Indonesia aktif dalam negosiasi pasar karbon. Tapi aksi iklim yang penting untuk mendatangkan pendanaan, sangat minim
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém mencapai puncaknya dengan dinamika yang kontras. Di meja perundingan, delegasi Indonesia melontarkan kritik tajam terhadap draf teks negosiasi yang dinilai melemah dan merugikan negara berkembang. Namun, di luar ruang sidang, posisi Indonesia justru dinilai pasif dalam mendorong ambisi iklim global yang substansial, terutama terkait transisi energi.
Putaran final negosiasi pada Jumat, 21 November 2025, diwarnai ketegangan dan kendala teknis. Ary Sudijanto, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon sekaligus anggota delegasi RI, mengungkapkan bahwa proses sempat lumpuh total akibat insiden kebakaran pada Kamis sore.
“Kita kehilangan ya mungkin bisa 9 jam, 10 jam waktu negosiasi,” ungkap Ary di sela-sela perundingan. Hilangnya waktu krusial ini memaksa Presidensi Brasil melakukan shuttle diplomacy untuk menambal kebuntuan, namun delegasi Indonesia menilai Belem Political Package yang disodorkan masih “jauh dari solid”.
Garis merah gender dan pendanaan
Indonesia menyoroti dua isu krusial yang dianggap mencederai kepentingan nasional dan negara berkembang. Pertama, masuknya usulan definisi “gender progresif” dalam teks kesepakatan.
“Itu kan termasuk red line bagi Indonesia,” tegas Ary. Ia menyebut meski Brasil telah mengakomodasi sebagian keberatan, “tidak semua diterima,” sehingga Indonesia kembali melayangkan catatan resmi. Perdebatan ini mencerminkan ketimpangan nilai, di mana negara maju mendorong bahasa progresif yang dinilai negara berkembang melampaui mandat COP.
Kedua, dan yang paling krusial, adalah hilangnya substansi pendanaan adaptasi dalam paket kebijakan Mutirão. Indonesia memprotes keras tidak adanya angka konkret yang bisa dijadikan pegangan.
“Ada paragraf yang hilang terkait komitmen jumlah pendanaan adaptasi,” kata Ary. Ia menambahkan bahwa tanpa angka, frasa pelipatgandaan dana menjadi tidak bermakna. “Kalau hitungan kita… setelah doubling dan tripling itu menjadi USD120 billion. Tapi angka itu belum pernah tersebut juga.”
Di tengah momentum global di mana lebih dari 80 negara berkomitmen untuk phasing out (penghentian bertahap) bahan bakar fosil, Indonesia memilih tidak bergabung. Posisi ini ditegaskan Ary dengan alasan kebutuhan waktu transisi domestik.
“Kita masih membutuhkan waktu… menuju pengurangan secara bertahap penggunaan bahan bakar fosil,” ujarnya. Indonesia juga menolak masuknya bahasa baru terkait investasi fosil dan meminta agar keputusan tetap konsisten dengan kesepakatan sebelumnya. “Selayaknya untuk tetap konsisten… tidak introduce bahasa baru,” tambah Ary.
Sikap hati-hati juga diterapkan pada sektor kehutanan, di mana Indonesia mendesak agar teks Mutirão tidak lebih lemah dari keputusan terdahulu. “Kita ingin tetap konsisten teksnya berdasarkan yang sudah diputuskan sebelumnya,” tegasnya. Sementara itu, isu loss and damage (kerugian dan kerusakan) dinilai semakin suram dan “makin unpredictable“.
Sibuk di pasar karbon, pasif di aksi iklim
Sikap defensif delegasi Indonesia menuai kritik keras dari kelompok masyarakat sipil yang hadir di Belém. Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace, menilai Indonesia kehilangan peluang kepemimpinan dan justru pasif pada isu-isu utama.
“Indonesia malah aktif hanya dalam negosiasi pasar karbon. Tapi untuk aksi iklim yang ambisius dan penting untuk mendatangkan pendanaan, sangat minim,” kritik Rayhan.
Menurutnya, ketidakhadiran Indonesia dalam koalisi penghentian energi fosil sangat disayangkan, mengingat potensi ekonomi dari transisi energi. “Sangat disayangkan Indonesia belum masuk. Indonesia punya peta jalan transisi yang cukup terarah, dan itu bisa menjadi peluang ekonomi,” ujarnya.
Rayhan menilai Indonesia seolah hanya “menunggu” dan melihat posisi negara lain, padahal dampak krisis iklim seperti kenaikan muka air laut dan gagal panen sudah nyata memukul rakyat. Narasi pemerintah yang mengklaim memimpin lewat aksi (leading by action) dinilai tidak cukup tanpa diplomasi yang kuat di forum multilateral.
“Tidak cukup. Aksi nyata kita pun masih perlu dipertanyakan. Dan dalam forum multilateral, kita harus meyakinkan negara lain,” tegas Rayhan. “Harapannya Indonesia bisa memimpin. Kita bisa bangga kalau Indonesia memimpin aksi iklim. Tapi yang terlihat sekarang Indonesia lebih menunggu.”
COP30 di Belém menjadi cermin paradoks diplomasi iklim Indonesia: keras menjaga kedaulatan teks, namun dinilai ragu dalam memimpin langkah penyelamatan bumi yang kian kritis.
- Indonesia di panggung COP30: aktif kritik teks, pasif aksi iklim
- Antara “Supermarket” karbon dan jerat utang iklim
- Tata kelola geothermal Indonesia, pusat merencanakan daerah menderita
- Ambisi SNDC Indonesia terjebak ekspansi ekstraktif, mengancam gambut dan laut
- Bagaimana jurnalisme konstruktif membantu publik bertahan di era krisis iklim?
- Agam dari Rinjani ke Belém: Pemandu yang Jadi Pahlawan Brasil Kini Dilirik Netflix
