaknya proyek pembangunan yang mengubah area esensial skala luas termasuk ekosistem gambut. Sedangkan sumber emisi di sektor FOLU lahir atas praktik deforestasi, kebakaran, dan alih fungsi lahan. Rata-rata kontribusi per tahunnya FOLU (51,5%), transportasi (12,5%), listrik dan panas (11,4%),” jelas Syafiq.
Ia mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. “Harusnya pemerintah Indonesia dengan serius melakukan moratorium permanen industri ekstraktif dan perkebunan yang telah nyata merusak ekosistem gambut. Dalam analisis kami, 3,3 juta hektar luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan, 407.267,537 hektar berada di Kesatuan Hidrologis Gambut. 72% masuk dalam kategori rentan terbakar dengan tingkat sedang, sedangkan sebesar 27% dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi,” tegas Syafiq.
Ancaman yang tidak jauh berbeda juga dialami sektor kelautan. Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan KIARA, Erwin Suryana, menyoroti minimnya pembahasan sektor laut meskipun strategi blue carbon, konservasi laut, dan blue economy diakui.
“SNDC adalah pelemparan tanggung jawab dari perusahaan penyumbang emisi agar diadopsi oleh negara untuk ditanggulangi dampaknya. Selain itu, terdapat asimetri kekuasaan dalam tata kelola laut. Negara sebagai fasilitator pasar karbon laut, korporasi sebagai pendana proyek konservasi laut, dan nelayan sebagai objek yang tidak memiliki kepastian dan sangat rentan terhadap dampaknya,” papar Erwin.
Ekspansi ekstraktif di pulau-pulau kecil telah membawa dampak masif dan merusak secara permanen. “Ancaman bagi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sangat masif terjadi. Sebagai contoh, akibat tambang nikel di pulau kecil, sedimentasi merusak lamun dan terumbu karang, dampaknya hasil tangkap nelayan menurun dan kerusakan permanen terjadi,” jelasnya.
Pada akhirnya, Erwin menyimpulkan bahwa ambisi pertumbuhan ekonomi dalam SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah tidak memprioritaskan perlindungan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
“Ambisi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan melalui SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah Indonesia masih belum menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai sektor utama yang harus dilindungi,” pungkas Erwin.
- Ambisi SNDC Indonesia terjebak ekspansi ekstraktif, mengancam gambut dan laut
- Bagaimana jurnalisme konstruktif membantu publik bertahan di era krisis iklim?
- Agam dari Rinjani ke Belém: Pemandu yang Jadi Pahlawan Brasil Kini Dilirik Netflix
- Kriminalisasi pembela lingkungan di Jantung Jawa
- Laut merah, napas sesak. Kisah warga Morowali dalam kepungan industri nikel
- COP 30 menghadapi pertarungan sengit soal uang, minyak, dan keadilan iklim
