Apakah COP30 di Brasil menghasilkan dana segar untuk menyelamatkan bumi, atau sekadar rebranding utang lama dengan label hijau?

Udara di Belém, pintu gerbang Amazon, terasa berat—bukan hanya karena kelembapan tropis yang menyengat atau asap dari kebakaran kecil yang sempat memicu evakuasi di venue COP30, tetapi karena beban harapan yang perlahan hangus. Di dalam ruang berpendingin udara, para diplomat bertarung soal angka. Di luar, ribuan masyarakat adat dan aktivis berteriak soal nyawa.

Bagi Indonesia, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB tahun ini bukan sekadar panggung diplomasi; ini adalah etalase dagang. Namun, di balik kilatan lampu kamera dan jabat tangan resmi, tersimpan pertarungan sengit mengenai masa depan pembiayaan iklim yang adil.

Apakah COP30 di Brasil menghasilkan dana segar untuk menyelamatkan bumi, atau sekadar rebranding utang lama dengan label hijau?

Isu paling krusial di Belém adalah New Collective Quantified Goal (NCQG)—target baru pembiayaan iklim untuk menggantikan janji $100 miliar per tahun yang lama. Setelah negosiasi alot hingga menit-menit terakhir, angka itu akhirnya keluar: $300 miliar per tahun pada 2035 dari negara maju untuk negara berkembang.

Bagi Global South, angka ini adalah sebuah penghinaan. Negara-negara berkembang menuntut setidaknya $1,3 triliun dalam bentuk hibah (grants), bukan pinjaman, untuk menutupi biaya adaptasi dan transisi energi yang kian mahal.

“Teks draf terbaru tentang NCQG ini bukan sekadar lelucon – ini adalah penghinaan bagi orang-orang di Global South yang hidup di garis depan krisis iklim,” ujar Tasneem Essop, Direktur Eksekutif Climate Action Network International, menggambarkan frustrasi kolektif aktivis. “$300 miliar per tahun itu kacang.”

Masalahnya bukan hanya pada jumlahnya, tetapi pada kualitas uangnya. Kesepakatan ini tidak menjamin dana tersebut bebas dari jerat utang, dan yang lebih parah, tidak ada mekanisme penyesuaian inflasi. Artinya, nilai $300 miliar di tahun 2035 nanti akan jauh lebih kecil daya belinya dibandingkan hari ini.

Diplomasi ala Jakarta

Di tengah kekecewaan global ini, Delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo, mengambil jalur yang berbeda. Alih-alih bergabung dalam paduan suara negara berkembang yang menuntut “ganti rugi” sejarah, Indonesia memilih narasi “mitra bisnis”.

“Indonesia datang tidak hanya dengan komitmen, tetapi dengan tindakan nyata,” tegas Hashim dalam pidatonya di hadapan para pemimpin dunia.

Strategi Jakarta jelas: Jangan terlihat meminta-minta. Indonesia memposisikan diri sebagai powerhouse yang siap dengan target pertumbuhan ekonomi 8% dan transisi energi yang ambisius—termasuk rencana 75% energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan. Namun, karena keran pendanaan publik dari negara maju (hibah) seret, Indonesia banting setir ke mekanisme pasar.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, bahkan secara eksplisit mengubah Paviliun Indonesia menjadi lantai bursa. Ia menginstruksikan paviliun untuk memfasilitasi transaksi karbon, menargetkan potensi nilai perdagangan hingga Rp16 triliun selama dua pekan konferensi.

“Indonesia membangun kepemimpinan dari tindakan nyata, bukan sekadar janji,” ujar Hanif, merujuk pada kesepakatan perdagangan karbon antara PLN dan pihak internasional yang ditandatangani di sela-sela acara.

Namun, agresivitas Indonesia dalam menjajakan kredit karbon memicu bumerang diplomatik. Di pertengahan konferensi, Indonesia dianugerahi gelar satir yang memalukan: “Fossil of the Day”.

Penghargaan dari jaringan masyarakat sipil global ini diberikan karena Indonesia dituduh membiarkan delegasinya disusupi oleh lobi korporasi. Laporan menyebutkan setidaknya ada 46 pelobi bahan bakar fosil dalam rombongan Indonesia. Yang lebih mengejutkan, Indonesia tertangkap basah membacakan teks negosiasi Pasal 6.4 (tentang pasar karbon) yang diduga disalin kata-demi-kata dari surat lobi asosiasi perdagangan emisi pro-industri.

Alih-alih memperjuangkan integritas lingkungan yang ketat, Indonesia dinilai justru memperlemah aturan demi mempermudah jualan kredit karbon “murah” dari hutan dan proyek energi.

Perlawanan dari Akar Rumput

Sementara pejabat pemerintah sibuk berjualan di “supermarket” karbon, suara berbeda bergema dari kelompok masyarakat sipil Indonesia yang hadir di Belém. Bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), apa yang dilakukan pemerintah adalah “finansialisasi alam”—mengubah hutan sakral dan ruang hidup rakyat menjadi komoditas dagang.

Uli Arta Siagian dari  WALHI, menyebut perdagangan karbon sebagai “solusi palsu” yang berbahaya.

“Perdagangan karbon dan offset dilihat sebagai solusi cepat dan murah oleh perusahaan dan pemerintah. Ini adalah kebohongan berbahaya bagi masa depan planet Bumi,” tegas Uli. 

Ia mengingatkan bahwa skema seperti ini sering kali berujung pada penggusuran masyarakat adat di Kalimantan dan Sumatera atas nama “konservasi” yang didanai asing.

Kritik senada datang dari Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN. Dalam pidato yang emosional, Rukka mengingatkan bahwa masyarakat adat bukanlah sekadar “penerima manfaat” (beneficiaries) dari dana iklim, melainkan pemilik sah yang telah menjaga hutan jauh sebelum istilah “kredit karbon” ditemukan.

“Dengarkan kami, bukan sebagai suara dari pinggiran, tetapi sebagai orang yang setara,” seru Rukka di salah satu sesi panel. “Karena jika dunia benar-benar ingin melindungi hutan ini, ia harus mulai dengan mengakui siapa yang mengaturnya. Jawabannya adalah kami.”

Rukka menegaskan bahwa dana iklim seharusnya langsung disalurkan ke komunitas penjaga hutan, bukan menguap di birokrasi perantara atau menjadi bancakan korporasi energi yang ingin mencuci dosa emisi mereka.

Jalan terjal pasca-Belém

COP30 di Belém berakhir dengan sebuah paradoks besar bagi Indonesia.

Di satu sisi, pemerintah pulang dengan membawa “oleh-oleh” berupa kesepakatan bisnis karbon dan citra sebagai negara yang terbuka untuk investasi hijau. Namun di sisi lain, Indonesia gagal memperjuangkan keadilan iklim yang substansial: dana hibah adaptasi yang minim, risiko jebakan utang baru, dan hilangnya kredibilitas di mata gerakan lingkungan global akibat skandal lobi fosil.

Isu krusial pembiayaan iklim bagi Indonesia kini bukan lagi sekadar “berapa banyak uang yang kita dapat,” tetapi “siapa yang sebenarnya membayar harganya?”

Jika strategi pembiayaan hanya bertumpu pada utang dan jualan karbon, maka rakyat di tapak—petani yang gagal panen, nelayan yang tenggelam oleh rob, dan masyarakat adat yang tergusur—yang akan terus mensubsidi krisis ini dengan ruang hidup mereka. Belém telah usai, tetapi pertarungan sesungguhnya di tanah air baru saja dimulai.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses