Kesepakatan akhir COP 30 Brasil yang diberi nama Belém Mutirão gagal menyertakan komitmen terikat waktu untuk menghapus bahan bakar fosil.

Matahari terbit di atas Sungai Guamá pada hari Sabtu, 22 November 2025, menyinari kota Belém yang kelelahan. Udara lembab Amazon pagi itu terasa berat oleh beban diplomasi yang macet. Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30), yang digadang-gadang oleh tuan rumah Brasil sebagai “COP Kebenaran”, berakhir bukan dengan sorak sorai kemenangan, melainkan dengan kelegaan hampa bahwa perundingan tidak runtuh sepenuhnya.

Di tengah reruntuhan ekspektasi global, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, Simon Stiell, mencoba menyuntikkan optimisme terakhir di hadapan pleno yang setengah kosong.

“Ekonomi baru sedang bangkit, sementara ekonomi lama yang polutif sedang kehabisan jalan,” ujar Stiell dengan suara serak namun tegas. “Saya tidak mengatakan kita memenangkan pertarungan iklim. Tapi kita tak terbantahkan masih berada di dalamnya, dan kita sedang melawan balik.”

Namun, retorika panggung tersebut tidak mampu menutupi realitas pahit di lapangan. Kesepakatan akhir yang diberi nama Belém Mutirão gagal menyertakan komitmen terikat waktu untuk menghapus bahan bakar fosil. Bagi Indonesia, konferensi ini bukan hanya soal kegagalan global, tetapi juga panggung di mana kontradiksi kebijakan iklim nasional “ditelanjangi” di hadapan dunia.

Matinya peta jalan mengubur energi fosil

Dua tahun setelah “Konsensus UEA” di Dubai menyerukan transisi menjauhi bahan bakar fosil, dunia menunggu rencana operasional di Belém. Harapan itu dipikul oleh koalisi “ambisi tinggi” yang terdiri dari lebih dari 80 negara—termasuk Uni Eropa, Inggris, dan negara-negara kepulauan Pasifik—yang menuntut “peta jalan” (roadmap) formal.

Ed Miliband, Menteri Energi Inggris, menggambarkan urgensi koalisi tersebut dengan penuh semangat di ruang pers yang sesak. “Ini adalah koalisi global, dengan negara-negara Utara dan Selatan bersatu dan mengatakan dengan satu suara. Ini adalah masalah yang tidak bisa disapu ke bawah karpet. Kami semua mengatakan dengan sangat jelas bahwa masalah ini harus menjadi jantung konferensi ini,” katanya.

Di seberangnya, Tina Stege, utusan iklim Kepulauan Marshall, memohon dengan nada yang jauh lebih personal. “Mari kita dukung gagasan peta jalan bahan bakar fosil, mari kita bekerja sama dan menjadikannya sebuah rencana,” pintanya.

Namun, seruan itu kandas. Blok petrostate yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia memblokir setiap upaya memasukkan bahasa “penghapusan” atau target waktu ke dalam teks resmi. Dokumen akhir hanya merujuk kembali pada janji lama tanpa detail baru.

Sir David King, ketua Climate Crisis Group Inggris, tidak menahan kekecewaannya saat menanggapi hasil akhir tersebut. “Keputusan ini gagal dalam ujian paling dasar: apakah ini mengamankan masa depan yang dapat dikelola bagi kemanusiaan? Jalur yang kredibel untuk menghapus bahan bakar fosil harus menjadi jantung dari hasil apa pun di sini,” ungkapnya.

Presiden COP30, André Corrêa do Lago, mengakui keterbatasan konsensus multilateral ini dengan nada apologetik saat menutup sidang. “Saya tahu masyarakat sipil muda akan menuntut kami melakukan lebih banyak untuk memerangi perubahan iklim. Sebagai Presiden COP30, saya akan membuat dua peta jalan—satu tentang menghentikan dan membalikkan deforestasi dan satu lagi tentang transisi menjauhi bahan bakar fosil secara adil, teratur, dan merata,” paparnya. 

Gelar “fossil of the day”

Sementara perdebatan global berkecamuk, delegasi Indonesia mendapati dirinya menjadi sorotan karena alasan yang salah. Pada pertengahan konferensi, Climate Action Network (CAN) International menyematkan gelar satir “Fossil of the Day” kepada Indonesia.

Kritik utama tertuju pada besarnya jumlah pelobi industri batubara dan energi fosil yang menyusup ke dalam delegasi resmi RI, serta posisi negosiasi Indonesia di Pasal 6.4 (pasar karbon) yang dianggap menjiplak talking points industri.

Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia, memberikan pernyataan menohok menanggapi penghargaan tersebut. menurutnya, keberadaan 46 pelobi industri bahan bakar fosil sebagai bagian dari delegasi Indonesia menelanjangi keberpihakan pemerintah terhadap oligarki bahan bakar fosil.

“Sikap pemerintah ini jelas mencederai dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas yang sudah mengalami berbagai bencana iklim yang makin parah dan meluas,” katanya.

Kritik senada datang dari Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik Solusi Hutan Global Greenpeace, yang menyoroti ironi Paviliun Indonesia yang berubah menjadi etalase dagang. “Bukannya fokus memperjuangkan pendanaan iklim yang adil di meja negosiasi COP30, Indonesia malah mengejar solusi palsu jangka pendek. Beberapa hari lalu Indonesia aktif dalam negosiasi pasal terkait dengan skema tukar guling karbon,” ungkapnya.

Torry Kuswardono, Koordinator Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki), menambahkan perspektif geopolitik yang tajam. Ia menyayangkan Indonesia yang justru menjauh dari sesama negara kepulauan yang rentan.

“Komitmen iklim dan negosiasi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara kepulauan kecil dalam Alliance of Small Island States (AOSIS),” imbuh Torry.

Pembelaan Jakarta

Pemerintah Indonesia bereaksi defensif terhadap tuduhan tersebut. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, membantah keras bahwa posisi Indonesia didikte oleh pelobi. 

“Ada kesalahpahaman dalam narasi tersebut — sebenarnya tidak seperti itu,” ujar Hanif kepada wartawan di sela-sela negosiasi. “Pernyataan yang diambil berasal dari konteks itu, tetapi hanya sepotong yang digunakan, tanpa penjelasan lengkap. Jadi negosiator kami akan mengklarifikasinya.”

Dalam forum terpisah di Paviliun Indonesia, Hanif menegaskan bahwa ambisi pasar karbon Indonesia didasarkan pada standar tinggi, bukan greenwashing.

“Pasar karbon bukan sekadar transaksi ekonomi. Ini adalah cara kami menjunjung integritas dan membangun kepercayaan global pada sistem karbon kami di Indonesia,” kata Hanif.

Ia juga mencoba membalikkan narasi pesimis dengan menonjolkan aksi nyata di lapangan. “COP30 menandai momen yang menentukan untuk membuktikan bahwa pembangunan hijau tidak hanya mungkin tetapi juga menguntungkan. Indonesia memimpin dengan tindakan, bukan dengan janji,” imbuhnya.

Di sisi lain, Utusan Khusus Presiden, Hashim S. Djojohadikusumo, memilih untuk tidak terlibat dalam polemik “Fossil of the Day” dan fokus pada pesan stabilitas investasi dan komitmen jangka panjang.

“Indonesia datang ke Belém dengan pesan yang jelas: kami tetap teguh dalam komitmen kami untuk memperkuat aksi iklim nasional dan siap bekerja sama dengan negara lain dalam inisiatif yang ambisius dan berorientasi pada hasil,” kata Hashim.

Suara yang terabaikan

Di luar ruang ber-AC tempat para menteri berdebat, suara masyarakat sipil dan komunitas terdampak terdengar lebih nyaring dan putus asa.

Mohamed Adow, direktur thinktank Power Shift Africa, menyoroti satu aspek krusial yang hilang dari teks akhir: perlindungan terhadap komunitas di negara berkembang yang tanahnya dikeruk untuk mineral transisi energi—sebuah isu yang sangat relevan bagi Indonesia dan industri nikelnya.

“Kelalaian ini menutupi kerugian manusia akibat ekstraksi mineral. Para penambang ini memasok mineral yang menggerakkan booming energi bersih, dan menghapus realitas mereka dari teks adalah hal yang tidak dapat dipertahankan secara etis dan politis,” tegas Adow.

Di Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) merilis pernyataan yang menyimpulkan kekecewaan mendalam terhadap arah kebijakan yang diambil pemerintah di Brasil. Menurut WALHI, perdagangan karbon hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, yang faktanya selama ini menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Saat delegasi Indonesia berkemas meninggalkan Belém, mereka membawa pulang kesepakatan keuangan global baru sebesar $1,3 triliun yang sebagian besar masih berupa janji, serta pekerjaan rumah yang menumpuk.

Tanpa peta jalan global yang mengikat untuk mengakhiri batubara, Indonesia kehilangan tekanan eksternal yang mungkin dibutuhkan untuk mempercepat pensiun dini PLTU-nya. Sebaliknya, narasi “Fossil of the Day” menjadi pengingat bahwa di mata masyarakat sipil global, klaim “kredit karbon berintegritas tinggi” tidak akan pernah bisa menutupi asap dari cerobong PLTU Suralaya atau Paiton.

Seperti yang dikatakan Ani Dasgupta, Presiden World Resources Institute (WRI), dalam evaluasi akhirnya tentang COP30. “Banyak yang akan meninggalkan Belém dengan kecewa karena para negosiator tidak dapat menyetujui peta jalan untuk transisi menjauhi bahan bakar fosil. Lebih dari 80 negara mempertahankan pendirian mereka… namun lobi intensif dari segelintir negara minyak melemahkan kesepakatan tersebut,” paparnya.

Di Belém, harapan untuk “Kebenaran” telah dikompromikan demi “Kesepakatan”. Dan bagi warga di pesisir Nusantara yang terancam tenggelam, kompromi itu mungkin datang dengan harga yang terlalu mahal.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses